BAB 8

1333 Kata
Restoran yang mereka datangi memiliki konsep alam yang menenangkan. Tumbuhan merambat menghiasi dinding, bunga-bunga warna-warni ditata rapi, dan bonsai kecil ditempatkan di setiap sudut ruangan. Suasana terasa hangat, seolah para pengunjung sedang bersantap di tengah taman yang asri. Tak heran jika area luar penuh sesak dengan orang-orang yang ingin menikmati keindahan sekaligus hidangan khas tempat itu. Victor menoleh sekilas pada istrinya sebelum menggenggam tangannya pelan. Ia tahu, kehadiran Natalia selalu mampu menarik perhatian. Karena itu, ia memilih jalan masuk dari pintu samping. Cara sederhana namun penuh perhitungan, agar mereka bisa duduk dengan tenang tanpa sorot mata yang mengintai. “Bagaimana menurutmu, Sayang?” Natalia mengamati interior di mana dindingnya terbuat dari kayu, dengan hiasan tumbuhan menjalar yang rapi dan bersih. “Bagus, enak tempatnya. Nggak nyangka kalau Tom dan Tim punya konsep usaha yang keren banget.” Victor tergelak. “Aku ikut membantu, paling nggak memberi sedikit nasehat tentang manajemen dan yah, termasuk pemilihan konsep.” “Pantas saja. Apa kamu ikut campurjuga soal resep?” “Tidak, kalau itu hak mereka sepenuhnya.” Mereka memesan Champange, dan juga satu set makan malam berupa Beef Pasta dengan Saus Truffle, Summer Salad, serta Ayam Panggang yang dimasak dengan rempah rahasia. Victor membuka botol, menuang satu gelas untuknya dan satu gelas untuk istrinya dan bersulang. “Untuk malam istimewa.” Natalia tersenyum. “Memangnya apa yang membuat istimewa?” “Kamu tentu saja, sangat cantik.” Saat hidangan pembuka diletakkan di meja, Victor berdehem pelan. Matanya tak lepas dari istrinya yang menyantap makanan dengan anggun. Ada ketenangan dalam setiap gerakan Natalia, seolah ia diciptakan untuk selalu tampil sempurna. Bahkan hal sederhana seperti mengangkat sendok pun dilakukan penuh perhitungan, tanpa terburu-buru. Victor tersenyum samar. Dalam diam, ia mengagumi perempuan di hadapannya. Natalia adalah cerminan kelas dan pendidikan yang tinggi, perempuan yang memadukan kecantikan dengan wibawa. Di tengah kesibukan dan tekanan dunia politik, kehadiran Natalia selalu mengingatkan Victor bahwa elegansi sejati tidak pernah butuh sorotan. “Aku melihat foto-foto yang diambil hari ini. Kamu terlihat sangat bahagia saat menggendong bayi.” Natalia menatap suaminya, bola matanya meredup. “Mereka adalah makhluk yang manis, tapi hidup berkubang derita karena tanpa orang tua.” “Kita adalah orang tua mereka, Sayang. Karena itu, agar dapat membantu para bayi, anak terlantar, dan orang-orang jalanan yang menderita, aku harus punya kekuasaan yang lebih besar. Kamu tahu bukan, anggaran daerah terbatas. Ada banyak orang yang tidak bisa kita bantu karena itu.” Natalia mengangguk. “Kamu benar soal itu. Memang harus berkuasa untuk bisa membantu orang-orang yang membutuhkan.” Diam-diam Victor mengulum senyum mendengar ucapan istrinya. Ia meraih jemari Natalia dan menggenggamnya. “Sebenarnya, itu yang mau aku bicarakan denganmu. Polling dari masyarakat menyangkut popularitasku sebagai menteri sangat bagus. Ingat, Sayang. Papamu mengatakan ingin mencalonkanku sebagai menteri, bukan lagi wakil. Karena itu, posisi keluargaku harus stabil.” Natalia menatap jemarinya yang berada dalam genggaman suaminya. Mereka duduk berhadapan, tapi meja kotak yang memisahkan mereka tidak terlalu lebar, membuat keduanya bisa mengobrol dengan intim. “Pasti soal anak,” ucap Natalia lugas, “Padahal kita tahu itu nggak mungkin.” Victor tersenyum. “Nggak ada yang nggak mungkin, Sayang. Selalu ada cara untuk kita kalau berusaha.” “Apa maksudmu?” Natalia berkata bingung. Victor berdehem, meremas jemari istrinya lebih kuat. “Aku sudah menemukan cara untuk kita punya anak dengan cepat. Tanpa harus program ke dokter. Cara yang aman, dan yah, tidak akan beresiko untuk kita berdua.” Natalia makin bingung dibuatnya. Ia mengerti kalau Victor berambisi untuk menjadi menteri, tapi tidak paham dengan mendesak untuk punya anak. “Papamu bilang padaku, kalau soal anak ini adalah hal serius. Beliau bahkan mengatakan dengan tegas kalau kita harus serius soal anak.” “Tapi—” “Aku paham, Sayang. Dengarkan dulu omonganku.” Victor menghela napas panjang, raut wajahnya berubah menjadi sendu. “Papamu juga sangat-sangat berharap kita punya bayi segera.” Natalia perlahan mengaduk pasta di piringnya, sesekali mencicipi meski hanya sedikit. Rasa gurih dan lezatnya jelas memanjakan lidah, namun nafsu makannya seketika turun. Hatinya terlalu penuh oleh kata-kata Victor, yang sejak awal duduk sudah memulai pembicaraan serius. Ia bisa merasakan arah obrolan itu bukanlah kebetulan. Kini Natalia mulai memahami alasan suaminya memilih restoran ini. Suasana tenang, jauh dari keramaian, seolah memang sengaja dipilih untuk menciptakan momen yang tepat. Bukan sekadar makan malam romantis, melainkan sebuah strategi. Victor menginginkan sesuatu darinya, dan Natalia tahu, kali ini ia tidak bisa menghindar dengan mudah. “Victor, kamu tahu bukan masalah kita?” ucapnya perlahan. Victor tersenyum dan mengangguk perlahan. “Aku tahu, Natalia. Karena itu, aku sudah mendapatkan solusi yang baik untuk kita berdua.” “Solusi macam apa?” Victor melambaikan tangan pada para pramusaji untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah tidak ada orang Iain, ia menatap istrinya dengan intens. “Solusi kita akan melibatkan orang lain. Tenang saja, aku sudah memilih yang paling baik, yang paling cocok, untuk membantu kita.” Natalia mengernyit, tapi tidak mengatakan apa pun. “Sayang, kamu kenal Alejandro dengan baik di antara semua pengawal kita. Kalian cukup akrab jadi harusnya membuat segalanya jadi sedikit lebih mudah.” “Alejandro?” “Benar, dia yang bisa membantuku. Maksudku adalah, kamu dan dia, bercinta untuk mendapatkan anak bagi kita.” Natalia ternganga, menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. “Victor? Aku salah dengar, bukan?” tanyanya. Victor menggeleng. “Tidak, Natalia. Kamu sama sekali nggak salah dengar. Itu memang solusi yang baik untuk kita berdua.” Natalia menepis jemari Victor. Bangkit dari kursi dan menuding suaminya. “Apa katamu tadi? Kamu memintaku tidur dengan laki-laki lain?” “Ssst, pelankan suaramu, Sayang. Di sini banyak telinga.” Natalia berputar di tempatnya berdiri, memegang pelipis, dan menatap suaminya dengan pandangan kesal. Tidak menyangka kalau Victor akan mengutarakan sebuah ide gila. Dari dulu suaminya memang cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tidak peduli selama tidak merugikan mereka. Namun, untuk kali ini menurutnya sudah sangat keterlaluan. Ide paling gila yang pernah didengarnya. “Bisa-bisanya kamu menyuruhku tidur dengan laki-laki lain, hanya demi ambisi politikmu!” desis Natalia geram. “Sayang, kamu salah. Ini demi kita!” Victor berusaha meraih jemari istrinya, tapi ditepiskan dengan kasar oleh Natalia. “Demi kita? Kamu menyuruhku bermain s*x dengan laki-laki lain dan masih berani bilang demi kita? Victor, kamu berani sekali melakukan itu padaku!” Natalia lepas kendali, berteriak begitu keras hingga gema suaranya memantul di setiap sudut ruang WIP. Napasnya tersengal, wajahnya memerah, seolah semua emosi yang selama ini ia pendam pecah sekaligus. Untung saja ruangan di luar begitu ramai, penuh dengan staf dan tim kampanye yang sibuk, sehingga kemungkinan ada yang benar-benar mendengar sangat kecil. Namun tidak dengan para pengawal yang berjaga di dekat pintu. Alejandro, yang berdiri di sisi kanan pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Ia mendengar jelas nada tinggi itu, meski kata-katanya terputus-putus. Baginya, hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa Natalia sedang marah besar. Itu sesuatu yang langka—nyonya gubernur yang biasanya lembut, tenang, dan anggun, kini berubah menjadi sosok yang mengumbar kemarahan tanpa ragu. Menghela napas panjang, Alejandro merasakan tubuhnya menegang. Ia tidak perlu menebak terlalu jauh, hampir yakin amarah Natalia ada hubungannya dengan ide gila Victor. Dalam hatinya, ia sedikit lega. Natalia masih punya pendirian, sama seperti dirinya, menolak keras hal yang di luar nalar itu. “Jangan mengucapkan kata-kata kotor begitu, Natalia,” ucap Victor lembut. Tidak peduli kalau istrinya sedang mengamuk, ia berusaha untuk tetap tenang. “Yang akan kamu lakukan adalah sebuah kebaikan.” “Hah, kebaikan siapa? Kamu?” “Bukan, kita berdua dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Bukankah kamu bilang ingin membantu orang miskin dengan cara mempunyai kekuasaan tinggi? Sekarang saatnya dan aku meminta bantuanmu, Sayang. Tolong jangan marah. Pikirkan dampak bagusnya untuk kita.” Natalia berdiri sambil memejam. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa sangat direndahkan, bukan oleh orang lain melainkan suaminya sendiri. Bagaimana bisa Victor memintanya tidur dengan Alejandro demi punya anak? Ia tidak peduli seberapa tampan Alejandro, tapi laki-laki muda itu bukan pasangan sahnya. Bagaimana bisa ia melakukan itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN