Bab 11

1381 Kata
"Maaf," Radja melepaskan pelukannya dan mulai mundur agar menjauh dariku. Wajahnya masih kusut, beberapa kali aku mendengarnya membuang napas. Aku yakin dia menyesal sudah menciumku dan mengucapkan kata-kata yang seharusnya ditujukan untuk tunangannya. Marahkah aku? Tidak, aku yang seharusnya sadar diri dan berhenti bermimpi, Radja sangat mencintai tunangannya dan aku hanya pelariannya saja dan ciuman tadi hanya karena Radja belum sepenuhnya sadar dari mabuknya. "Saya yang seharusnya minta maaf, ah iya sebaiknya kita segera ke kantor ... ada pekerjaan yang harus ... bapak lapar? Mau saya pesankan makanan?" tanyaku untuk menutupi rasa malu dan juga salah tingkah. "Cattaleya," panggilnya pelan. "Ya pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seformal mungkin. "Bisakah kamu membuat saya melupakan tunangan saya?" tanyanya dengan wajah serius. Aku terdiam beberapa saat. "Kenapa bapak memilih saya?" tanyaku lagi. "Karena kamu paling mengerti bagaimana cintanya saya ke dia tapi kamu juga yang membuat saya patah hati dengan saran mencari wanita lain, jadi kamu harus tanggung jawab," balasnya kaku. Aku tertawa miris setelah mendengar jawabannya. "Tanggung jawab yang sangat berat pak, saya harus mengorbankan perasaan wanita lain dan juga perasaan saya hanya karena jawaban bodoh itu?" jawabku sinis. Radja pun tertawa miris dan menatapku panjang dengan mata merahnya. Aku tahu dia sedang mencoba menahan amarahnya. "Bagaimana perasaan saya? Delapan tahun saya menunggu dan dalam sekejap hancur berantakan karena jawaban dari kamu. Tidakkah itu lebih menyakitkan?" balasnya tidak mau kalah. Perbincangan ini tidak akan berakhir kalau salah satu dari kami tidak ada yang mengalah. Bisa saja aku bersikap egois dan menerima tawaran Radja untuk jadi pengganti tunangannya tapi sampai kapan? Bagaimana kalau tunangannya kembali dengan ingatannya dan aku yakin Radja akan mencampakkan aku lalu kembali ke pelukan tunangannya, ujung-ujungnya aku sendiri yang akan sakit hati. "Maaf, sepertinya saya harus kembali ke kantor," aku mengambil tas serta sepatuku lalu berniat meninggalkan Radja yang masih menungguku memberi jawaban. "Cattaleya," panggilnya saat aku hendak membuka pintu kamar. "Cinta pertama sulit digantikan pak, sekeras apa pun bapak mencoba menggantikan tunangan bapak dengan wanita lain tapi aku yakin dia akan selalu ada dalam hati bapak. Jadi saranku lebih baik kita akhiri perdebatan ini, sampai kapan pun saya tidak akan pernah bisa menjadi pengganti tunangan bapak walau ..." aku membuang napas. Walau dalam hati ini aku ingin ada aku di hati kamu, gumamku dalam hati. Kami saling melihat dengan tatapan nanar, untuk saat ini biarlah Radja dengan segala kebimbangannya. Aku tidak mau masuk saat dirinya masih bimbang memilih melupakan tunangannya atau mulai membuka hati baru. **** Satu bulan kemudian. Hubunganku dengan Radja semakin dingin, Radja jarang menyapaku dan sibuk dengan pekerjaannya dan aku pun tidak pernah membahas masalah yang terjadi satu bulan yang lalu. Satu bulan ini Radja juga terlihat jarang ke Hongkong dan sibuk mempersiapkan beberapa kerjasama dengan investor baru. Rencananya weekend ini aku mau menyelesaikan novel Cattaleya yang sudah sangat lama tidak aku baca. Aku mengambil novel Cattaleya dari dalam laci dan mulai membaca bab lanjutan yang belum sempat aku baca. "Tanteeeee, i miss you ..." teriakan Pangeran membuatku memanyunkan bibir, sudah lebih sebulan makhluk rese bernama Pangeran menghilang dari hidupku dan tanpa disangka hari ini aku kembali mendengar suaranya. "Kirain sudah mati," sindirku tajam. "Hampir sih tan, tapi aku ingat kalau aku mati tante pasti sedih banget karena belum mau jadi pacarnya aku, jadi aku memutuskan untuk kembali mengejar tante. Ternyata setelah menghilang satu bulan aku masih sulit melupakan tante," balasnya dengan senyum gaje andalannya. "Ya kali gue nangisin situ," aku mencibirnya. Pangeran kembali tertawa meski terlihat sangat jelas tawa itu dipaksakannya. Sebulan tidak melihatnya ternyata banyak perubahan di dirinya. Dulu pakaiannya sangat berantakan tapi sekarang lebih rapi walau masih dengan kaos serta jeans kebanggaannya itu. "Tan, kencan yuk. Rasanya sudah sangat lama kita tidak pergi kencan. Aku punya dua tiket nonton," ujarnya sambil menunjukkan dua tiket bioskop. Aku menatap tiket itu dan tidak ada salahnya menemani bocah ini nonton, toh hari ini aku tidak ada kegiatan. Aku kembali menyimpan novel Cattaleya lalu berdiri untuk mengganti bajuku. "Elo yang traktir ya," ujarku. "Tentu saja, aku punya duit kok buat traktir pacar sendiri," balasnya sambil mengeluarkan uang kertas berwarna merah. Aku tertawa dan mencibirnya lagi, "Seratus ribu? Elo mau traktir gue bakso? Nggak modal amat." "Yeeee, ini cuma contoh tan. Nih aku punya banyak duit, tante mau apa bilang saja, aku akan membelikannya," balasnya dengan gagah dan percaya diri. "Elo habis ngerampok siapa? Ogah gue makan duit haram." "Buset, tante pikir aku manusia tanpa uang? Tenang saja tan, ini halal dan barokah. Aku cuma malak bang Radja kok. Duitnya kan banyak, aku minta sedikit nggak bakal bikin dia bangkrut," balasnya. Mendengar nama Radja langsung membuat moodku memburuk, ternyata ini yang namanya susah move on. Gimana mau move on kalau laki-laki yang berdiri di depanku kini semakin mirip dengan Radja dan dia pun masih mengungkit-ungkit nama Radja di depanku. "Tunggu sebentar, gue ganti baju dulu." **** Film yang dipilih Pangeran cukup bagus dan aku bisa melupakan sedikit masalah patah hati ini, Pangeran terlihat menikmati setiap detik bersamaku. Tidak jarang dia mengambil kesempatan saat aku lengah dengan menyandar di bahuku. "Tan, aku ke toilet dulu. Jangan ke mana-mana ya, tunggu aku di sini," ujarnya saat kami baru saja selesai nonton. "Buruan atau gue pulang naik taksi saja," balasku. "IYa sebentar," dia pun berlari menuju toilet. Aku yang bosan menunggu memilih mengitari bioskop sambil melihat poster-poster film yang akan tayang. "Cattaleya," aku langsung menoleh saat mendengar namaku dipanggil seseorang. Ada wanita seusiaku berdiri dengan laki-laki seumurannya. "Ya," jawabku sambil mencoba mengingat siapa wanita yang berdiri di depanku. Rasanya aku tidak mengenalnya atau pun laki-laki yang bersamanya. "Astaga! Elo benaran Cattaleya kan? Elo lupa sama gue?" ujarnya dengan semangat. Lagi-lagi aku mencoba untuk mengingat siapa dirinya tapi nihil. "Siapa ya, maaf gue ... nggak ingat," kataku malu dan juga penasaran siapa wanita itu. "Gue ... Sarah, teman SMA elo. Ya ampun gue saja masih ingat sama elo tapi elo nggak ingat, keterlaluan banget jadi teman hahahaha," ujarnya sambil memukulku pelan. Sungguh aku tidak ingat siapa saja teman-temanku saat SMA, itu yang selama ini menjadi pertanyaan dibenakku. Kenapa sedikitpun aku tidak ingat masa SMA-ku. "Sarah ... apa kabar?" tanyaku mencoba untuk berpura-pura mengenalnya. Karena dia tahu namaku pasti dia benar-benar teman SMA-ku. "Baik, wah sudah lebih sepuluh tahun kita tidak bertemu. Gimana kabar elo? Sudah berapa anaknya dan gimana kabar suami elo? Kabar yang gue dengar kalian langsung tunangan kan saat tamat kuliah?" Senyumku langsung hilang, fix dia salah mengenali orang. Sejak kapan aku punya anak, jangankan punya anak, punya suami saja belum, jangankan punya suami punya pacar saja belum dan sialnya sekarang aku sedang kencan dengan brondong gila yang sampai sekarang belum balik juga dari toilet. "Kayaknya elo salah orang deh," aku mencoba memberitahunya kalau aku bukan Cattaleya kenalannya. "Nggak mungkin ah, ya kan sayang? Kamu ingat Cattaleya anak IPA 3?" tanyanya ke laki-laki yang aku tebak pasti suaminya. "Iya, pacarnya si Ra ..." "Tan! Ayo makannnnnn," teriakan Pangeran membuatku tidak tertarik meladeni mereka. AKu yakin mereka salah orang. "Maaf, gue permisi dulu." Aku meninggalkan mereka dan langsung menghampiri Pangeran. "Nah kan iya dia Cattaleya, itu kan ..." AKu menoleh ke arah mereka lagi tapi Pangeran langsung menarikku menjauhi mereka. "Aneh deh, kok mereka pikir gue sudah punya suami ya," ujarku bingung. "Karena tante kelihatan tua kali, makanya tan kenapa sih nggak mau nikah sama aku, kan lumayan punya suami ganteng kayak aku," ujarnya dengan narsis. "Males banget! Ayo makan daripada kamu ngawur nggak jelas," ujarku kesal sambil berjalan lebih cepat darinya. Pangeran menyuruhku lebih dulu masuk ke dalam mobil, "Aku ke toilet lagi ya tan, mules," ujarnya sambil memegang perutnya. "Lagi? Ya sudah pokoknya nggak pakai lama," ancamku lagi. "Siap!" Pangeran berlari masuk ke dalam mall lagi dan aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik melalui ponselku. Cukup lama aku menunggu dan saat rasa bosan mulai datang barulah Pangeran datang dengan kondisi wajah penuh luka. "Lah elo kenapa? Bukannya tadi bilang ke toilet?" tanyaku bingung kenapa wajahnya yang tadi baik-baik saja kini penuh dengan luka dan juga darah. "Biasa tan, nggak laki kalau nggak berantem," balasnya dengan wajah tanpa dosa. Hah? Berantem? Dengan siapa? Pangeran pun mulai melajukan mobilnya dan tanpa sengaja aku melihat wanita yang menyapaku tadi sedang membantu suaminya yang juga terlihat terluka. Ya ampun, jangan bilang Pangeran berkelahi dengan suami wanita itu? "Tunggu!" "Bisa jelaskan ada apa ini?" tanyaku dengan serius. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN