13. Upaya Terakhirnya

1953 Kata
Gita mendekati Arabella yang sedang duduk bersama dua temannya di taman kampus. Wajah Arabella langsung berkerut melihat salah satu teman seorang yang pernah menyiksanya. “Kau sudah kembali kuliah?” tanya Gita, mencoba terdengar netral. Arabella menatapnya dingin. “Seperti yang kau lihat,” jawabnya singkat, suara datar tanpa emosi. Dia sudah menyiapkan mental untuk pertemuan seperti ini. Gita mengambil langkah maju, tangan dilipat di depan d**a seperti bentuk pertahanan diri. “Aku menyesal atas apa yang terjadi padamu. Dan... aku mewakili Nadine untuk meminta maaf. Ketahuilah, aku sudah mencoba menghentikannya tapi—” Arabella langsung mengangkat tangan, memotongnya. “Cukup.” Dia berdiri, mendekati Gita hingga mereka hampir berhadapan langsung. Matanya menyala dengan amarah yang lama dipendam. “Apa kau di sini karena berpikir aku ada hubungannya dengan hilangnya Nadine?” tanyanya, suara rendah tapi tajam. “Kalau iya, kau salah besar. Dan kau membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.” Gita terlihat gugup, langkahnya mundur sedikit. “Aku ... tidak menuduh. Aku hanya ingin menyampaikan permintaan maaf—” “Permintaan maafmu sudah terlambat,” sergah Arabella, memotongnya lagi tanpa ampun. “Dan aku sama sekali tidak peduli. Sekarang, permisi.” Dia berbalik dan kembali ke teman-temannya, meninggalkan Gita yang berdiri kaku dengan perasaan ditolak dan dipermalukan. Gita berjalan menjauh dari Arabella dan teman-temannya, pipinya memerah karena malu dan sedikit marah. “Ternyata aku salah menilainya,” gumamnya, menghela napas panjang. Dalam pikirannya, sebuah keraguan mulai muncul: “Tapi, bisa saja dia berubah jadi pemberani karena penganiayaan itu, kan?” Dia menemui Freya dan Sara di kantin, lalu duduk dengan lesu. “Arabella sudah kembali kuliah,” ujarnya, memberitahu kedua temannya. “Aku sudah lihat dia sejak kemarin,” sahut Freya tanpa mengalihkan fokusnya dari makanannya di atas meja. Sara dan Gita langsung melirik Freya dengan sorot mata tajam penuh tanya. Merasa diperhatikan, Freya akhirnya menatap mereka. “Apa kalian pikir dia ... eh, maksudku, ayahnya, ada hubungannya dengan hilangnya Nadine?” tanyanya, berusaha mengalihkan fokus dari fakta bahwa dia menyembunyikan informasi. Gita menggeleng, wajahnya dipenuhi keraguan. “Entahlah, kita tidak punya bukti apa-apa. Malah, Om David yang sekarang berurusan dengan hukum karena dituduh merusak rumah Liam. Situasinya jadi terbalik.” “Ini kasus yang sangat aneh,” sela Sara, menatap kedua temannya dengan mata berbinar penuh ketidakpercayaan. “Pikirkan baik-baik. Kalau Nadine diculik, mestinya ada permintaan tebusan. Kalau dia kecelakaan, pasti sudah ada berita atau laporan polisi. Tapi ini... dia hilang begitu saja seperti ditelan bumi. Aneh sekali!” Freya menghela napas, menyeruput minumannya. “Aku juga bingung. Rasanya seperti ada yang sengaja menutupi semuanya. Tapi siapa yang punya kekuatan untuk melakukan itu?” “Liam Abraham,” gumam Gita pelan, hampir seperti takut mengucapkan nama itu. “Tapi lagi-lagi, kita tidak punya bukti. Hanya feeling.” “Feeling kita biasanya tidak pernah salah,” tambah Sara meyakinkan. “Tapi feeling saja tidak cukup untuk menyelamatkan Nadine atau menyelamatkan Om David dari tuntutan hukum.” “Jadi kita harus apa? Hanya menunggu?” tanya Freya, frustrasi. “Menunggu sampai Nadine tiba-tiba muncul, atau ... sampai ada kabar buruk?” Ketiganya terdiam, diliputi oleh kebingungan dan rasa tidak berdaya. Misteri hilangnya Nadine terasa semakin gelap dan tanpa jawaban. *** Nadine yang tengah memandang keluar jendela, langsung menegakkan tubuhnya begitu mendengar bunyi pintu terbuka. Liam berdiri di ambang pintu, siluetnya yang tegap terpampang jelas dengan kemeja putihnya yang licin dan celana kain hitam yang sempurna. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Liam, suaranya datar dan dalam, sambil menutup pintu perlahan. Dia mengambil tiga langkah mantap masuk ke dalam kamar, setiap langkahnya seakan mengukur jarak dan dominasinya. Nadine langsung menempel pada kaca jendela di belakangnya, seperti seekor kijang yang melihat singa. Tangannya saling meremas erat, buku-buku jarinya memutih. “Hey,” tegur Liam sekali lagi, memaksanya berbicara. “Aku ... aku menyesal,” nadanya bergetar, kepalanya tertunduk dalam, seolah takut melihat reaksi Liam. “Aku benar-benar menyesal atas semua perbuatanku.” Kali ini, dia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, mempertemukan pandangannya dengan tatapan dingin Liam yang seperti bisa menusuk jiwa. Liam mengamatinya dengan seksama, seperti ilmuwan yang mengamati spesimen langka. “Kau sedang membuat pengakuan?” tanyanya, suaranya datar tanpa nada memuji atau menerima. Nadine langsung kesal. Jelas-jelas dia sudah mengakui kesalahannya dengan tulus, tapi Liam malah menyikapinya seperti sebuah transaksi bisnis yang perlu dikonfirmasi ulang. “Apa lagi yang kau inginkan dariku?!” batinnya berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya hanya diam yang penuh beban. Air mata mulai menggenang di matanya, campuran antara penyesalan, frustrasi, dan ketakutan. Nadine memandang Liam, air mata akhirnya menetes di pipinya yang pucat. “Apa kau masih belum puas menghukumku, Tuan Abraham?” suaranya pecah, penuh kepedihan. “Jika belum, lakukan lagi! Hukum aku sampai kau merasa cukup! Sampai aku benar-benar tidak berarti lagi di matamu!” Dia menarik napas dalam, suaranya bergetar namun penuh keyakinan putus asa. “Buatlah aku lenyap dari dunia ini jika itu yang kau mau! Asalkan dendammu karena aku menyakiti Arabella terbalaskan!” Liam diam sejenak, matanya menyelidiki setiap inci ketulusan dan keputusasaan di wajah Nadine. Di dalam hatinya, sebuah pertanyaan mengganggu: Mengapa dia masih di sini? Arabella sudah pulih. Tapi ... melepaskannya terasa seperti mengakhiri sebuah bab yang belum selesai. “Aku akan memikirkan hukumanmu selanjutnya,” ujar Liam akhirnya, Suaranya terdengar dingin dan terukur, mengubur setiap gejolak yang mungkin ada. Dia berbalik dan meninggalkan kamar, meninggalkan Nadine yang tampak hancur. Pintu tertutup. Nadine terjatuh ke lantainya, tubuhnya lemas tak berdaya. “Aku tidak mengerti ... mengapa aku menjadi tidak berarti sama sekali?” bisiknya pada ruangan kosong, suara penuh kebingungan dan rasa harga diri yang hancur. Dia menatap pintu yang terkunci, dan dengan sisa kekuatan, berteriak lirih, “Padahal kau bisa membunuhku, Tuan Abraham! Itu akan lebih mudah!” Siang harinya .... Nadine memasuki kamar mandi, wajahnya hampa bagai boneka usang. Air mata telah kering, yang tersisa hanya keputusasaan yang membeku. Dengan gerakan