Bab 16

1288 Kata
Teror yang aku alami di kantor sampai juga di telinga keluargaku, mereka melarangku pergi tanpa pengawalan Radja atau pengawal profesional, awalnya aku menolak rencana Radja memberiku seorang pengawal tapi amarah Radja dan juga ancaman ibu yang akan mencoretku dari kartu keluarga membuatku terpaksa menerima pengawalan Ganindra, orang yang disewa Radja sebagai pengawalku. Sudah hampir dua hari ini Ganindra menjadi pengawalku, dia selalu mengikuti ke mana pun aku pergi bahkan saat aku bersama Radja. Ganindra termasuk manusia tanpa ekspresi, wajahnya selalu  datar dan dingin. Setiap aku bertanya dia hanya menjawab seadanya, menurut Radja Ganindra biasa ditugaskan mengawal keluarga ternama di Jakarta. "Kayaknya kalau aku sedang sama kamu, dia nggak usah ikut deh. Semua orang melihat ke kita, mereka pikir aku pasti tawanan yang sedang dipaksa makan malam," bisikku pelan. Risih juga pergi kencan dengan Radja tapi Ganindra berdiri di belakangku. "Bawa dia lebih aman, masa bodo dengan pemikiran orang. Bagiku keselamatan kamu lebih penting," jawab Radja santai. Aku membuang napas dan kembali mengaduk-aduk makananku. Percuma berdebat dengan Radja kalau akhirnya pendapatku sama sekali tidak didengarnya. Sungguh sangat egois dan mau menang sendiri, mana pernah dia tanya keinginaku apa atau mauku apa. "Besok aku dan Alex ada pekerjaan di Bali, untuk sementara kamu jangan ke mana-mana. Kalau butuh sesuatu minta saja Ganindra membelinya, aku nggak mau dengar laporan kalau kamu membangkang seperti kemarin," ujar Radja dengan wajah seriusnya. Dia kembali mengingatkan tingkahku yang kabur dari pengawalan Ganindra saat aku jalan-jalan di mall. Aku mendengus dan kembali mengaduk-aduk makananku, "Sampai kapan aku hidup dengan teror ini? Aku nggak tahu salahku apa dan kenapa mereka menerorku, menyebalkan!" gerutuku kesal. Andai peneror itu tidak menerorku mungkin saat ini aku sedang berada di kantor dan menyelesaikan pekerjaanku. Bukannya terkurung di rumah dan diberi pengawal yang kakunya seperti kanebo kering. Radja membuang napasnya, "Kamu tidak salah, semua ini karena aku. Aku penyebab kamu mengalami ini semua," ada penyesalan terdengar dari suaranya. Ada gurat-gurat penyesalan di wajahnya. Ya ampun, bukan itu maksudku. "Maksudku ..." Radja meletakkan sendoknya lalu berdiri sambil menatapku panjang, setelah itu aku kembali terdengar helaan napasnya. "Tolong antar Cattaleya pulang, saya harus segera ke bandara," dingin dan menusuk hatiku. Selama ini Radja selalu mengantarku pulang kalau kami pergi kencan tapi kenapa sekarang Radja memerintahkan Ganindra mengantarku pulang. Mungkinkah Radja tersinggung dengan perkataanku tadi? "Baik pak," Ganindra mendekatiku lalu membantu membawakan tas serta jaketku. "Radja ... kamu marah?" tanyaku pelan. Radja tersenyum miris lalu menggelengkan kepalanya, "Sejak dulu mana bisa aku marah sama kamu, pulanglah dan jangan lupa istirahat yang cukup. Aku akan menyelesaikan masalah peneror itu agar  hidup kamu tenang," balasnya sebelum pergi meninggalkanku bersama Ganindra. Aku hendak mengejarnya tapi tangan Ganindra menahanku. "Hey, jangan sentuh saya," kataku marah. Ganindra melepaskan pegangannya lalu mundur beberapa langkah. Aku mengambil tas serta jaketku dari tangan Ganindra lalu mengejar Radja untuk meminta maaf, aku mencari sosok Radja yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku mencoba menghubunginya tapi ponselnya tidak di angkat. "Kamu salah paham Radja, bukan itu maksud aku ..." aku berdiri lemas di depan lobby restoran, maksud hati hanya ingin memberitahunya kalau aku hanya capek menghadapi peneror itu bukan menyinggungnya kalau semua teror itu aku dapat karena aku adalah tunangannya Radja. "Kita sudah bisa pulang mbak?" pertanyaan Ganindra hanya bisa aku jawab dengan anggukan kepala. Lidahku terasa terkunci dan hatiku masih sakit membayangkan Radja pergi dengan rasa sedih mendengar ucapanku tadi. **** Sudah dua hari Radja di Bali dan sejak malam itu Radja sama sekali tidak menghubungiku, ada rasa rindu membuncah di d**a ini ditambah ibu melarangku keluar dari rumah dan itu semakin membuatku kesepian dan juga bosan. Setiap jam aku menghabiskan satu novel lama agar waktu cepat berlalu, entah sudah berapa banyak novel berserakan di lantai kamar. Novel Cattaleya sama sekali tidak aku sentuh, aku belum siap mental melanjutkan kisahnya dan kini novel itu tersimpan rapi di laci meja. Untungnya Sandra menginap di rumahku sejak Radja dan Alex pergi ke Bali, Alex sepertinya kuatir Sandra yang mau melahirkan ditinggal sendirian di rumah makanya menyuruh Sandra menginap di rumahku apalagi maminya Sandra sedang keluar negeri dan baru akan kembali sebelum Sandra melahirkan minggu depan. "Radja belum pulang?" tanya ibu saat mengantarkan segelas s**u putih hangat pesananku. "Belum, jangankan pulang ... menghubungi aku saja tidak, ih nyebelin banget!" gerutku kesal. "Tapi kamu cintakan? Kenapa kamu nggak buang ego dan coba hubungi dia, terkadang laki-laki capek bersikap duluan. Mungkin dia mau kamu duluan yang menghubunginya," tanya ibu dengan wajah isengnya. CInta banget tapi kan aku lemah disakiti seperti ini, hatiku kan setipis k****m sutra. Tipis tapi kalau sudah pecah akan menimbulkan kegemparan, oke fokus lagi Cattaleya. "Ibu kepo deh," aku mencibir agar ibu berhenti menggodaku. Ibu tertawa lalu duduk di sampingku, "Radja ... sangat mencintai kamu, ibu yakin di sini ..." ibu meletakkan jarinya di dadaku, "di sini pun masih menyimpan rasa kan padanya?" sambung ibu. "Apaan sih bu, kepo banget sama hubungan anaknya." Aku membuang wajah agar ibu tidak sadar kalau aku sudah tahu tentang masa lalu kami. Ibu kembali tertawa lalu memelukku, ibu mencium kepalaku berulang kali seolah tidak ingin aku sedih atau terluka seperti dulu. "Bu ... aku boleh bertanya?" tanyaku pelan. "Boleh, buat kamu apa sih yang nggak boleh. Kamu minta kawin saja ibu nggak pernah larang, ya kan?" lagi-lagi ibu mencoba menggodaku dengan wajah isengnya. "Hahaha, ibu bisa saja ... bu, seandainya peneror itu kembali datang, aku akan baik-baik saja kan? Aku nggak mau mati bu, banyak hal yang ingin aku lakukan ..." tanyaku dengan panik. Ibu memegang tanganku agar aku tenang. Banyak hal yang ingin lakukan bersama Radja, aku ingin mengingat masa laluku, aku ingin memberitahu Radja kalau aku sudah mengingatnya dan aku juga ingin membangun masa depanku dengan laki-laki yang aku cintai. "Kami tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, kamu pasti baik-baik saja. Radja sudah menyuruh Ganindra menjaga kamu dan ibu yakin dia bisa menjalankan tugasnya menjaga kamu," balas ibu. "TIDAKKKKKKKKKKK," teriakan Sandra membuatku dan ibu kaget. Kami langsung keluar dan melihat Sandra pingsan di pelukan Ganindra. Ganindra berusaha membangunkan Sandra dengan menepuk-nepuk pipinya. Aku melihat ponsel Sandra jatuh di lantai, aku langsung mengambil ponsel itu. "Halo, saya keluarganya Nyonya Sandra." "Kami sudah membawa korban ke rumah sakit tapi maaf ..." Bulu kudukku langsung berdiri. Aku melihat ibu dan Ganindra sibuk membantu Sandra yang masih tidak sadarkan diri. "Tunggu ...tolong jelaskan ada apa ini?" "Mobil yang disewa bapak Alex mengalami kecelakaan di Bali." Ya Tuhan, Alex! Radja! Bukankah mereka sedang ada pekerjaan di Bali? Tubuhku langsung bergetar hebat membayangkan hal buruk menimpa Radja. "Baik, saya akan segera ke sana." Perasaanku tidak enak dan tiba-tiba bayangan kecelakaan yang aku alami delapan tahun yang lalu kembali muncul di ingatanku. Aku hampir saja jatuh andai Ganindra tidak langsung memegang tanganku, bayangan itu semakin jelas dan membentuk satu cerita panjang. Aku mencoba menahan rasa sakit di kepalaku tapi rasanya sangat menyakitkan dan sulit untuk aku tahan. "Sakit ... ibu .... kepalaku sangat sakit." "Ya Tuhan, ada apa ini!" aku melihat ibu panik melihatku dan Sandra. "Alex! Sakit ...." teriakan Sandra terdengar menyayat hati. "Ganindra tolong bawa Sandra ke rumah sakit! Dia mau melahirkan!" teriakan ibu membuat Ganindra membantuku duduk di sofa setelah yakin aku duduk dengan aman barulah Ganindra menggendong Sandra dan membawanya ke rumah sakit. "Nanti saya menyusul, kalau ada apa-apa segera hubungi saya!" ujar ibu ke Ganindra. "Baik nyonya," balas Ganindra yang langsung membawa Sandra menuju rumah sakit. Ibu mendekatiku lalu memelukku. "Ayo ... ayo ingat lagi masa lalu kamu," bisiknya di telingaku. Aku mencengkram ujung sofa dan bertubi-tubi bayangan masa laluku masuk. "Arghhhhh sakit bu!" aku memegang kepalaku, aku tarik rambutku sekuat tenaga agar rasa sakit itu hilang. "Radja! Aku butuh Radja! Dia kecelakaan di Bali bu, ya Tuhan!" aku memegang ibu dan arimataku langsung tumpah. "Kamu tenang dulu, ibu akan coba cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Bali," ibu mengambil ponselnya. Aku masih meringis menahan rasa sakit di kepalaku. Aku ingat! Aku ingat semuanya! Aku ingat saat aku pertama kali jatuh cinta pada Radja, masa-masa terindah di hidupku dan kejadian tragis yang memisahkan aku dari Radja. Ya Tuhan, kenapa aku ingat saat Radja jauh dariku. Kenapa kami berdua sangat sulit untuk bahagia. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN