9. Papa ... Tolong aku

1376 Kata
David sedang menandatangani dokumen kerjanya ketika Roman, asistennya masuk dengan wajah tegang, membawa amplop kertas kop tebal bermaterai. “Pak, ini dari Kantor Hukum Halim & Partner. Dikirim khusus oleh kurir.” David membuka amplop itu—dokumen 12 halaman dengan lampiran foto kerusakan dan flash drive. Kemudian dia mengeluarkan isi dokumen dari map tersebut dan menyerahkan pada Roman. “Bacakan untukku,” titahnya. Sang asisten mengambil isi dokumen itu dari tangan atasannya dan mulai membacanya. “Isi tuntutan merupakan perusakan ....” Asistennya membacakan beberapa jenis ganti rugi yang harus dibayarkan oleh David, dan total semua itu senilai 3,8 miliar yang harus dibayarkan dalam waktu 2x24 jam, dan tenggat waktu kurang lebih tujuh hari. Ditambah dengan tuntutan pasal hukum yang dilanggar. “Demikian surat tuntutan ini dibuat untuk dipenuhi dan dipertanggung jawabkan.” David melemparkan dokumen ke meja. “Halim & Partner? Itu firma hukum terbesar di Jakarta! Liam main kotor!” Asistennya membuka flash drive yang berisi video yang menunjukkan polisi, membuka lemari pribadi Arabella dan menginjak-injak foto keluarganya. Sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Itu jelas kesalahan, karena yang mereka cari Nadine, entah mengapa mereka malah merusak barang-barang. Itu yang menyebabkan Liam Abraham murka dan menuntut David. “Apa ini sudah disebar ke media?” tanya David panik. “Belum, Pak. Tapi ... mereka ancam akan kirim ke Tribun News besok jika Anda tidak merespons.” “Kurang ajar!” Dia belum juga mendapatkan kabar Nadine, tapi masalah lain sudah menyerangnya sedemikian rupa. Ini kesalahannya, karena asal main tuduh saja tanpa bukti. Dan, satu kesalahan fatal ialah dia bermain-main dengan pria itu, Liam Abraham. Seorang yang cukup berbahaya. Arga tiba di kantor David sore harinya karena diberitahu oleh asisten pria itu. “Pak.” Arga mendapati David tampak lemas di kursi kebesarannya. David menyadari Arga yang sudah ada di ruangannya. “Sudah mendengar kabar Nadine?” tanyanya tanpa menoleh ke arah pemuda itu. Arga menggeleng pelan. “Belum ada kabar, Pak.” David menghela napasnya, lalu menatap dokumen tuntutan di mejanya, wajahnya lelah. Dia mengangkat telepon dan memencet nomor yang sudah lama dia ketahui. Seseorang di seberang sana menerima panggilannya. “David.” “Aku ingin bicara baik-baik, Liam. Aku ... aku minta maaf atas penggeledahan itu. Tapi kau harus mengerti, putriku masih hilang. Aku sangat panik.” Liam terdiam sejenak, lalu kembali bicara. “Maaf tidak ada dalam dokumen tuntutan saya, Pak David.” “Aku akan membayar ganti rugi! Tapi tolong, beri aku waktu. Putriku—” “Putri Anda,” sela Liam dengan dingin, “Bukan urusan saya. Yang jelas, rumah saya adalah urusan saya. Dan Anda telah merusaknya.” David mengepalkan tangannya. “Aku bersedia bayar lunas besok! Tapi tolong, hentikan tuntutan hukumnya. Aku tidak bisa—” “Tiga koma delapan miliar sudah termasuk diskon karena anda adalah seorang yang cukup penting di kota ini, David,” ujar Liam, “Tapi pasal perusakan budaya tetap jalan. Saya ingin semua orang tahu, David Alexander tidak kebal hukum.” Telepon diputuskan. David terpaku, menyadari bahwa, Ini bukan lagi tentang uang. Ini tentang menghancurkan reputasinya di depan publik. Fransisca memandang kosong ke luar jendela, tangannya erat menggenggam gelas teh yang sudah dingin. “Sebenarnya di mana Nadine? Tidak mungkin dia hilang begitu saja kan ...?” Roman, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, maju selangkah. “Kalau kita telusuri, kehilangan Nadine mungkin ada kaitannya dengan ... insiden Arabella. Rentang waktunya terlalu berdekatan.” Arga mengangguk pelan, wajahnya serius. “Benar. Apalagi Tuan Liam Abraham punya sumber daya besar—perusahaan keamanannya paling canggih di kota ini.” Kemudian dia menghela napas. “Masalahnya ... kita tidak punya bukti konkret. Hanya kecurigaan.” David yang duduk di ujung meja mengepalkan tangan. “Lalu kita harus bagaimana? Menunggu sampai Liam mengembalikannya dengan sukarela?” “Itu kalau benar dia yang telah menculik Nadine. Kalau tidak? Anda akan semakin bermasalah dengan Tuan Liam, Pak.” Arga kembali bersuara. Suasana ruangan menjadi tegang. “Jangan tambahi masalah lagi, David! Ini sudah cukup rumit, kita fokus saja pada pencarian Nadine. Ini sudah empat hari, Ya Tuhan, anakku!” Fransisca tampak menangis karena mencemaskan putrinya yang entah di mana keberadaannya kini. David menghampiri istrinya dan menepuk-nepuk punggungnya. “Kita akan segera menemukannya dalam keadaan selamat dan tidak kurang