lamban, dia mengisi bak mandi dengan air hangat. Uap air mulai memenuhi ruangan, mengaburkan kacanya. Dia melangkah masuk ke dalam bak, tubuhnya menggigil meski airnya hangat. Matanya menatap kosong pada pisau cukur kecil yang dia dapatkan dari alat cukur yang disediakan oleh Liam di lemari wastafel. “Ini akan segera berakhir,” bisiknya, suara parau. “Akhirnya dia akan puas. Aku akan lenyap.” Tangannya yang gemetar mencengkeram pisau cukur itu. Saat dia mengangkatnya, mendekatkan mata pisau yang berkilat ke pergelangan tangannya yang pucat— “Nona! Jangan!” Siska menerobos masuk, menyambar pergelangan tangan Nadine dengan kekuatan yang tak terduga. Pisau cukur itu terjatuh dan tercebur ke dalam air dengan suara ‘plung’ yang samar. “Lepaskan aku!” teriak Nadine, memberontak. “Biarkan aku mati!” Tapi Siska terlalu kuat. Dia menarik Nadine keluar dari bathtub, membungkusnya dengan handuk besar dan memeluknya erat-erat, bukan sebagai pelayan, tapi seperti seorang ibu yang menahan anaknya dari jurang. “Tidak, Nona. Jalan ini bukan jawabannya,” bisik Siska, suaranya tegas namun bergetar. Kemudian dia membawa Nadine keluar dari toilet. Malam harinya .... Siska berdiri kaku di depan meja kerja Liam, yang sama sekali tidak mengangkat kepalanya dari dokumen-dokumennya. “Ada apa?” tanyanya singkat. “Nona Nadine ... hari ini dia mencoba mengambil nyawanya sendiri di bak mandi, Tuan.” Liam membeku. Pena di tangannya berhenti bergerak. Dia perlahan menurunkan dokumennya, matanya yang dingin akhirnya menatap Siska. “Apa?” Suaranya rendah, berbahaya. “Saya berhasil menghentikannya. Dia ... dia menggunakan pisau cukur dan berniat mengiris nadinya.” Liam berdiri, menghadap jendela yang memamerkan gemerlap kota. Punggungnya tegang. Dia tidak berkata apa-apa untuk waktu yang lama. “Apakah Tuan ingin saya tingkatkan pengawasan?” tanya Siska hati-hati. “Tidak, perlu,” jawab Liam akhirnya, suaranya terdengar datar. “Biarkan dia sendiri malam ini. Dan ... ambilkan dia wine terbaik dari cellar.” Siska terkejut. “Tuan?” “Lakukan saja,” potong Liam, masih membelakangi. “Dan jaga ini antara kita berdua.” Begitu Siska pergi, Liam tetap berdiri di depan jendela. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Kau pilih jalan ini, Little Bird?” pikirnya, rasa frustrasi dan sesuatu yang mirip kekalahan menggerogotinya. Ini adalah kali kedua Nadine hampir kehilangan nyawanya. *** Nadine masih terjaga malam itu, matanya melirik pada pergelangan tangannya yang hampir saja dia lukai. Andai saja Siska tidak muncul, mungkin dia sudah tewas saat ini ... dan, pria itu akan segera menyingkirkannya. Entah membuang mayatnya ke jurang, menguburnya di tempat asing, atau bisa saja dibuang ke lautan. Dia merindukan orangtuanya dan juga para sahabatnya, ibu asuhnya .... Pintu kamar terbuka, tapi Nadine sama sekali tidak menoleh. Dia tetap termenung sendiri di atas ranjang. Siska datang membawa anggur terbaik atas perintah tuannya dan meletakkan di atas meja kecil seberang ranjang. “Tuan Liam akan datang sebentar lagi,” katanya memberi tau. Nadine tetap diam tak bergeming sama sekali. Siska memilih keluar dari kamar meninggalkan Nadine yang masih tak merespon. Tidak lama setelah Siska keluar, Liam masuk ke kamar dan mendapati Nadine yang duduk terdiam di atas ranjang. Liam menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan ke meja kecil. Dengan gerakan ritualistik, dia menuangkan wine merah pekat ke dalam dua gelas kristal bertangkai panjang. Dia membawa kedua gelasnya, menyodorkan satu ke arah Nadine. “Ambil ini. Kita patut merayakannya,” ujarnya, suaranya datar namun mengandung makna yang tidak tersampaikan. Nadine hanya menatap kosong ke depan, tubuhnya tidak bergerak, menolak untuk menerima gelas itu. “Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Tuan?” Suaranya pecah, hampir seperti doa yang putus asa. Liam meletakkan gelas Nadine di nakas dengan pelan. Dia lalu duduk di tepi ranjang, kasur berderak pelan di bawah beratnya. “Aku sudah mengakui semua kesalahanku. Aku sudah menjalani setiap hukumanmu. Lalu, apa lagi yang kau inginkan?” Nadine bersuara lagi, frustrasi dan kelelahan yang mendalam terasa dalam setiap katanya. Liam menatapnya, matanya yang tajam menyelami setiap kerapuhan di wajah Nadine. Gadis itu membalas tatapannya, kali ini bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keputusasaan yang memohon belas kasihan. Dan kemudian, dalam sebuah gerakan spontan yang didorong oleh keputusasaan total, Nadine menerjang. Dia mendekati Liam, tubuhnya yang ringkih hampir menubrukkan diri sendiri ke tubuh pria itu. Tangannya mencengkeram kemeja putih Liam dengan erat, knukel-nya memutih. “Aku tidak punya apa-apa lagi!” teriaknya, suara serak dan penuh rasa sakit. “Apa yang bisa kuberikan untuk membuatmu puas? Apa? Katakan!” Wajahnya berjarak hanya beberapa inci dari wajah Liam, napasnya yang pendek dan cepat berbaur dengan napas dingin Liam. Di matanya, ada kepanikan, kemarahan, dan sebuah permohonan untuk akhir—apapun bentuk akhir itu. Nadine memberanikan diri. Dengan segala sisa keberanian yang dipicu oleh keputusasaan, dia mendekat dan memejamkan matanya rapat-rapat. Bibirnya yang lembut dan gemetar menyentuh bibir Liam yang tebal dan dingin. Dia menciumnya. Sebuah ciuman yang penuh dengan air mata, permohonan, dan kehancuran. Sebuah upaya terakhir untuk menyentuh sisa kemanusiaan yang mungkin masih tersisa dalam diri pria itu. Tapi Liam tidak membalas. Dia hanya diam, bibirnya kaku, membiarkan Nadine melakukan semuanya sendiri. Penolakan diam-diam ini terasa lebih menyakitkan daripada teriakan kemarahan. Nadine putus asa. Dia menarik diri, rasa malu dan kekalahan menyergapnya. Air mata mulai mengalir deras, dan dia berusaha menjauh, ingin menyembunyikan dirinya dalam rasa hancur yang semakin dalam. Tapi, tiba-tiba. Satu tangan Liam yang kuat mendarat di punggungnya, menahannya dengan erat, mencegahnya untuk melarikan diri. Sebelum Nadine sempat bereaksi, Liam mengambil alih. Dia membalas ciumannya dengan gairah yang membara dan intensitas yang mengguncang. Ciumannya bukanlah ciuman lembut, melainkan klaim, kemarahan, dan kebutuhan yang lama tertahan. Tangannya yang lain meraih leher Nadine dengan lembut namun penuh kendali, menenggelamkannya dalam sebuah momen yang begitu kontradiktif—antara kelembutan dan kekerasan, antara penolakan dan penerimaan yang liar. Nadine terseret dalam pusaran emosi yang membingungkan. Tubuhnya yang awalnya kaku perlahan meleleh oleh kehangatan yang tak terduga, sementara pikirannya berteriak, bertanya-tanya apa arti semua ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN