Suasana makin mencekam saat terdengar petir saling sahut menyahut dari langit, ditambah lampu yang tiba-tiba mati semakin membuatku ketakutan. Hanya lilin yang menerangi gelapnya malam. Aku mencoba menghubungi Radja agar dia segera datang tapi Radja tidak menjawab ponselnya dan saat aku ingin menghubungi ayah atau ibu, ponsel ku pun langsung mati.
Sial! Kalau tahu begini aku nggak akan buat Radja marah dan membatalkan acara kencan kami tadi.
aku menutup telingaku dan berdoa semoga Radja segera datang. Sungguh baru kali ini aku merasa setakut ini di rumahku sendiri, aku menarik selimut semakin dalam agar rasa takut tadi bisa hilang.
Ting tong ting tong
Aku tersentak ketika mendengar bunyi bel, bukan sekali dua kali tapi berkali-kali. Aku yakin itu Radja, aku pun segera keluar dari kamarku dengan dibantu penerangan dari lilin dan langsung menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu aku mengintip melalui lobang kecil di pintu dan ternyata sudah berdiri di depan pintu. Aku langsung membuka pintu dan melihat Radja basah kuyub, aku tidak melihat mobil terparkir di depan rumah. Aku hanya melihat motor hitam yang selama ini dipakai Pangeran.
"Radja, kamu kenapa basah kuyup? Mobil kamu mana?" aku memegang tangannya.
"Aku yang harusnya bertanya, kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil memeriksa kondisiku dari kepala sampai badan.
"Aku baik-baik saja, hanya saja tadi aku melihat seseorang mengintip melalui jendela itu dan aku pikir orang itu kamu," ujarku menjelaskan sambil menunjuk ke arah jendela tadi. Radja lalu masuk ke rumahku dan langsung menuju jendela tempat aku melihat sosok asing tadi, dia memeriksa keamanan jendela dan mengintip apakah sosok asing tadi masih ada atau tidak.
Radja membuang napasnya lalu duduk di sofa, melihat tubuhnya basah kuyub aku pun langsung mengambilkan handuk kering untuk mengeringkan tubuhnya, aku juga membuatkan segelas teh hangat agar Radja tidak masuk angin.
"Terima kasih," balasnya setelah mengambil handuk dan cangkir teh dari tanganku.
"Menurut kamu laki-laki itu siapa? Kenapa dia mengintipku dari sana?" tanyaku penasaran.
Radja meletakkan handuk serta cangkir teh ke atas meja dan kembali melihatku dengan mata tajam tapi sendu itu.
"Aku nggak tahu siapa laki-laki tapi satu hal yang pasti kamu mulai tidak aman tinggal sendiri di sini," ujarnya dengan wajah serius.
Aku langsung tertawa dan menggelengkan kepalaku, "Kamu terlalu paranoid, bertahun-tahun aku tinggal di sini dan selama ini aku baik-baik saja kan?" balasku agar dia tidak berpikiran buruk.
"Tempat teraman bisa menjadi tempat berbahaya dan aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, aku tadi menelepon ibu kamu dan dia baru bisa pulang dua hari lagi. Jadi untuk sementara waktu kamu harus tinggal di apartemenku saja, di sana lebih aman dan aku bisa menjaga kamu," ujarnya dengan wajah serius.
Tidak pernah seserius ini dan dari wajahnya juga aku tahu kalau dia tidak mau aku menolak keinginannya.
"Heh, di apartemen? Bersama kamu? Kayaknya kamu terlalu berlebihan, aku yakin laki-laki itu hanya orang iseng atau orang ..." tanyaku panik sambil mencoba mencari alasan yang masuk akal, tapi aku pun curiga kalau laki-lak itu ingin berbuat jahat padaku karena dia berani masuk ke dalam pekarangan rumah tanpa izin.
Dia mengangguk pelan, "Ini bukan masalah terlalu berlebihan atau apa pun tapi demi keselamatan kamu, paham? Dan nggak ada lagi penolakan atau aku sangat marah, kamu tahu kan kalau aku marah apa yang akan terjadi?" ancamnya.
Ya, kamu kalau marah sangat menyeramkan tapi kan tinggal satu apartemen lain cerita, apalagi kami belum menikah.
"Kamu takut kita berbuat khilaf?" tanyanya dengan senyum simpul, ketegangan mulai hilang dan berganti wajah ramah tapi tetap ada gurat-gurat keresahan.
"Ah nggak, tapi ... tapi kayaknya hanya orang iseng doang kok. Aku di sini saja, nggak enak tinggal di apartemen," tolakku halus agar Radja tidak tersinggung lagi.
"Oke, kalau begitu aku yang tinggal di sini," Radja lalu berbaring di sofa meski aku belum mengizinkannya, "kamu boleh kok tidur di sini," sambungnya sambil menunjuk ke arah dadanya.
Aku mengambil bantal kursi dan langsung melemparnya.
"Jangan harap!" aku mengambil lilin tadi dan ingin membawanya ke kamar.
"Catta," panggilnya.
"Jangan mulai lagi Radja atau aku akan marah sama kamu," ujarku mengancamnya. Aku tidak menoleh sedikitpun agar tidak tergoda tidur di dekatnya.
"Catta, tolong tinggalkan lilin itu di sini ... aku ... aku ... tidak bisa napas," aku menoleh ke belakang dan melihat Radja duduk sambil memegang dadanya, Radja terlihat sangat kesakitan.
Aku mendekatinya dan memegang tangannya yang terasa dingin, "Kamu baik-baik saja? Kamu sudah makan? Mana yang sakit? Ya Tuhan, kamu membuat aku panik seperti ini," aku memegang kening, tangan, d**a serta apa pun yang dirasanya sakit.
Radja memegang tanganku lalu menarikku agar dekat dengannya.
"Temani aku di sini," ujarnya dengan senyum khas Pangeran.
"Jadi kamu ... modusin aku?" tanyaku kesal.
"Tolong jangan tinggalkan aku, di sini sampai lampu menyala ... bisa?" ujarnya dengan wajah memelas.
Aku bisa apa? Aku pun mengangguk lalu meletakkan lilin tadi di atas meja, Radja kembali berbaring di sofa sedangkan aku tetap duduk di dekatnya.
****
Setelah perdebatan panjang akhirnya Radja mengalah dan membiarkan aku tinggal di rumah sampai orangtuaku pulang. Aku keluar dari lift dengan hati riang, senandung kecil tidak berhenti keluar dari mulutku.
Senandung itu baru berhenti saat melihat banyak karyawan berkumpul di dekan mejaku, aku yang penasaran langsung menghampiri Bimo dan Ivan yang berdiri membelakangiku.
"Ada apa? Kok rame banget," ujarku penasaran.
"Elo punya musuh?" tanya Bimo dengan wajah tegang.
Aku menggeleng, rasanya aku tidak pernah punya musuh.
"Kenapa? Ada apa?" tanyaku bingung.
Bimo mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah mejaku, aku pun mengarahkan mataku menuju meja itu dan melihat satu persatu karyawan mundur. Akuku langsung membesar ketika salah satu karyawan menyebut kata 'ada darah di meja elo' aku langsung mendekati mejaku dan benar saja, ada genangan darah berserakan di meja kerjaku. Mengotori dokumen-dokumen serta barang pribadiku.
"Ada apa?"
"Itu pak ... ada darah di meja Cattaleya," jawab Bimo dan Ivan berbarengan.
Radja mendekatiku, "Cattaleya," panggilnya. AKu masih terpaku dengan genangan darah itu.
Sayang, tolong jangan ngebut! Aku takut!
KIta harus lari kalau mau selamat, b******n itu mau membunuh kita Catta!
Bayangan itu lagi dan kali ini aku bisa dengan sangat jelas melihat wajah laki-laki yang bersamaku. Kakiku langsung lemas dan hampir saja aku jatuh andai Radja tidak langsung memeluk pinggangku
"Aku ... aku takut," bisikku pelan dengan suara bergetar.
"Bimo, tolong panggil pihak keamanan!" teriak Radja.
"Baik, Pak!"
Aku yang semakin lemah hanya bisa pasrah saat Radja membawaku ke ruangannya, Radja memberiku segelas air minum.
"Tadi itu apa?" tanyaku dengan wajah takut dan bingung.
"Sepertinya ... dia mulai beraksi lagi," ujar Radja sambil membuang napasnya.
"Radja ... ada apa?"
Tok tok tok
"Masuk," pintu terbuka dan Bimo datang bersama pihak keamanan gedung.
"Tolong periksa CCTV dan cari siapa pelaku yang berani meneror ibu Cattaleya," ujar Radja dengan tegas.
"Baik pak,"
"Jangan lupa buang semua barang-barang itu dan pastikan jangan sampai ada jejak tertinggal," ujar Radja lagi, petugas keamanan dan Bimo pun meninggalkan ruangan Radja.
Radja masih mondar mandir sambil menunggu hasil pemeriksaan CCTV.
"Kamu tahu siapa pelakunya?" tanyaku.
"Kamu nggak perlu kuatir, aku akan melindungi kamu ... walau nyawaku taruhannya," balasnya berusaha menenangkanku.
"Nggak ..."
"Pak maaf mengganggu, seluruh CCTV rusak secara tiba-tiba," sela Bimo dan petugas keamanan tadi, setelah melaporkan itu Bimo dan petugas keamanan tadi pun meninggalkan kami berdua. Berulang kali Radja meremas rambutnya.
"s**t!" Radja semakin terlihat kalut, aku melihatnya mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang, entah siapa.
"Ya, gue butuh pengawal untuk tunangan gue, Cattaleya."
Pipiku langsung memerah mendengar Radja mengatakan kalau aku adalah tunangannya, ya ampun ternyata ini yang dinamakan jatuh cinta.
Oke, Cattaleya. Kembali fokus, ini bukan saatnya bermimpi. Ada seseorang ingin menerorku dan Radja menginginkan seorang pengawal untukku dan ini terlalu berlebihan.
"Radja, kayaknya aku nggak butuh pengawal deh. Terlalu berlebihan dan orang-orang bisa menganggapku aneh," ujarku menolak keinginan.
"Aku tidak peduli omongan orang , yang aku pedulikan itu hanya keselamatan kamu," balasnya.
"Tapi ..."
"Aku tidak mau dibantah, Cattaleya. Kalau kamu menolak pengawal itu, jangan salahkan kalau aku mengikuti kamu sampai ke kamar mandi sekalipun. Mau?" ancamnya lagi dan aku hanya bisa membuang napas melihat keteguhannya menjagaku.
****