satu apapun.” Entah mengapa Fransisca tidak begitu yakin. Dia benar-benar sangat mencemaskan Nadine yang selama ini hampir tidak pernah dia perhatikan. Dan, sekarang gadis itu benar-benar hilang dalam jangkauannya. *** Lance membuka pintu ruang isolasi untuk Liam. Pria memasuki ruangan isolasi yang kini dihuni oleh Nadine. Nadine yang berbaring di atas matras tampak beringsut bersandar pada dinding di belakangnya. Ketakutan. Liam merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan Nadine. Di tangannya memegang sebuah tablet yang sedang menayangkan penggeledahan rumah utamanya. “Lihatlah, bagaimana ayahmu yang merupakan orang terpandang berubah menjadi perusak ulung.” Suaranya dihiasi nada mengejek. Nadine menatap layar, tubuhnya lemas tapi matanya masih menyala. “Tapi kau memang benar menculikku. Ayahku tidak salah menuduh!” Liam menyambar dagu Nadine, memaksa wajahnya terangkat. Mata mereka bertemu, sorot mata Liam seperti pedang es yang siap menghujam sepasang mata jernih milik Nadine. “Kau pikir ini tentang kebenaran?” desisnya. “Ini tentang konsekuensi, Nona.” Bibir Nadine bergetar. Tubuhnya kembali menggigil kedinginan setiap kali berhadapan dengan pria itu. “Aku menculikmu karena kau menganiaya putriku. Ayahmu merusak rumahku karena dasar hukumannya selemah karakternya.” Nadine mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Liam makin keras. “Dan sekarang?” lanjutnya, “Kau terjebak di sini, sementara di luar sana ayahmu menjadi bulan-bulanan media, dan satu hal lagi, polisi tidak akan pernah menemukan keberadaanmu, karena mereka terlalu sibuk mengurus kasus merusaknya etiket David Alexander.” Dia melepas cengkeramannya dari wajah Nadine, sehingga meninggalkan bekas jari merah di dagu gadis itu. “Pelajaran hari ini, kejahatan butuh kelas, Nak. Dan ayahmu, tidak memilikinya.” Nadine kembali berbaring di atas matras dengan perasaan nyeri. Buah dari perbuatannya, ayahnya ikut terseret dalam masalahnya. Reputasi ayahnya menjadi hancur karena ulahnya. “Papa, tolong aku ....” Nadine memeluk tubuhnya yang kembali kedinginan. Tidak ada selimut dan tidak ada pemanas ruangan. *** Gita menatap layar ponselnya, matanya membesar. “Om David dituntut?!” suaranya nyaris bergetar. Berita itu menyebar cepat—David Alexander, ayah Nadine, digugat setelah penggeledahan rumah Liam Abraham yang berujung chaos. “Ya, itu yang terjadi.” Arga menghela napas panjang, tangannya meremas rambutnya sendiri. “Sudah lima hari Nadine hilang. Tidak ada tebusan, tidak ada ancaman, tidak ada jejak sama sekali. Seperti ... dia menguap begitu saja.” Dia menatap Gita, wajahnya dipenuhi kelelahan dan frustrasi. “Yang paling membuatku gila—penggeledahan itu justru menjadi bumerang. Bukannya nemuin Nadine, malah jadi bencana buat keluarga sendiri.” Gita memeluk lututnya, mencoba mencerna semua informasi ini. “Jadi ... sekarang malah Om David yang terpojok? Padahal Nadine masih hilang?” Arga mengangguk pelan, matanya kosong. “Iya. Dan kita bahkan tidak tahu harus mulai mencari dari mana lagi.” Gita bergerak menghampiri Arga yang tampak sangat frustrasi dengan masalah yang menerpa keluarga Nadine. Bagaimana pun juga dia sangat tahu kalau Arga tumbuh bersama Nadine, karena ibunya adalah pengasuh Nadine sejak kecil. Arga pasti sangat menyayangi Nadine. “Liam Abraham apa memang tidak memiliki motif sama sekali?” tanya Gita yang kini sudah duduk bersebelahan dengan Arga di sofa panjang. Arga menggeleng pelan, kepalanya tertunduk lesu. “Alibinya terlalu kuat. Dia bahkan menggunakan rekam medis putri sendiri sebagai tameng untuk melumpuhkan setiap langkah Pak David.” Melihat Arga dalam kondisi rapuh, Gita yang memang sudah lama melihat Arga sebagai pria ideal langsung memanfaatkan momen ini. Dia melingkarkan tangannya di pundak Arga dengan cepat, seolah ingin menghiburnya. “Kamu terlalu tegang,” katanya, suara dibuat lembut. “Kamu tidak bisa membantu siapapun jika kamu sendiri hancur.” Arga, yang sedang kelelahan secara emosional, langsung bersandar pada Gita tanpa pikir panjang. Gita tersenyum puas. Akhirnya. Dia sama sekali tidak memiliki rencana jahat, hanya saja dia ingin sekali mendapat perhatian Arga yang selama ini selalu mengabaikan dirinya, dan kebetulan situasi ini memberinya kesempatan. “Tenang saja,” ujarnya sambil membiarkan Arga terus bersandar padanya. “Kita akan temukan Nadine, cepat atau lambat. Dan, semoga saja dalam keadaan sehat tanpa kurang satu apapun.” Tapi dalam hatinya, “Setidaknya, dalam kekacauan ini, aku dapat sesuatu yang diinginkan sejak lama.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN