Nadine mengangkat kepala, matanya menatap tajam ke arah pintu. Suara itu jelas—sebuah hentakan keras yang tertutup deru hujan. Jantungnya berdebar kencang. Apakah Liam kembali? Atau seseorang yang lain?
Dia menunggu, napasnya tertahan, mendengarkan setiap suara yang mungkin. Tapi yang ada hanya rintikan hujan yang tak henti-hentinya menghantam kaca jendela.
Rasa sepi yang tiba-tiba terasa lebih menusuk daripada sebelumnya.
Malam semakin larut, tapi kelelahan tak kunjung datang. Pikirannya terjaga, dipenuhi oleh bayangan Liam dan ketidakpastian nasibnya.
Akhirnya, dia memberanikan diri turun dari ranjang. Telapak kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin, namun rasa dingin itu sama sekali tak berarti baginya setelah merasakan dingin yang membekukan tulang di ruang isolasi.
Dia berjalan pelan ke jendela, menatap kota yang tengah diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berkedip samar-samar di balik tirai hujan, menciptakan bayangan-bayangan yang seolah menari dan menyimpan ancaman. Jalanan sepi, hanya sesekali siluet mobil yang melintas seperti hantu dalam kegelapan.
Perlahan, dia berpaling dari jendela dan melangkah menuju pintu. Jarinya yang gemetar meraih gagang pintu, berharap jika pintunya tidak terkunci.
Tapi gagang itu tak bergerak. Terkunci.
Kepalanya terkulai, rasa frustrasi dan keputusasaan menyergapnya sekali lagi. Dia menghela napas panjang, merasa seperti tikus yang terjebak dalam labirin yang tidak ada ujungnya.
Dia kembali ke ranjang, memeluk lututnya dan memandangi hujan yang tak henti-henti. Air mata akhirnya menetes, bercampur dengan rasa dingin dan ketakutan yang tidak lagi bisa ditahannya. Nadine si gadis liar kini seperti kelinci malang.
Beruntungnya, kini dia berada di kamar yang layak, bukan di ruangan isolasi yang gelap dan dingin. Sungguh betapa traumanya dia berada di dalam ruang gelap dan dingin.
Keesokan paginya, Nadine terbangun dengan tubuh yang terasa sedikit rileks. Suasana kamar masih temaram, karena semalam dia sengaja menutup rapat gorden agar cahaya pagi tidak menembus masuk.
Tanpa sadar, dress tidurnya yang tipis itu tersingkap, memamerkan pahanya yang putih mulus. Dia berganti posisi menjadi terlentang, satu kakinya tertekuk, membuat dress tipis itu kian naik, mengumpul di pinggulnya.
Hening pagi itu pecah oleh suara rendah dan dingin seseorang.
“Kau sengaja melakukan itu, ya?”
Nadine sontak membuka mata lebar-lebar. Tubuhnya kaku ketika menyadari ada sosok lain duduk di sofa tak jauh dari ranjangnya. Matanya membulat sempurna—Liam.
Jantung Nadine berdetak kacau. Cepat-cepat dia menarik selimut dan merapikan dress tidurnya, menutupi bagian tubuhnya yang tadi terekspos. Namun, Liam tidak mengalihkan pandangan sedikit pun. Tatapan matanya tajam, tapi ada bara api yang sulit disembunyikan di sana.
Dengan tenang, Liam berdiri dari duduknya. Kemeja putihnya rapi, lengannya digulung hingga menampakkan otot lengan yang tegas. Celana kain hitamnya membuat sosoknya tampak semakin berwibawa. Setiap langkahnya mendekat membuat napas Nadine tercekat.
“Kenapa ... Anda ada di sini?” Nadine berusaha mengatur suaranya, tapi getarannya terdengar jelas.
Liam berhenti tepat di sisi ranjang. Dia menatap Nadine dari atas, ekspresinya datar, suaranya rendah tapi penuh tekanan.
“Kau lupa di mana kau sekarang?”
