7. Biarkan Aku Mati

1509 Kata
Ruangan itu lebih mengerikan dari yang dia bayangkan. Angin dingin 5°C langsung menyergap kulit Nadine begitu pintu terkunci. Lantai beton beku membuat kakinya kaku seketika, sementara rak-rak besi berisi botol wine mahal berjejer seperti nisan di kuburan. Pencahayaan? Hanya lampu merah darurat di langit-langit yang membuat bayangannya terpantul di dinding stainless steel—seperti hantu yang mengintai. Tiba-tiba, suara rekaman mulai berbunyi dari speaker tersembunyi: “Tolong ... jangan ...!” Nadine mengenal suara itu. Suara Arabella. Bibirnya bergetar. Persis seperti saat Nadine menganiaya gadis itu di toilet kampus. Tapi bagaimana bisa? Dia ingat jika saat itu tidak ada siapapun yang mendengarnya atau melihat, kecuali Sara. Suara itu semakin mengganggunya. Nadine menjerit, menutup telinga, tapi rekaman itu berputar terus, semakin keras. Membuat kepalanya pusing. Dia terduduk di lantai, menangis tersedu-sedu. “Aku ... aku benar-benar monster ....” Rekaman Arabella masih terus berbunyi, membuat telinganya sakit. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nadine berharap dirinya mati saja. Nadine sudah 36 jam tanpa makanan, hanya terdiam dalam dingin yang menusuk tulang. Dress putih yang dikenakan sama sekali tidak bisa melindungi tubuhnya dari udara dingin. Liam membuka pintu baja, cahaya terang menyorot langsung ke wajah Nadine yang sudah tidak lagi mirip manusia, kulit pucat kebiruan, bibir pecah-pecah, mata merah oleh tangis yang sudah kering. “Masih bernapas? Bagus.” KRASH! Botol wine mahal Château Lafite 1982 dihancurkan Liam di lantai tepat di depan kaki Nadine. Pecahan kaca dan anggur merah menyebar seperti darah. “Minum ceceran anggur itu kalau kau haus.” Liam menendang pecahan kaca mendekati Nadine. “Arabella sampai menjilat lantai toilet atas perintah dirimu.” Pintu hendak ditutup, tapi .... Nadine merangkak ke depan, tangannya mencengkram pecahan kaca. Liam berhenti, menatap dengan ekspresi ntara harap dan jijik. “Aku ... aku minta maaf.” Nadine berbisik, sambil mengarahkan pecahan botol itu ke pergelangan tangannya sendiri. Liam tertawa pendek. “Kau pikir ini cukup?” Dia menyepak pecahan kaca dari genggaman Nadine, hingga pecahan kaca itu terlepas dari tangannya dan membuatnya meringis sakit. “Mati itu terlalu mudah. Aku mau kau merasakan apa yang Arabella rasakan. Bagaimana rasanya disiksa?” Pintu terkunci. Nadine menjerit, tapi yang terdengar hanya dengung AC wine cellar. Liam tiba-tiba kembali 5 menit kemudian, melemparkan kain kotor berbau disinfektan. “Bersihkan darahmu sendiri! Kau sangat menyedihkan.” Pintu kembali ditutup. Nadine meraih kain itu dan membebat telapak tangannya yang berdarah. Rasanya sangat perih, sampai dia harus menggigit bibirnya kuat-kuat. Air matanya kembali menetes. Mentalnya benar-benar hancur. Baru dua hari dan dia sudah ingin menyerah, tapi pria itu melarangnya, karena ingin melihat dirinya tersiksa. “Biarkan aku mati ....” *** Liam memutar gelas kristalnya, melihat cairan emas berkilau di bawah lampu chandelier. Greg berdiri di sampingnya, tablet mengeluarkan notifikasi berderet. “Laporan polisi?” Liam menyentuh bibir gelasnya. “David akhirnya nekat.” Greg mengangguk kaku. “Ya, Tuan. Dia tidak hanya melaporkan hilangnya Nadine, tapi juga ... insiden dengan Nona Arabella. Polisi akan datang besok pagi dan mulai menggeledah rumah.” Liam meneguk whiski, menikmati rasanya yang terbakar di kerongkongannya. “Suruh tim hukum kita siapkan dokumen rawat inap Arabella. Rekam medis, laporan psikolog—semuanya.” “Tapi Tuan—” Greg ragu. “Apa kita tidak sebaiknya ... membatasi interaksi dengan polisi? David punya koneksi kuat di kepolisian.” Sebuah senyum tipis muncul di wajah Liam. “Justru biarkan mereka datang. Aku ingin David melihat sendiri betapa konyolnya tuduhannya yang tanpa bukti itu.” Ponsel di atas meja berdering. Liam menyambutnya dengan cepat. Nama Karenina terpampang di layar. “Ya?” “Bisa datang ke sini sebentar? Aku perlu bicara.” “Baik. Dua puluh menit.” Panggilan berakhir. Liam meletakkan gelas whiskynya, lalu menghela napas panjang. “Greg, tetap di sini. Pantau Nadine lewat CCTV. Dan ingat, hanya Mary yang boleh masuk.” “Siap, Bos!” Liam tiba di rumah sakit beberapa menit kemudian. Karenina sudah menunggu di depan ruang perawatan Arabella. “Bagaimana keadaan Bella?” tanyanya. “Dokter mengatakan jika kondisinya stabil. Mungkin lusa sudah boleh pulang. Aku akan bawa dia ke rumahku untuk sementara.” “Silakan. Aku tidak keberatan.” Karenina menatap mantan suaminya dengan wajah datar. “Bukan itu yang ingin kubicarakan. Ada hal lain.” “Oh? Apa?” Liam melipat tangan di depan d**a, balas menatap Karenina dengan sorot dingin. “Aku lihat berita. Gadis yang menyiksa Bella telah hilang beberapa hari. Kamu tidak terlibat, kan?” tanyanya dengan sepasang matanya yang memicing. Liam tetap bersikap tenang. “Mengapa kamu berpikir begitu, Nin?” Karenina mengedikkan bahunya. “Aku hanya bertanya. Seharusnya kamu jawab iya atau tidak?” Liam mengangkat alis, senyum tipis mengambang di bibirnya. “Kalau kamu tanya apakah aku tahu sesuatu, jawabannya tidak.” Karenina menyilangkan tangan. “Liam, aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun. Kamu tidak pernah melepaskan dendam semudah itu.” “Dendam?” Liam tertawa pendek. “Aku hanya fokus pada kesembuhan Bella. Urusan keluarga Alexander bukan prioritasku.” “Benarkah?” Karenina menatapnya tajam. “Jadi kamu sama sekali tidak tahu di mana gadis itu sekarang?” Liam mengalihkan pandang ke jendela, wajah tetap tenang. “Polisi akan datang ke rumah utamaku besok, membawa surat perintah menggeledah rumah atas tuduhan tanpa bukti David Alexander. Kita lihat apakah mereka menemukan sesuatu di sana atau tidak.” “Rumah utamamu, ya.” Karenina menyeringai. “Tapi kita berdua tahu kamu punya selusin properti lain yang tidak diketahui banyak orang.” Liam berpaling padanya, mata menyipit. “Kamu benar-benar percaya aku akan menyembunyikan gadis itu? Setelah semua yang terjadi pada Bella?” “Ya, karena aku percaya kamu mampu melakukan apa pun untuk orang yang kamu cintai,” bisik Karenina. “Dan itu yang membuatku khawatir.” Udara antara mereka tiba-tiba terasa beku. Liam menghela napas. “Nina, kalau kamu tidak percaya, tanyakan langsung pada Bella nanti. Dia satu-satunya saksi yang bisa menjawab siapa sebenarnya monster dalam cerita ini.” Liam berbalik pergi, meninggalkan Karenina dengan pertanyaan yang justru semakin menggunung. *** Liam sudah mendapat kabar dari pelayan di rumah utama perihal surat perintah penggeledahan rumah. Dan, pagi itu pihak polisi sudah memenuhi halaman rumahnya. David Alexander yang datang ditemani oleh asistennya pun ada di sana, ingin melihat secara langsung apakah benar di rumah itu ada putrinya atau tidak. Polisi berjubel di halaman megah rumah bergaya kolonial itu. David Alexander berdiri di teras, tangan di pinggang, matanya tajam mengawasi setiap gerakan polisi. “Rekam semuanya,” bisik David pada sang asistennya, sambil menyorongkan kamera kecil ke sakunya. “Aku ingin setiap debu yang mereka bongkar terdokumentasi.” Di dalam, suara lemari antik dibanting dan laci-laci dikosongkan bergema. Seorang polisi muda mengangkat foto Arabella kecil dari meja rias. “Ini putri Tuan Abraham?” tanyanya pada kepala rumah tangga. “Ya,” jawab si kepala rumah dengan wajah masam. “Itu Nona Arabella sebelum—” “Cukup!” sergah David, menyambar foto itu. “Kalian di sini untuk mencari Nadine, bukan mengorek kehidupan keluarganya!” Tapi asistennya sudah merekam semuanya. Dan, mereka tidak menemukan Nadine di rumah itu. Bahkan tidak ada tanda-tanda Nadine di sana. Rumah itu bersih, dan cukup berantakan setelah mereka melakukan penggeledahan. Penthouse– Siang Hari Liam menonton rekaman penggeledahan itu di laptopnya, jari-jarinya mencengkeram gelas whiskey sampai pecah. Kaca berhamburan, whiskey menetes di karpet Persia seperti darah. “Berani-beraninya ... mereka.” Suaranya bergetar dingin. Greg berdiri kaku di sisi sofa. Dia tahu ini badai yang tidak mungkin bisa diredam. “Minta tim kuasa hukum kita laporkan David Alexander atas pelanggaran privasi dan perusakan properti.” Liam menggeser pecahan gelas dengan ujung sepatunya. “Tapi sebelum itu ....” Tatapan matanya masih terfokus pada layar laptopnya. “Bawa Nadine ke ruang audio. Putarkan rekaman keributan di rumah utama untuknya.” Senjata terbaik Liam bukan kekerasan, tapi membuat Nadine mendengar sendiri bagaimana ayahnya menghancurkan sisa harga diri keluarga mereka. *** Kantor David Alexander paska penggeledahan kediaman Liam Abraham. Sebuah paket kecil berbungkus kertas cokelat diletakkan di meja David oleh sekretarisnya. “Paket ini datang dari Tuan Liam Abraham, Pak.” David membuka paket itu dengan curiga, serpihan kristal tajam berkilau di bawah lampu. Pecahan gelas whiskey. Sebuah kartu hitam terselip di antaranya. “Tagihan untuk karpet Persia abad ke-18 yang rusak selama penggeledahan. Atau, kirimkan putrimu sebagai tumbal dan ganti rugi.” –L.A. David tersentak mundur, kursinya tergeser hingga menabrak rak buku. “Dia gila ...!” Tangannya gemetar mencengkeram kartu itu. David mulai bertanya-tanya. Apakah Liam sudah menculik Nadine? Atau ini hanya ancaman kosong? Tapi kode ‘L.A’ yang ditulis tangan, terlalu personal untuk sekadar bluff. Dia segera menelepon Arga. “Cek lagi rumah sakit! Kalau perlu interogasi Arabella—” Di ujung telepon, Arga terdiam. “Pak ... kita tidak punya bukti. Hanya sepotong kaca dan ancaman. Anda ingin masalah menjadi tambah rumit? Pihak polisi akan mengusut kasus penganiayaan yang dilakukan Nadine terhadap Arabella. Anda mau itu terjadi?” David menatap pecahan gelas itu. Cahaya yang dipantulkannya seperti senyum Liam yang mengejeknya. *** “Ini bukan tagihan uang, David. Ini deklarasi perang.” Liam Abraham.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN