Liburan di Bandung sepertinya harus segera diakhiri lebih cepat saat Radja menyuruhku segera kembali ke Jakarta untuk melaporkan hasil pertemuan dengan pak Budi, aku bersyukur Radja menghubungiku dan usaha Pangeran menggangguku dengan gombalannya berakhir hari ini.
Tok tok tok
"Masuk," aku pun membuka pintu ruangan Radja dan langsung berdiri di depannya.
"Mana laporannya?" ujarnya tanpa melihat ke arahku.
Banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, sakit apa tunangannya? Kenapa dompetnya bisa ada di rumah Sandra sedangkan Pangeran bilang dia tidak suka berada di Bandung
"Catta, mana laporannya?" suara Radja membuyarkan lamunanku, aku langsung menyerahkan dokumen yang sudah ditanda tangani pak Budi.
Radja mulai membaca satu persatu dengan serius, aku pun hanya bisa menunggu hasil pemeriksaan Radja.
"Ada yang mau kamu tanyakan?" tanya Radja.
"Eh, apa pak?" tanyaku pura-pura kaget.
"Ada yang mau kamu tanyakan?" ulangnya sekali lagi.
"Itu ... Ada ... Eh nggak jadi deh, nggak enak membahas masalah pribadi di kantor," jawabku gugup.
"Tanya saja," ujarnya pelan.
Radja menutup kembali map tadi dan melihatku dengan tatapan aneh. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri dan jantung ini rasanya berdetak sangat kencang.
Ya ampun pesona tunangan wanita lain ternyata menyilaukan, arghhh andai dia tidak punya tunangan.
"Pangeran dan Alex bilang kalau tunangan bapak ..." aku ingin tahu reaksinya saat aku membahas tunangannya dan lucunya wajahnya tidak berubah, "kalau tunangan bapak sedang sakit, kalau boleh saya tahu sakit apa ya?" sambungku pelan agar Radja tidak tersinggung dengan pertanyaanku.
Radja tertawa dan lagi-lagi aku melihat kemiripan antara Radja dan Pangeran.
"Beri saya satu saja alasan kenapa kamu ingin tahu tentang tunangan saya?" tanyanya balik.
"Itu ... aduh nggak jadi deh pak, anggap saja saya ngigo ya, bapak nggak perlu jawab pertanyaan ngawur saya tadi," aku salah tingkah dan menyesal mengajukan pertanyaan tadi.
Huwaaaa, andai bisa memutar waktu kembali.
"Baiklah, saya akan jawab pertanyaan kamu ... tunangan saya ..." Radja menghentikan ucapannya saat pintu ruangannya terbuka.
Aku menoleh dan melihat Bimo dengan wajah paniknya.
"Bisa ketuk pintu dulu?" tanya Radja ke arah Bimo dengan nada tinggi.
"Maaf saya sudah lancang pak, tadi saya sudah ketuk tapi bapak tidak menjawab. Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang kerjasama perusahaan kita dan Mega contruction," balas Bimo.
"Ada apa?" tanyaku. Bimo mendekatiku lalu menyerahkan map ke tanganku.
"Elo nggak baca dulu?" bisik Bimo di telingaku.
Aku bergegas membuka map tadi dan mulai membaca satu persatu kesepakatan kemarin dan mataku langsung membesar saat membaca nominal yang tertulis di surat kesepakatan itu.
"500 juta? Nilai kontrak yang seharusnya lima milyar tapi di sini tertulis 500 juta? Kamu mau bikin perusahaan kita bangkrut!" suara keras Radja membuatku terdiam.
Ini masalah besar dan kecerobohanku hampir saja membuat perusahaan ayah bangkrut. Ya Tuhan kenapa aku bisa seceroboh ini, biasanya aku selalu membaca berulang-ulang kontrak kerjasama sebelum diserahkan ke pak Radja.
"Untung pihak legal Megacontruction menghubungi saya," ujar Bimo mencoba menolongku dari amukan Radja.
"Tolong tinggalkan kami," usir Radja.
Bimo pun mengambil map tadi dari tanganku dan bergegas keluar agar Radja tidak semakin murka.
Suasana tegang masih terasa meski Radja tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Maaf pak, saya lalai dan ..."
"Semua ini tidak akan terjadi andai kamu tidak membaca novel-novel itu di kantor. Tolong bersikap profesional, jangan mentang-mentang ini perusahaan keluarga lalu kamu bisa seenaknya. Selama ini saya diam karena prestasi kerja kamu patut diacungin jempol tapi kesalahan fatal tadi hampir membuat perusahaan kita gulung tikar," omelnya lagi, wajahnya sangat dingin seperti menahan rasa kesal yang telah lama disimpannya.
Aku masih tertunduk sambil memutar-mutar ujung rokku.
"Maafin saya pak," kataku pelan sambil menahan airmataku tidak turun.
"Berhentilah hidup di dunia khayalan! Tolong ingat siapa a ..." Radja mengepalkan tangannya, baru kali ini aku melihatnya semarah inj, "tolong tinggalkan ruangan saya!" Radja membanting map tadi ke mejanya lalu berjalan menuju jendela lalu membelakangiku dan kali ini airmataku jatuh, bukan karena omelannya tapi ada rasa sakit melihatnya semarah itu padaku.
"Saya akan menyelesaikan kesalahan saya," aku pun meninggalkan ruangan Radja.
Bimo mendekatiku, "Pak Radja marah banget ya?" tanyanya.
Aku menghapus airmataku, "Mana kesepakatan tadi? Bisa temenin gue ketemu pak Budi?" pintaku,
"Bisa ... Tapi gue coba hubungi pihak legal Megacontruction dulu, ayo kita ke sana," aku pun mengangguk lalu mengambil tas serta dokumen yang diperlukan. Bimo sibuk membahas masalah kesepakatan itu dengan pihak legal Megacontruction.
"Buruan, pak Budi lagi di bandara mau ke Bali," ujar Bimo terburu-buru.
"Ya Tuhan! Kesepakatan baru sudah elo bawa kan?" tanyaku sambil berlari menuju lift.
"Sudah," balas Bimo sambil berulang kali melirik jam di tangannya.
Setiba di lobby Bimo langsung mengambil mobil di parkiran sedangkan aku menunggu dengan gelisah. Aku membuka kembali map berisi perjanjian kerjasama yang sudah aku revisi.
"Aduh Bimo mana sih," aku melihat ke arah parkiran dan mobil Bimo tak kunjung muncul.
Drttt drttt
Aku melihat nama Bimo.
"Elo di mana?"
"Antri, ya ampun ..."
"Gue pergi naik taksi saja, elo nyusul ya. Nggak keburu kalau gue masih nungguin elo,"
"Oke."
Baru saja aku hendak memanggil taksi tiba-tiba sebuah motor berhenti di depanku.
"Hai cantik," sapa Pangeran dengan senyum gajenya setelah membuka helm yang terpasang di kepalanya.
Untuk kali pertama kali sejak aku mengenalnya, kedatangan Pangeran sangat aku tunggu-tunggu. Aku bergegas naik ke atas motornya walau dia belum mengizinkan.
"Ya ampun, tante kangen banget ya sama aku?"
"Berisik lo, buruan ke bandara!"
"Bulan madu tan? Tapi kita belum nikah," balasnya. Aku langsung menjewer telinganya dan untungnya dia langsung melajukan motornya dengan kencang.
"Peluk yang erat tan," teriaknya disela kebisingan jalan raya.
Reflek aku memeluknya dengan erat. Baru kali ini aku sedekat ini bahkan aku memeluk Pangeran. Wangi tubuhnya terasa familiar di hidungku.
"Tan, gimana rasanya naik motor lagi dengan aku?" tanyanya sambil berteriak.
"Hah, kamu bilang apa? Nggak jelas!"
"Nggak ada siaran ulang tan, maaf ya."
Aku mengkerutkan keningku.
"Tumben minta maaf."
"Maaf tadi sudah ma ... maaf kalau sebentar lagi tante bakalan jatuh cinta sama aku," ujarnya dengan percaya diri, laju motornya semakin kencang dan reflek aku memeluknya semakin erat.
Tak lama akhirnya kami sampai di bandara. Aku langsung turun dan langsung bergegas masuk ke dalam bandara.
"Tan, aku tungguin ya ..." teriak Pangeran.
"Nggak usah, gue pulang sama Bimo saja!" balasku berteriak, "thank you!" sambungku lagi.
Kondisi bandara yang ramai membuatku kesulitan mencari sosok pak Budi. Aku mencoba menghubunginya tapi sayangnya ponselnya tidak aktif.
"s**t!" aku memaki saat mendengar pengumuman tentang keberangkatan pesawat tujuan Bali.
Aku tertunduk lesu dan rasa kesal membuatku ingin berteriak.
Drttt drttt
Aku melihat nama Radja di ponselku.
Aku membuang napas sebelum mengangkatnya.
"Halo, maaf saya ..."
"Saya di cafetaria bandara bersama pak Budi ... Tolong bawa kesepakatan baru ke sini."
"Hah, kenapa bapak bisa di sini?"
"Jangan banyak tanya, buruan ke sini atau kesepakatan itu berakhir."
Aku tersenyum senang bergegas menuju cafetaria untuk mencari keberadaan Radja dan pak Budi.
Drtt drttt
Aku melihat nama Pangeran di layar ponselku tapi aku mengabaikannya lalu menyimpan kembali ponselku ke dalam tas.
****
Untungnya pak Budi paham dengan kesalahanku dan tidak jadi membatalkan kerjasama kami. Berulang kali aku mengucapkan terima kasih dan juga permintaan maaf.
"Maaf sudah mengganggu waktu liburan bapak," ujar Radja saat pak Budi menyalaminya
"Kalian profesional dan sigap menyelesaikan permasalahan fatal ini dan terima kasih sudah mengejar saya sampai ke sini," balas pak Budi.
Pak Budi pun meninggalkan kami, setelah kepergian pak Budi barulah aku terduduk lemas di kursi. Rasanya kakiku sangat pegal dan perutku sangat lapar.
"Pesan lah makanan untuk kamu," ujar Radja mencoba memperbaiki hubungan kami yang tadi sempat memanas.
"Nanti saja, oh iya kenapa bapak bisa lebih cepat sampai daripada saya ya?' tanyaku penasaran.
"Saya ada pintu ajaib, oh iya nanti kamu pulang sama Pangeran saja. Bimo sudah saya suruh menemui pihak legal Megaconstruction dan sepertinya saya tidak bisa mengantar kamu pulang," balasnya sambil meletakkan beberapa lembar uang ke atas meja, aku melihat dompetnya berbeda dengan dompet yang aku lihat di rumah Sandra kemarin.
"Saya naik taksi saja," balasku.
Malas banget pulang sama Pangeran, lagipula aku yakin dia sudah pulang.
Wait ...
Darimana Radja tahu aku ke sini dengan Pangeran.
"Bapak kok tahu saya ke sini dengan Pangeran?" tanyaku bingung.
"Barusan Pangeran minta duit beli rokok," Radja menunjuk ke arah lain.
Yeah, anak itu hanya bisa minta uang tanpa mau berusaha mencari. Sama seperti tokoh pria misterius di novel Cattaleya.
"Saya pergi dulu, panggilan untuk naik ke pesawat sudah terdengar," ujarnya.
"Heh, bapak mau ke Hongkong lagi?" tanyaku kaget.
"Saya melakukan kesalahan tadi dan sepertinya dia sedih dan saya harus menghiburnya agar saya bisa melihat senyumnya lagi."
Wanita beruntung.
Arghhhh andai aku punya tunangan seperti Radja, mungkin aku akan memintanya tetap bersamaku.
"Semoga tunangan bapak cepat sembuh ya," ujarku tulus.
"Harus ... Dia harus sembuh," balas Radja dan tatapannya semakin aneh saat membahas tunangannya itu, seakan aku ini tunangannya atau aku mengenal tunangannya itu? Aku jadi penasaran dengan sosok yang dicintai Radja itu.
Arghhh Catta bodoh, mana mungkin aku tunangannya. Bukankah tunangannya ada di Hongkong? Lagipula aku tidak merasa pernah bertunangan, bahkan aku merasa tidak pernah pacaran.
****