Nadine menunduk, menggenggam erat selimut. “A ... aku tidak—”
“Kau di bawah pengawasanku, Nadine.” Liam memotong tegas, tapi nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, seolah menahan sesuatu. Tatapannya turun sekilas, menyorot dress tipis yang membungkus tubuh wanita itu, dia bisa melihat puncak dadanya yang tercetak sangat kentara sekali. Mengenyahkan pikiran liarnya, Liam kembali naik menatap wajah Nadine. Rahangnya mengeras.
Nadine bisa merasakan aura panas dari tubuh pria itu meski jarak mereka masih beberapa langkah. Tubuhnya tegang, sementara pikiran berkecamuk tak menentu.
“Kalau kau tidak mau membuatku kehilangan kendali,” Liam mencondongkan tubuh sedikit, suaranya nyaris berbisik di telinga Nadine, “jangan pernah tidur dengan pakaian seperti itu ... ketika aku ada di dekatmu.”
Nadine membeku. Degup jantungnya makin kacau, sementara Liam menegakkan tubuhnya lagi, berbalik, lalu melangkah keluar tanpa menoleh sekalipun.
Hanya pintu yang tertutup pelan, meninggalkan Nadine dengan napas yang tercekat dan pikiran yang tak karuan.
“Aku harus pakai apa? Pelayanmu sendiri yang memberikan baju ini,” gerutunya dalam hati, rasa kesal dan frustrasi membuncah. Dia merasa dipermainkan. “Lagipula dia sendiri yang berada di sini saat aku tidur.”
Tidak lama kemudian, Mary masuk membawa nampan berisi sarapan. Nadine memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
“Aku seperti bukan tawanan lagi di sini,” ujarnya, suara masih bergetar sedikit.
Mary meletakkan nampan di nakas, lalu duduk di tepi ranjang. “Mungkin Tuan Liam sudah merasa cukup dengan hukumanmu, Nona. Apalagi... kau hampir meninggal kemarin.”
Nadine memandang tajam. “Apa dia merasa bersalah? Tidak mungkin. Dia pria yang kejam.” Nadine menggigit bibir, kenangan penyiksaan di ruang isolasi kembali menghantuinya. “Aku tidak akan pernah melupakan apa yang dia lakukan. Aku lebih memilih mati daripada mengalaminya lagi.”
“Sudah mendengar berita tentang ayahmu, Nona?” tanya Mary. Nadanya terdengar sangat hati-hati.
“Ya,” jawab Nadine, menunduk. Jemarinya meremas ujung dress tidur. “Perbuatannya kejam. Ayahku tidak salah menuduhnya. Liam ... dia adalah seorang yang sangta licik.”
Mary hanya diam, matanya menghindari tatapan Nadine. Sebagai pelayan setia, dia tidak boleh membicarakan majikannya.
“Nona ....” Mary mencoba mengalihkan topik.
Nadine mendongak, tatapannya tiba-tiba penuh dengan tekad yang menggantikan keputusasaan. Sebuah rencana berkelebat di pikirannya, tapi dia ragu untuk mempercayainya pada Mary.
“Apa Liam akan membebaskanku, Mary?” tanyanya, suara penuh harap yang tertahan.
Mary mengangkat bahu, wajahnya tidak memberi jawaban. “Saya tidak tahu, Nona.”
“Mary, keluar!”
Suara Liam yang dingin dan memerintah terdengar dari ambang pintu kamar yang terbuka.
Mary langsung melompat berdiri dari tempat duduknya dan bergegas keluar, hampir tidak berani memandang Nadine sekalipun.
Liam menutup pintu, mengabaikan tatapan tajam Nadine. Lalu tatapan tajamnya beralih kepada Mary yang gemetar di koridor.
“Pergi ke rumah utama. Banyak pekerjaan yang menunggumu di sana,” perintahnya dengan suara datar, tapi penuh ancaman.
Mary memberanikan diri menatap tuannya, wajahnya pucat. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud—”
“Lance akan mengantarmu. Bersiaplah,” Potong Liam tanpa ampun. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Mary yang terpaku ketakutan, menyadari bahwa ini adalah hukuman karena kedekatannya dengan Nadine.
Mary menoleh ke arah pintu kamar Nadine, lalu menggeleng pelan. Segera dia bergerak meninggalkan koridor menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Lagi, dia terkena hukuman karena terlalu baik pada tawanan.
***
David Alexander duduk lesu di hadapan dua penyidik. Keringat dingin menguar di dahinya.
“Pak David, kami telah menerima bukti transfer dari pihak Anda ke rekening Tuan Liam Abraham. Senilai Rp3,8 miliar. Namun, kami juga menerima surat penolakan dari kuasa hukumnya,“ ucap AKP Reno, tim penyidik.
David terkejut. “Penolakan? Apa maksudnya? Dia sudah terima uangnya!”
“Menurut tim hukum Tuan Liam, pembayaran ganti rugi tidak serta merta membatalkan laporan pidana. Mereka tetap mendorong proses hukum untuk pasal perusakan barang budaya dan pelecehan rumah tangga,” jelas IPTU Sari.
“Ini tidak adil! Saya sudah bayar! Dia hanya ingin mempermalukan saya!” sergah David tak terima.
“Sayangnya, secara hukum mereka berhak. Tuan Liam menyertakan bukti kuat—foto barang rusak, laporan appraisal, dan yang paling berat: rekaman CCTV yang menunjukkan anak buah Anda membongkar kamar pribadi putrinya. Yang mana itu sama sekali tidak diperlukan.”
David menutup wajah. “Itu ... itu karena mereka panik mencari Nadine!”
“Motif Anda kami pahami, Pak. Tapi cara Anda melanggar hukum. Dan sekarang, Tuan Liam tidak mau berkompromi.”
David terdiam lama. “Jadi apa yang terjadi sekarang?”
AKP Reno menautkan kedua tangan di atas meja. “Proses hukum akan tetap berjalan. Anda akan dipanggil kembali untuk tahap penyidikan. Sementara itu, tim kami akan terus mencari putri Anda secara terpisah.”
David bangkit, tubuhnya limbung. “Tolong, tolong selamatkan Nadine. Hukum saya saja nanti, tapi jangan hentikan pencariannya.”
AKP Reno mengangguk cepat. “Tentu, Pak. Anda tidak perlu khawatir, tim kami akan terus mencari putri anda.”
David meninggalkan ruang penyidik dan langsung masuk ke mobilnya menghindari para awak media yang ingin mencari berita tentang tuntutan Liam Abraham terhadap dirinya.
“Ya, Tuhan, di mana kau Nadine.” David kembali mengusap wajahnya kasar.
Ramon yang tampak fokus menyetir pun merasa aneh dengan kasus hilangnya Nona majikannya. Tidak ada jejak, tidak ada saksi, bahkan tidak ada yang meminta tebusan.
***
Nadine mondar-mandir di kamarnya, gelisah. Sejak siang, Mary tidak muncul. Yang mengantarkan makan siang adalah Lance, dan pria itu bungkam seperti patung meski Nadine sudah bertanya dengan sopan.
Setiap kali dia berjalan, dia merasa mata lensa CCTV di sudut langit-langit mengikutinya—seperti mata Liam sendiri yang mengawasi setiap gerak-geriknya.
Bunyi anak kunci yang diputar dari luar membuatnya menghentikan langkahnya yang sejak tadi mondar-mandir. Pintu terbuka, dan Lance muncul dengan wajah tanpa ekspresi.
“Tuan Liam menunggu Anda di ruang makan,” ujarnya datar, tubuhnya menghalangi pintu seolah siap mencegah setiap perlawanan.
“Mengapa sekarang dia mau makan bersamaku?” tanya Nadine, mencoba membaca wajah Lance. Tapi pria itu hanya diam, matanya kosong seperti tidak mendengar.
Dengan hati berdebar, Nadine mengikuti Lance. Di ruang makan, Liam sudah duduk di kepala meja. Wajahnya langsung berkerut melihat Nadine masih mengenakan dress tidur sutra yang menerawang.
“Kau sengaja membuatku jengkel, ya?” desisnya rendah. “Atau kau berharap aku melakukan sesuatu karena pakaianmu itu?”
Nadine tidak menjawab. Dia duduk di seberang meja, tangan berkeringat. Dia sungguh tidak peduli dengan semua ucapan Liam yang menyindirnya.
Liam tidak lagi memandangnya. Dia menyuapkan makanannya dengan elegan, tetapi setiap gerakannya memancarkan kemarahan yang tertahan. Suasana jadi tegang, hanya suara sendok dan garpu yang berdenting keras di antara mereka.
Nadine menikmati makan malamnya dengan tenang yang sedikit dipaksakan. Di balik sikapnya yang kalem, jantungnya berdebar kencang. Setiap suapannya terasa seperti batu, tapi dia harus tetap terlihat normal. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: pisau makan di sebelah piringnya.
Begitu Liam mengalihkan perhatiannya ke gelas wine-nya, Nadine bergerak cepat seperti ular. Tangannya menyambar pisau itu dan diselipkan ke balik paha kanannya, berharap dress tidurnya yang longgar bisa menyembunyikannya.
Sial. Kain sutra yang tipis sama sekali tidak bisa menahan bentuk pisau. Bilah logam itu terlihat jelas menyembul di balik kain.
“Kembalilah ke kamarmu,” perintah Liam tiba-tiba, suaranya datar tapi nadanya seperti peringatan.
“Baiklah,” jawab Nadine, berusaha membuat suaranya tetap rata. Dia berdiri dan berjalan perlahan menuju Liam, yang masih duduk di ujung meja. Setiap langkahnya terasa berat, nafasnya tertahan.
Saat melewati Liam, nalurinya meledak. Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan pisau dan mengayunkannya ke arah leher Liam!
Tapi Liam sudah siap.
Tangannya yang seperti cakar elang menangkap pergelangan tangan Nadine dengan kekuatan brutal, menghentikan laju pisau hanya beberapa sentimeter dari urat nadinya.
“Bodoh sekali,” desis Liam, matanya menyala dengan amarah dan ... sesuatu yang mirip kekecewaan. “Kau pikir aku tidak melihat bayangan pisau di kain sutramu yang menyedihkan itu?”
Dengan gerakan satu tangan, dia melemparkan Nadine ke lantai bersamaan dengan pisau itu terjatuh dan berdering di lantai marmer.
Liam berdiri, menatap Nadine yang terkapar dengan pandangan menghina.
“Kau tidak akan pernah belajar, ya?”
Nadine menatap Liam, mata yang membara dengan amarah namun sekaligus diliputi ketakutan yang mendalam. Setiap hela napasnya terdengar berat, seperti binatang yang terjebak.
“Kau ingin dihukum lagi, rupanya,” ucap Liam, suaranya datar namun mematikan.
“Tidak! Aku ingin pergi dari sini!” teriak Nadine, merayap mundur di lantai dingin dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Setiap sentimeter menjauh darinya terasa seperti sebuah kemenangan kecil.
Tapi Liam adalah algojo yang tak kenal ampun. Dia melangkah mendekat, bayangannya menutupi tubuh Nadine yang semakin ketakutan.
“Kemarilah, Little Bird,” bisiknya, julukan yang terdengar merendahkan sekaligus menguasai. Tangannya yang besar meraih ke arah Nadine.
“Menjauh dariku, sialan!” bentak Nadine, memukul dan menendang liar untuk menghalau tangan Liam yang hendak menyentuhnya. Perlawanannya sia-sia, seperti kupu-kupu yang terjebak dalam kepak elang.
Dengan satu gerakan kuat dan terlatih, Liam berhasil mengangkat tubuh ringkih Nadine dan menempatkan ke pundaknya. Nadine tergantung tak berdaya, kaki dan tangannya masih meronta-ronta.
“Tidak! Turunkan aku, b******n!” teriaknya, tinjunya memukul-mukul punggung Liam yang keras bagai batu, tapi pria itu bahkan tidak bergeming.
Liam berjalan membawanya keluar dari ruang makan, tidak peduli dengan teriakan dan pukulan Nadine. Bagi Liam, ini adalah sebuah tugas yang harus diselesaikan—menaklukkan sang “Little Bird” yang masih terlalu liar untuk dijinakkan.