Tatapan Nadine kosong, menerawang dalam kegelapan yang nyaris sempurna. Hanya seberkas cahaya redup dari ventilasi atap yang menyinari ruang pengap itu. Tubuhnya lemas, bahkan ujung jari kakinya sudah mati rasa, tidak mampu lagi merasakan dingin yang menggigit.
“Bu Kinar ... Nadine takut,” rintihnya dengan mata terpejam, seolah berhalusinasi. “Tolong minta Arga jemput Nadine, Bu ....”
Suaranya parau dan terputus-putus. Nadine meringkuk semakin kencang, memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil tak terkendali. Bibirnya bergetar membentuk kata-kata yang nyaris tak terdengar:
“Di sini ... terlalu dingin ... dan gelap.”
Liam menyaksikan adegan itu melalui layar, wajahnya tetap dingin tapi alisnya berkerut halus. Nadine terbaring lemah di atas matras tipis, gaun putihnya yang kusut tampak seperti kain kafan di tengah ruang suram.
Greg berdiri di sampingnya, suaranya terdengar tegang, “Dia kembali kritis, Tuan. Menurut dokter, jika mengalami hipotermia untuk kedua kalinya ... nyawanya tidak akan tertolong.”
Liam terdiam sejenak, matanya masih terpaku pada layar yang menunjukkan Nadine semakin lemah.
“Bawa dia ke ruang medis. Tapi jangan berikan penghangat elektrik, cukup selimut biasa dan infus glukosa.”
“Siap!” Greg segera meninggalkan ruangan monitor dan mengajak Mary—yang sudah melewati hukuman—untuk membantu memindahkan tawanan tuan mereka.
Pintu ruang isolasi terbuka dengan desisan udara dingin yang menyembur seperti kabut freezer. Mary langsung berlari ke arah Nadine yang terbaring tidak bergerak di atas matras, tubuhnya melingkar seperti bayi yang kedinginan.
“Bawa dia, Greg! Cepat!” teriak Mary, suaranya nyaris tertelan gemuruh AC yang masih berputar.
Greg mendekat, wajahnya tegang. “Apakah dia masih bernapas?”
“Aku tidak tahu! Keluarkan dia dari sini—dia butuh kehangatan sekarang!”
Greg dengan sigap mengangkat tubuh ringkih Nadine. Tubuhnya terasa sangat ringan dan dingin seperti es dalam pelukannya. Mereka bergegas menuju ruang medis yang telah disiapkan.
Di ruang medis, Greg membaringkan Nadine di atas brankar. Jari-jarinya segera menekan nadi pergelangan tangan Nadine, lalu lehernya, mencari tanda-tanda kehidupan.
Mary berdiri tidak sabar dan sangat cemas, kuku-kukunya tanpa sadar mencakar lengannya sendiri. “Apakah dia masih hidup?”
Greg tidak menjawab. Dahi berkeringat, matanya terpaku pada wajah pucat Nadine yang persis seperti mayat.
“Sial! Tidak ada denyut nadi! Kita harus lakukan CPR—sekarang!”
Greg segera menekan d**a Nadine dengan kedua tangan, hitungannya teratur tapi tergesa. Mary buru-buru mencari alat defibrillator di lemari.
“Jangan mati sekarang!” Greg bergumam di antara tekanan CPR-nya.
Greg terus melakukan kompresi d**a, keringat mengucur di pelipisnya. "Dia tidak merespons!"
Mary merobek baju Nadine dan memasang bantalan defibrillator. “Clear!”
Tubuh Nadine melengkung keras saat kejut listrik mengalir, tapi monitor tetap flatline.
Pintu tiba-tiba terbuka.
Liam masuk dengan langkah cepat, wajahnya seperti topeng tanpa ekspresi. Dia menyambar suntikan adrenalin dari lemari darurat, lalu menyuntikkannya langsung ke jantung Nadine.
“Lanjutkan CPR!” perintahnya datar, tanpa nada panik.
Greg dan Mary terpana sejenak sebelum melanjutkan resusitasi.
Beberapa detik yang terasa seperti abad. Dan ...
BIIIP
Monitor akhirnya menunjukkan detak jantung tidak teratur.
Liam memandang Nadine yang mulai bernapas dangkal. Napasnya yang semula memburu kini sudah berangsur normal.
“Beri dia selimut.” Setelah itu dia pergi dari ruang medis.
Mary segera menyelimuti tubuh Nadine dengan selimut tebal. Lalu menginfus tangannya.
“Dia akan baik-baik saja kan?” tanya Mary seraya mengusap dahi Nadine yang masih tampak dingin.
“Semoga saja. Ku peringatkan padamu, Mary, jangan terlalu baik padanya. Kau akan mendapat masalah lagi nanti,” ucap Greg pada gadis pelayan itu.
“Dia pantas mendapat kesempatan,” bantah Mary dengan suara lirih tapi nekat. “Hukuman yang dia terima sudah jauh melebihi kesalahannya.”
Greg mendekat, suaranya bergetar berusaha menahan emosi. “Kau tidak mengenal dia seperti aku mengenalnya. Dia bukan korban, Mary. Dia pelaku.”
Mary memalingkan wajah, menolak untuk melanjutkan perdebatan. Greg akhirnya pergi, meninggalkannya sendirian di ruangan yang sunyi, hanya ditemani detak monitor yang tidak stabil dan napas Nadine yang tersengal-sengal.
Ini memang pertama kalinya sang tuan membawa tawanan perempuan—seorang gadis muda yang bahkan masih terlihat rapuh di atas tempat tidur. Tapi bagi Mary, yang dia lihat bukanlah monster yang diceritakan Greg, melainkan seorang gadis yang tersiksa dan sangat rapuh.
Greg memasuki ruang minum, menemukan Liam tenggelam dalam keheningan, gelas whiskey hampir habis di tangannya. Sang tuan tampak menyadari kehadirannya, meski tatapannya tetap kosong menatap dinding.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Liam tanpa menoleh, suara serak dan datar.
“Stabil, Tuan. Butuh beberapa jam lagi untuk pulih sepenuhnya,” jawab Greg.
Liam masih diam, jari-jarinya mengetuk gelas dengan ritme tidak sabar.
“Pak Halim mengabari transfer ganti rugi dari David Alexander sudah diterima,” Greg melanjutkan.
Liam akhirnya mengangguk pelan, senyum tipis yang dingin muncul sesaat.
“Bagus. Sekarang dia paham harga yang harus dibayar karena main-main dengan api.”
Greg menarik napas dalam, memberanikan diri.
“Dan tentang putrinya, Tuan?”
“Biarkan,” potong Liam singkat.
“Nona Arabella sudah berada di rumah ibunya sejak kemarin,” Greg menambahkan, dan sangat hati-hati memilih kata.
Liam akhirnya menoleh, matanya menyipit tajam. “Kau ingin aku membebaskan si gadis liar itu? Hanya karena putriku sudah membaik. Membiarkan gadis itu kembali menyakiti orang lain seperti dulu?”
Suaranya bergetar halus, campuran amarah dan sesuatu yang hampir seperti kekecewaan.
Greg menunduk kepalanya. “Maaf, Tuan.”
“Dia tidak akan kemana-mana, Greg. Dia akan tetap berada di sini.”
Greg mengangkat kepalanya menatap sang tuan yang tidak dia mengerti.
***
Cahaya monitor jantung memantulkan bayangan Nadine yang terbaring tak berdaya. Tubuhnya terlihat lebih kecil di balik selimut tebal, wajahnya pucat dan lingkaran hitam mengantung di bawah matanya yang tertutup rapat. Napasnya dangkal dan tidak teratur. Tangannya, yang biasanya terlihat anggun, kini terkulai lemas di sisi tubuh dengan infus masih menempel di punggung tangan.
Pintu ruang medis terbuka pelan, menyibak siluet Liam yang tinggi. Dia masuk dengan langkah sunyi, bagai hantu yang menyusuri koridor malam. Dia berhenti di samping tempat tidur, matanya menyapu setiap detail penderitaan Nadine.
“Lihatlah dirimu sekarang,” bisiknya, suara rendah dan hampa, seperti angin malam yang menyusup celah jendela. “Sang putri yang sempurna, tersungkur dalam kehinaan.”
Dia mendekat, jari-jarinya yang dingin hampir menyentuh pipi Nadine yang pucat, tapi berhenti tepat sebelum bersentuhan.
“Ayahmu sudah membayar harganya. Tapi itu tidak cukup,” monolognya berlanjut, nada datar tapi penuh beban. “Uang bisa mengganti karpet, tapi tidak bisa menghapus rasa sakit Arabella.”
Dia memandangi monitor jantung yang terus memancarkan gelombang tidak stabil. Lalu beralih pada gadis yang masih terbaring tak berdaya di atas brangkar.
Liam terdiam ingatannya kembali terbang pada ucapan Greg mengenai Nadine. Tatapannya, yang awalnya penuh kebencian dan niat menghukum, tiba-tiba tersangkut.
Dia tidak lagi melihat “monster” yang menyiksa putrinya. Tanpa disadari, matanya justru menelusuri garis putih s**u pada lengan Nadine yang terbuka, lalu naik ke lehernya yang jenjang dan pucat. Cahaya lampu ruang medis menyinari kulitnya, membuatnya tampak seperti porselen yang rapuh.
Pandangannya terus merambat, mendarat di bibir Nadine yang pucat dan pecah-pecah. Pikirannya, tanpa dikendalikan, membayangkan andai saja bibir itu tidak sekarat oleh hipotermia—pastilah dia akan berwarna merah merekah dan ... tentunya sangat menggoda.
“Sial! Apa yang kau pikirkan, Liam?!” umpatnya dalam hati, menyadari arah pikirannya yang tiba-tiba berbelok arah. Dia menggeleng keras, berusaha mengusir bayangan aneh itu.
Tapi sudah terlambat.
Sebuah retakan kecil telah terbuka di tembok kebenciannya. Kini, yang dia lihat bukan lagi sekadar objek balas dendam, tapi seorang wanita muda yang dalam keadaan paling lemah dan hancurnya, justru memancarkan keelokan yang tak terduga.
Rasa ingin tahunya yang lama mati suri tiba-tiba tersulut. Siapa sebenarnya Nadine Alexander di balik semua topeng “Gadis liar”—nya?
Dia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, tapi kali ini, bukan karena jijik.
Tapi karena kekacauan dalam pikirannya sendiri. Liam tidak mengerti mengapa kini pikirannya berbalik arah.
***
Nadine mengerjapkan matanya perlahan, cahaya putih dari langit-langit langsung menusuk pupilnya seperti jarum. Dia segera memejamkan mata kembali, kepalanya berdenyut-denyut. Setelah terbiasa dengan kegelapan total selama berhari-hari, cahaya sebiasa apapun terasa seperti siksaan.
“Kau sudah sadar, Nona?” Suara Mary terdengar lembut dari dekat.
Nadine mengerang pelan. “Hai, Mary. Senang ... mendengar suaramu. Tolong, cahayanya ....”
“Oh, maaf!” Mary segera bergegas ke jendela, menarik gorden tebal hingga ruangan kembali diselimuti remang-remang yang nyaman. “Sudah kututup.”
Nadine membuka matanya kembali, kali ini pandangannya tidak lagi silau. Matanya berputar, memindai sekeliling. Ini bukan ruang isolasi yang dingin dan menyeramkan. Ini ... sebuah kamar.
“Kau mau minum?” tanya Mary.
Nadine mengangguk lemas, tenggorokannya terasa seperti berpasir. Tangannya gemetar saat menerima gelas air dari Mary dan meneguknya dengan lahap.
“Terima kasih, Mary,” ucapnya, suara masih serak. Dia menyandarkan tubuhnya ke bantal, masih tidak percaya. “Mengapa ... aku di sini? Bukan di ... tempat itu?”
Mary duduk di ujung ranjang, senyum kecilnya mengandung rasa iba dan lega. “Kau pingsan hampir satu hari penuh setelah kami bawa keluar dari ruang isolasi. Percaya tidak, Nona? Kau nyaris meninggal. Syukurlah kami cepat bertindak.”
Nadine menutup mulutnya dengan satu tangan. Dia tidak menyangka jika hukuman yang dia terima cukup berat dari yang dia duga.
“Apa pada akhirnya dia mengizinkan aku berada di sini? Aku tidak mau kau dihukum lagi karena ulahku, Mary.” Tampak sekali dia cemas karena tidak mau membuat orang lain terkena hukuman akibat ulahnya.
Mary menggelengkan kepalanya. “Kau tidak perlu khawatir, Nona. Tuan Abraham yang memintaku untuk memindah kau dari ruang medis ke kamar ini. Agar masa pemulihanmu lebih cepat.”
Nadine tidak menyangka jika orang sekejam Liam mau memberikan perhatian kecil untuknya. Apa setelah ini dia akan dibebaskan?
Oh, Nadine tidak mau berpikir berlebihan khawatir jika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Malam itu, hujan mengguyur kota dengan deras. Nadine membiarkan gorden jendela terbuka lebar, membiarkan dirinya diselimuti suara gemuruh hujan yang memecah kesunyian kamarnya. Cahaya lampu kamar yang temaram menerangi kamarnya dengan cahaya kekuningan yang redup dan berkilauan oleh bayangan tetesan hujan di jendela.
Dia berbaring menelungkup di atas ranjang, tatapan kosongnya tertuju pada tetesan air yang mengalir di kaca.
Tanpa disadarinya, pintu kamar terbuka pelan. Liam berdiri di ambang pintu, bayangannya jatuh di lantai.
Tatapan tajamnya langsung menyapu ruangan, lalu mendarat pada sosok Nadine yang terbaring lemas. Dress tidur putih tipis yang melekat pada tubuhnya—terlalu tipis—hampir tidak menyembunyikan apapun. Cahaya temaram dari luar menyorot siluet tubuhnya yang terlihat jelas melalui kain basah keringat, menciptakan bayangan lekuk yang justru membuatnya terlihat lebih memesona dalam keadaan lemahnya.
Liam terdiam.
Sesuatu di dalam dadanya berdesir, sebuah konflik yang tak diundang. Nafsu membara yang lama terpendam tiba-tiba menyala, bercampur dengan sisa-sisa amarah yang belum padam. Dia ingin membenci, ingin mengutuk, tapi matanya justru terpaku pada keelokan yang tak terbantahkan di hadapannya.
Jari-jarinya mengepal, berusaha menahan dorongan untuk mendekat. Ini salah. Ini sangat salah. Tapi, Nadine tampak begitu rapuh, begitu ... menggoda dalam kelemahannya.
Dia menarik napas dalam, mencoba mengusir pikiran kotor yang mengganggunya. Tapi gagal. Gambaran tubuh Nadine telah membakar imajinasinya, menyalakan api yang seharusnya tidak pernah ada.
Dia masih berdiri di sana, terkunci antara keinginan untuk menghukum dan keinginan untuk ... merasakan.