Bab 13

1184 Kata
Aku masih terduduk lemas di ruang istirahat pekerja toko buku, air mata masih mengalir membasahi pipi dengan sangat deras. Beberapa pelayan toko masih mondar mandir dan bingung melihatku yang terlihat shock berat. "Mbak kita ke rumah sakit ya," ajak salah satu pelayan toko buku. Aku menggeleng pelan dan meremas tanganku yang masih bergetar hebat. "Atau mbak mau kami bawa pulang? Atau mau kami hubungi seseorang dari keluarganya mbak? Suami atau pacar? Orangtua juga boleh," ujarnya lagi. Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku, aku masih bingung dengan semua ini. Kenapa aku bisa menjadi tunangan Radja yang setahuku sedang sakit di Hongkong. Kalau pun iya aku tunangan Radja kenapa aku tidak ingat kisah di antara kami? Kenapa tidak ada secuil pun kenangan di kepalaku tentang hubungan kami? Ya Tuhan, kenapa kepalaku sangat sakit! Kenapa aku tidak bisa mengingat masa laluku. "Nggak ... tolong tinggalkan saya sendiri," ujarku dengan suara serak. Aku masih ingin mengurai benang kusut ini menjadi sebuah cerita. "Baiklah, ini minuman buat mbak. Kalau perlu sesuatu jangan sungkan memanggil kami," balasnya dengan wajah kuatir. Aku mengangguk lemah dan kembali mematung dengan tatapan nanar. Aku membaca kembali artikel-artikel yang banyak membahas masalah penculikan aku dan Radja delapan tahun lalu, bahkan ada satu artikel berisi video penyelamatan kami berdua saat dikeluarkan dari mobil yang telah rusak parah. Di video itu aku bisa melihat bagaimana tubuh kekar Radja terlihat lemah dengan sebuah kayu menancap di perutnya itu, darah membasahi seluruh tubuhnya. Aku juga melihat petugas penyelamat membawaku dengan tandu. Wajahku penuh darah dan aku melihat benda berkilau di jari tangan kiriku. Mungkinkah itu cincin pertunangan kami? Ya Tuhan! Aku tidak sanggup melihat video itu lagi. Aku kembali membaca artikel lain dan dijelaskan juga kalau keluarga Sinathriya terpaksa membawa Radja keluar negeri untuk menyelamatkan hidupnya sedangkan keluarga Dharmawangsa tetap mengobatiku di Jakarta. Dan sebuah artikel lagi membuatku terdiam membisu, di artikel itu tertulis kalau keluarga Sinathriya hanya memiliki 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, artikel ini benar-benar membahas dari hal kecil sampai hal besar. "Radja ... Luka perut ... Pangeran ..." Aku langsung berdiri setelah sadar kalau Pangeran punya luka di perutnya dan artikel tadi membahas masalah Radja yang terluka dibagian perut saat kecelakaan itu dan kesamaan-kesamaan lain di antara Radja dan Pangeran. "Radja adalah Pangeran dan  Pangeran adalah Radja, mereka satu orang dan kenapa aku bodoh sekali! Kenapa aku tidak sadar saat Radja pun terluka di wajahnya sama seperti Pangeran," ujarku lemah. Ya Tuhan, Radja mengganti identitasnya untuk membuatku ingat masa lalu kami dan dengan bodohnya aku malah menghancurkan hatinya. "Mbak, baik-baik saja?" salah satu pelayan toko buku kembali menyapaku. "Saya baik-baik saja ... untuk saat ini," balasku pelan, "terima kasih atas bantuannya dan maaf sudah merepotkan kalian semua, kalau ada seseorang bertanya tentang saya tolong jangan pernah memberitahu siapapun kalau saya pernah pingsan di sini ya," sambungku. "Baik mbak," balas pelayam toko buku itu. Untuk sementara waktu akan menyimpan rahasia ini, aku harus mencari kenangan masa laluku dulu barulah aku memberitahu mereka kalau aku akhirnya tahu tentang kisah kelam antara aku dan Radja. **** "Tan, pucet amat sih," aku menoleh ke arah Pangeran yang baru saja datang. Aku menatapnya panjang tanpa berkedip, Radja melakukan ini semua karena ingin aku mengingat masa lalu kami dan bodohnya aku malah memaki, kasar, marah, benci dan kebodohanku lainnya. Aku membuang muka dan mencoba menahan airmata yang mulai mengenang di ujung mataku. "Kurang darah saja kok, kamu ... elo nggak perlu kuatirin gue. Sudah makan malam? Obatnya sudah diminum? Jangan suka keluyuran malam-malam, ngerokok juga dihentikan. Nggak baik buat kesehatan," ujarku bertubi-tubi. Wajah cerianya langsung berubah menjadi wajah kebingungan. "Tan kesambet di mana sih? Tumben perhatian sama aku, ciyeee yang mulai jatuh cinta sama aku ya," balasnya dengan wajah isengnya. "Ya sudah, malas ladenin elo!" aku kembali membuang muka lalu menggigit bibirku. Pengen rasanya berteriak di depannya kalau aku tahu dia itu Radja tapi bibirku terasa kelu, aku tidak berhak memberitahunya sebelum aku ingat masa laluku. "Ya deh, makasih ya tan sudah perhatian sama aku. Ini yang aku tunggu-tunggu dari dulu, perhatian tulus dari wanita yang aku cintai." Wanita yang juga menyakiti kamu dengan melupakan kisah cinta kita, kenapa kamu masih menungguku Radja? Kenapa kamu mau menunggu wanita seperti aku? gumamku dalam hati. "Tan?" "Gue capek, lain kali ya elo ke sini lagi," rasanya aku tidak sanggup lagi menahan rasa sesak ini. "Ya deh, selamat malam tanteku sayang. Mimpiin aku ya," Pangeran  berdiri dari posisinya lalu meninggalkanku. Aku menatap nanar punggungnya yang mulai menghilang di balik pintu. "Maafin aku Radja," cicitku pelan. **** "Bimo dipanggil pak Radja, wajahnya merah banget. Elo buat salah apa sih?" suara ketakutan Ivan membuatku menoleh ke arah Bimo. Bimo melihatku lalu mengangkat bahunya. "Nggak tahu, rasanya gue nggak buat salah. Elo kali?" tanyanya padaku. "Nggak," balasku pelan. Satu-satunya kesalahanku hanya melupakannya. "Ya sudah, gue masuk dulu," Bimo membuang napasnya lalu masuk ke dalam ruangan Radja. Aku membuka laciku dan anehnya aku menemukam novel Cattaleya. "Maaf ya, gue pinjam nggak bilang-bilang. Bagus banget novelnya walau berakhir tragis, huuuuu mudah-mudahan ada lanjutannya," ujar Ivan dengan wajah tanpa dosa. Aku menggigit bibirku menahan amarah saat sadar ternyata Ivan lah orang yang mengambil novel Cattaleya tanpa seizinku. "Elo kok bisa lancang bongkar laci gue, ambil barang gue tanpa seizin gue?" tanyaku berapi-api. Wajah tanpa dosa Ivan langsung berubah takut melihatku semarah ini. "Maaf, gue juga suka baca dan kayaknya novel itu bagus makanya gue ..." Ivan langsung berhenti membela diri saat melihat Bimo keluar dari ruangan Radja dengan muka kusut. "Urusan kita belum selesai," aku lalu mendekati Bimo. "Ada apa? kenapa elo dipanggil pak Radja?" tanyaku lagi. "Elo ... kenapa kurang teliti sih," Bimo menyerahkan map berisi proposal kerjasama dengan perusahaan Okuhara, inc, aku yang membuat proposal iti tadi malam. Mungkinkah aku salah karena pikiranku sedang kacau? Aku mengambil map itu dan membaca isinya, aku langsung menemukan kesalahan fatal di halaman pertama dan wajar Radja sangat marah. "Maaf," aku meninggalkan Bimo dan Ivan lalu menuju ruangan Radja. Sebelum masuk ke ruangannya beberapa kali aku membuang napas agar bisa menahan diri untuk tidak membahas masalah masa lalu kami. Tok tok tok "Masuk!" ujarnya dengan nada tinggi. Aku lalu membuka pintu ruangannya dan melihat Radja sibuk dengan dokumen-dokumennya. Aku melihat makanan masih tidak tersentuh di meja. "Pak, kenapa belum makan siang?" tanyaku pelan. "Nggak lapar," balasnya tanpa menoleh ke arahku. "Makan dulu, pekerjaan bisa menunggu tapi ..." aku berhenti saat dia menatapku tajam, "maaf, masalah proposal kerjama dengan Okuhara, inc adalah kesalahan saya bukannya Bimo," sambungku dengan nada menyesal. "Terus?" "Saya akan bertanggung jawab," jawabku yakin. "Tanggung jawab? Sepertinya kamu bukan tipe orang yang mau bertanggung jawab dengan kesalahan yang kamu buat," balasnya dengan penuh sindiran. Aku tahu dia kembali mengungkit masalah jawaban yang dulu sempat aku sampaikan. "Kali ini saya tidak akan mengelak lagi, pak. Saya akan bertanggung jawab," jawabku pelan. "Oke, bagaimana dengan tawaran saya yang belum sempat kamu jawab? Bukankah kamu juga harus bertanggung jawab karena telah menyakiti hati saya," ujarnya mengungkit masalah itu lagi. "Saya ..." Aku melihatnya tertawa miris, ada kesedihan di balik tawanya itu. Dadaku terasa sesak melihat wajahnya seperti itu. "Sudahlah, saya tahu kalau kamu akan menolak tawaran saya jadi berhentilah mengungkit masalah tanggung jawab," Radja kembali sibuk dengan dokumennya. Lagi-lagi aku membuang napasku. "Saya ..." aku buang napas sekali lagi, "saya mau jadi pengganti tunangan bapak," sambungku dengan suara bergetar. Aku menggigit bibirku dan mengutuk kebodohan yang baru saja aku buat, buat apa? Buat apa aku menjadi pengganti diriku sendiri. Radja kembali melihatku tanpa berkedip. "Kamu ... ingat?" tanyanya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN