8. Sekarat

1606 Kata
Liam melangkah hati-hati saat masuk ke dalam rumah utamanya. Ada banyak barang pecah yang tercecer di ruang tamunya yang cukup luas. Tidak hanya di ruang tamu, tapi di ruang lainpun sama saja, rumahnya sudah mirip seperti kapal pecah dan itu semua akibat ulah David Alexander yang menggeledah rumahnya. Sengaja dia meminta para pelayan untuk tidak membersihkan rumah karena ingin dia jadikan bukti kuat bahwa ini sebuah penghinaan terhadap dirinya. David Alexander akan mendapatkan balasan dari apa yang sudah dilakukannya. “Apa mereka juga menggeledah kamar Arabella dan kamarku?” tanya Liam pada, Darso, pelayan setianya. “Benar, Tuan. Tapi tidak begitu parah kerusakannya.” “Greg,” panggilnya pada sang asisten, suaranya rendah tapi mematikan. Greg segera menghampiri dengan tablet di tangan. “Tim hukum sudah menyiapkan gugatan perdata, Tuan. Kerusakan diperkirakan 3,8 miliar.” Liam menginjak pecahan porselen dengan sepatu Oxford-nya. “Tambah dengan pasal pelecehan rumah tangga. Mereka membongkar kamar Arabella.” “Maafkan kami, Tuan. Mereka ... membuka bingkai foto Nona Bella kecil di meja rias,” ujar pelayan setianya lagi. Bibir Liam berkerut. “Minta forensik dokumentasi setiap jengkal. Foto mereka yang merusak, sidik jari di lemari Arabella—semua jadi bukti.” Greg mencatat cepat. “David juga merekam penggeledahan. Itu bisa jadi bumerang untuknya.” Liam memungut boneka kanvas Arabella yang terinjak-injak. “Biarkan dia merasa menang dulu. Gugatan kita akan lebih keras dari sekadar tagihan.” Liam kembali keluar dari rumah dan akan menuju ke penthause-nya, membiarkan Greg di sana untuk mengurus rumah dan melapor pada tim kuasa hukumnya. Sebelumnya, Mary membuka pintu ruang kedap suara dengan ditemani salah satu penjaga, Lance. Dia hanya khawatir karena melihat Nadine sama sekali tidak bergerak kemanapun. Saat pintu dibuka, bersamaan dengan lampu yang dinyalakan mereka melihat sosok Nadine terbaring di lantai dingin dengan ceceran anggur dan pecahan botol. Mary mendekat dengan hati-hati, kedua tangannya saling meremas, cemas. Saat sudah dekat dengan sosok Nadine, dia merendahkan tubuhnya dan menyentuh kulit gadis itu yang sangat dingin. “Bisa bawa dia keluar, sepertinya dia terkena hipotermia,” katanya pada Lance. “Tuan Liam akan marah kalau kita membawanya keluar.” “Kau mau dia mati kedinginan di sini?” tanyanya kesal menoleh pada Lance. Lance menggeser berat badannya dari satu kaki ke kaki lain, raut wajahnya tegang. “Tapi perintah Tuan Liam jelas—” “Dia juga tidak mau ada mayat di wine cellar-nya!” sergah Mary, suaranya bergetar antara khawatir dan frustrasi. “Berikan jaketmu padaku!” Lance segera melepas jaketnya dan memberikan pada Mary. Kemudian Mary menyelimutkan tubuh Nadine yang dingin. Kulit Nadine pucat kebiruan, napasnya dangkal. “Bantu aku angkat dia,” perintah Mary, tapi Lance masih ragu. “Kita harus melapor dulu—” Mary menatapnya tajam. “Kau benar-benar akan berdiri di sini sambil berdebat sementara dia sekarat?” Lance menghela napas, akhirnya menyerah. “Baiklah. Tapi kita bawa dia ke ruang medis, bukan keluar.” Mary tidak menjawab. Tangannya sudah sibuk mengecek denyut Nadine yang semakin lemah. “Cepat!” Lance segera mengangkat tubuh Nadine yang lemas, sementara Mary terus menggosok-gosok tangannya untuk menghangatkan. Di luar, CCTV tetap merekam setiap gerakan mereka. Liam yang masih dalam perjalanan menuju penthause setelah dari rumah utama. Ponsel Liam berdering. Suara Lance terdengar gugup di seberang, “Tuan ... Mary membawa tawanan keluar. Gadis itu tidak bergerak sama sekali.” Jari Liam mengetuk kemudi. “Aku sedang di jalan.” “Tapi—” Lance tercekat. “Dia dibawa ke ruang medis, bukan—” “Aku tahu.” Liam memotong, suaranya terdengar dingin. “Jaga CCTV tetap merekam. Matikan semua akses lift kecuali milikku.” Panggilan terputus. Liam mempercepat laju kemudinya. *** Fransisca melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Dia sudah mendengar kabar penggeledahan di kediaman Liam Abraham, yang mana adalah ayah dari gadis yang menjadi korban kejahatan putrinya. Tuduhan suaminya terhadap pria itu sama sekali tidak berdasar, penggeledahan itu sama sekali tidak menemukan bukti adanya jika Liam menculik Nadine sebagai balas dendam. Dan, sekarang masalah semakin rumit karena Liam Abraham menuntut ganti rugi dan pertanggung jawaban David setelah menghancurkan seisi rumahnya. Fransisca berhenti di depan pintu kamar, menarik napas dalam. Ini gila, pikirnya. Haruskah aku benar-benar melakukan ini? Pada akhirnya, dia mengetuk pelan pintu di depannya. “Selamat siang.” Karenina yang sedang membereskan koper kecil Arabella menoleh, wajahnya langsung berkerut melihat wanita asing di pintu. “Tunggu sebentar, Sayang,” bisiknya pada Arabella sebelum mendekati Fransisca. “Ada perlu apa?” Fransisca tersenyum kaku, tangannya mencengkeram erat tas Hermes-nya. “Saya Fransisca Alexander. Ibu Nadine.” Dia menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya ... ingin meminta maaf atas apa yang terjadi pada putri Anda.” Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin. Fransisca menatap lantai, jemarinya menggenggam ujung syal mahalnya hingga berkerut. “Dan sekarang ... suami Anda mengobrak-abrik rumah mantan suami saya.” Karenina menyeringai, “berpikir dia penculik putrimu? Lucu.” Fransisca mengangkat wajah dengan matanya yang berkaca-kaca. “Itu ... kesalahan fatal. Tiga hari putri kami hilang tanpa jejak. Tidak ada tebusan, tidak ada ancaman. Pikiran kami—” Suaranya tercekat, “Pikiran kami langsung tertuju pada Tuan Abraham. Mengingat ... apa yang Nadine lakukan pada Arabella.” Karenina juga sempat berpikir demikian, bahwa Liam-lah yang telah menculik gadis itu. Namun, tetap saja tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Dan, Liam pun bersikeras tidak mengakui apa yang terjadi. Karenina melangkah mendekat, suaranya berbisik dingin, “Liam murka bukan karena tuduhan itu. Tapi karena kamar Arabella ikut digeledah, di mana itu adalah tempat terakhir putriku merasa aman.” Fransisca gemetar. Di balik punggung Karenina, dia melihat Arabella menarik selimut hingga menutupi wajahnya, persis seperti korban yang trauma. *** Liam melangkah keluar dari lift, jas hitamnya berkibar oleh embusan AC yang kuat. Matanya langsung tertuju pada, Lance yang berdiri kaku di depan pintu wine cellar. Monitor CCTV yang masih menampilkan rekaman Mary membawa Nadine ke ruang medis. “Laporkan situasi,” perintahnya sambil melepas sarung tangan kulit. Lance menegakkan tubuhnya. “Tawanan sadar sebentar lalu pingsan lagi, Tuan. Dokter mengatakan dia mengalami hipotermia stadium dua.” Liam berjalan perlahan mengelilingi Lance seperti hiu mengitari mangsa. “Dan, Mary?” “Masih bersama dengan tawanan di ruang medis.” “Bagus.” Liam berjalan dengan langkah tegap menuju ke ruang medis. Dia sangat tahu Mary memiliki jiwa kemanusiaan yang begitu kuat. Ini satu keberuntungan bagi Nadine karena dia yang memilih Mary bertugas di sini dibandingkan dengan pelayan lain yang lebih kejam. Liam kini sudah berdiri di ambang pintu, mengamati Nadine yang terbaring lemas di tempat tidur rumah sakit portabel. Infus menetes pelan, monitor EKG memancarkan ritme jantung tak stabil. Mary langsung berdiri tegak, tangan masih menggenggam kapas alkohol yang baru saja dia usap di dahi Nadine. “Tuan, dia butuh—” “Diam.” Liam mendekat, bayangannya menutupi tubuh Nadine yang berbaring. Jarinya menekan luka memar di pergelangan tangan Nadine, bekas ikatan. “Kau pikir ini rumah sakit umum?” Suaranya berbisik, tapi terdengar cukup mematikan. “Kau ubah wine cellar jadi bangsal ICU?” Mary memberanikan diri untuk membalas ucapan tuannya. “Jika dibiarkan, dia bisa mati, Tuan.” “Dan?” Hening. Satu-satunya suara hanya mesin EKG yang berdengung. “Keluar dari sini,” titah Liam dengan tatapan yang masih tertuju pada Nadine. Mary sedikit membungkuk, lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Liam kembali melangkah mendekat ke arah ranjang, memandangi Nadine yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Wajahnya yang putih semakin memucat, bibirnya membiru, dan detak jantungnya lemah. Kini pandangan Liam tertuju pada telapak tangan Nadine yang dibalut perban, dia ingat jika gadis itu nekat mencengkeram pecahan botol berniat untuk bunuh diri. “Gadis bodoh!” *** Nadine terbangun dengan kepala berdenyut-denyut. Tubuhnya terasa lemas dan masih menggigil kedinginan, tapi yang lebih mengejutkan, dia menyadari jika dirinya sudah tidak berada di tempat menyeramkan itu lagi. Kemudian dia menyadari jika tidak sendirian, ada Lance berdiri di dekat pintu, wajahnya tanpa ekspresi. Pria itu melangkah mendekat, lalu mengambil gelas dari atas nakas. “Minum,” suruhnya, menyodorkan segelas air. Nadine mencoba bangun, tapi dia kesulitan. Tubuhnya masih sangat lemah dan sulit untuk digerakan. Lalu, dia ingat terakhir kali pria itu memintanya untuk minum, terjadi sesuatu yang buruk pada tubuhnya. “Di mana Mary?” Dia lebih mempercayai pelayan wanita itu ketimbang pria di depannya. Lance menghindari kontak mata dengan Nadine. “Dia dihukum.” “Dihukum?” Nadine bergumam. “Apa dia yang mengeluarkan aku dari tempat terkutuk itu?” tanyanya dengan napas berat. “Ya. Dan, tuan Liam sangat marah besar.” Mendengar itu, Nadine kembali ketakutan. Dia sangat khawatir dengan keadaan Mary. Seseorang muncul di belakang tubuh Lance, dan itu adalah Liam. “Tinggalkan kami, Lance.” Lance segera keluar dari ruangan medis. Nadine memandangi Liam yang masih tampak sangat menakutkan dari sejak pertama dia melihat pria itu. “Di mana Mary?” tanya Nadine memberanikan diri. “Mengapa kau mengkhawatirkan Mary? Seharusnya kau kasihani dirimu sendiri karena tak berdaya dan akan selalu seperti itu.” “Aku tidak peduli pada diriku. Aku lebih peduli pada orang-orang yang ada disekitarku, yang sudah menolongku.” “Di mana gadis liar yang gemar menyiksa orang lain?” Suaranya datar, tapi menusuk. “Kau terlihat ... begitu rapuh sekarang.” Nadine tidak menjawab. Apa yang terjadi pada dirinya adalah konsekuensi dari semua perbuatannya dulu. Dan, benar kata Freya jika dia berhadapan dengan lawan yang salah. “Sampai kapan kau akan menyiksaku, Tuan Abraham?” Liam tiba-tiba memegang dagu Nadine, memaksanya untuk menatapnya. “Kau ingin tahu sampai kapan? Sampai napas terakhirmu ... masih terasa seperti neraka.” Setelah itu dia pergi, meninggalkan Nadine yang terdiam dengan air mata menetes ke pipinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN