Bab 10

1165 Kata
Lagi-lagi aku kecewa saat tidak menemukan Radja di ruangannya, ini sudah hari ke lima dia tidak muncul di kantor, mungkinkah Radja marah dengan jawaban yang dulu aku berikan? Aku sedikit menyesal dengan jawaban bodoh itu, itu sama saja membuat Radja patah hati. Bertahun-tahun dia menunggu tunangannya dan aku seenaknya menyuruhnya mencari wanita lain. "Pak Radja belum masuk? Banyak laporan yang belum gue laporkan," tanyaku ke Bimo. "Belum, nggak ada kabar dari beliau," balas Bimo pelan. Aku mengangguk lalu duduk di kursiku, aku meletakkan map berisi laporan yang belum sempat diperiksa Radja, mungkinkah kondisi tunangan Radja di Hongkong semakin memburuk makanya dia pergi selama itu? "Mungkin nggak ya pak Radja masih di Hongkong?" tanyaku penasaran. "Nggak ah, kemarin gue lihat kok dia di salah satu tempat hiburan malam terkenal di Jakarta. Habis mabok kayaknya," sela Ivan, salah satu karyawan bagian HRD yang terkenal sebagai anak malam Jakarta. Mabuk? Nggak mungkin Radja minum sampai mabuk, kayaknya dia bukan type seperti itu kecuali ada sesuatu yang membuatnya melakukan hal itu dan aku yakin ada hubungan dengan jawaban bodoh yang dulu aku sampaikan. "Elo ketemu dia di mana?" tanyaku penasaran. "Dragonfly, Gatot Subroto," balas Ivan dengan muka penasaran. Aku harus menyelesaikan kesalahpahaman ini, aku juga mau minta maaf sudah memberikan jawaban bodoh itu. Aku nggak bermaksud membuatnya patah hati. **** "Anak ini kalau dibutuhkan nggak pernah muncul," gerutuku saat gagal menghubungi Pangeran, ponselnya mati. Aku butuh dia menemaniku masuk ke tempat hiburan malam waktu Ivan bertemu Radja, seumur hidup aku belum pernah pergi ke tempat seperti itu, "awas ya, kalau muncul lagi gue bunuh elo!" sambungku sambil menyimpan kembali ponselku ke dalam tas. Aku membuang napas sebelum melangkah masuk ke dalam tempat hiburan malam terkenal di kota Jakarta ini, suasana ramai dan musik yang berisik membuat jantungku berdetak cepat. "Ada yang bisa dibantu mbak?" sapa salah satu pelayan yang menunggu di depan pintu. "Itu ... saya janjian dengan teman," bohongku, agar pelayan itu mau membantuku mencari Radja. "Oh gitu, silakan masuk. Kalau boleh saya tahu siapa nama temannya mbak?" tanya pelayan itu lagi. "Radja ... Radja Sinathriya," teriakku agar suaraku tidak kalah dengan alunan musik yang cukup kencang dan memekakkan telinga. "Oh Pak Radja, silakan ikut saya." Pelayan itu membawaku menuju ruangan VVIP dan aku bersyukur bisa menemukan Radja tanpa perlu mencari di kerumunan manusia penggila dunia malam. Ruangan VVIP tidak jauh dari tempat pelayan tadi menyapaku. "Ini ruangannya mbak, silakan masuk." "Terima kasih," balasku sambil menyelipkan uang tips ke tangannya. Pelayan itu tersenyum dan meninggalkan aku sendirian di depan pintu ruangan VVIP. Sebelum masuk aku kembali membuang napas, aku masih memegang dadaku agar detak jantung ini kembali normal. "Semangat Catta!" pelan-pelan aku mulai membuka pintu ruangan VVIP. Samar-samar aku mendengar gelak tawa Radja dan juga tawa seorang wanita. Saat pintu sudah terbuka aku melihat Radja sedang memeluk seorang wanita berpakaian cukup seksi, di tangannya ada botol berisi minuman beralkohol. "Maaf," hatiku sakit dan aku menyesal datang ke tempat seperti ini, aku hendak menutup kembali pintunya. "Hey Catta!" teriaknya memanggilku, "ayo masuk," ajaknya. "Maaf, sepertinya saya salah ruangan," bohongku agar dia tidak bertanya kenapa aku bisa berada di sini. Radja lalu melepaskan pelukannya di wanita seksi itu lalu berdiri dengan tubuh sempoyongan. Kondisi Radja sangat memprihatinkan, wajahnya sangat tirus dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Matanya merah, rambutnya berantakan, kemejanya yang biasa rapi kini terlihat berantakan. Radja lalu mendekatiku dan menarikku masuk ke dalam ruangannya. "Pak," aku berusaha melepaskan pegangannya. "Ini kan yang kamu mau? Menyuruhku mencari wanita lain? Tapi kenapa kamu terlihat sedih?" tanyanya dengan suara keras. Wanita seksi itu memilih keluar dan meninggalkan kami berdua. Aku mencium bau alkohol dari mulut Radja. Radja mabuk parah dan dia mulai melantur, dia pikir aku mungkin tunangannya makanya dia berkata seperti itu. "Pak, sebaiknya bapak pulang," kataku pelan. Radja menggeleng lalu mundur beberapa langkah, hampir saja dia jatuh andai aku tidak memegangnya. "Tidak mau ... Di sini lebih baik, aku bisa lupa dengan semua kesedihan ini. Aku bisa lupa kalau wanita yang aku cintai ..." dia menunjukku, "kalau wanita yang aku cintai menyuruhku mencari wanita lain, tahukah kamu kalau jawaban itu membuatku sangat sedih?" sambungnya dengan nada suara berat. Aku melihatnya menunduk dan tak lama bahunya bergerak. Mungkinkah Radja menangis? "Pak, saya ..." Radja mengangkat wajahnya lalu menghapus airmatanya, ya Tuhan Radja benar-benar terluka dan semua ini salahku. Radja mengambil botol minuman baru dan langsung menghabiskannya dalam sekali teguk. "Pak! Bapak bisa sakit!" aku mengambil botol itu dari tangannya lalu membuangnya ke lantai. "Jangan ikut campur!" teriaknya dengan keras tepat di depan wajahku. Aku menatapnya tanpa berkedip dan memegang pipinya dengan kedua tanganku. "Minuman tidak akan menyelesaikan masalah bapak, bapak harus berusaha agar tunangan bapak kembali ingat. Jawaban saya kemarin memang salah dan saya menyesal mengucapkan itu," dia masih menatapku dengan wajah sendunya. "Tidak, jawaban itu ... jawaban itu terdengar tulus," balasnya sambil menggeleng pelan. "Pak, saya ..." "Saya tidak butuh wanita lain ... yang saya butuhkan itu ... kamu," ujarnya sebelum pingsan di dalam pelukanku. Untungnya aku sigap dan sanggup menahan tubuhnya yang cukup berat ini. Aku membantu Radja berbaring di sofa. "Pak, maafin saya ya ..." aku menatap nanar ke arah Radja. **** Aku terbangun saat sinar matahari pagi menyilaukan mataku, aku melihat Radja sudah rapi berdiri di dekat jendela. "Pak," aku lalu berdiri dan mendekatinya,"bapak sudah sadar?" aku hendak menyentuh pipinya tapi dengan kasar Radja menghalau tanganku. "Kita tidak sedekat itu sampai kamu berani membawa saya ke sini," kata-katanya sangat tajam. Aku membuang napas dan kembali mengutuk kebodohanku, seharusnya aku tidak membawanya ke hotel ini. "Maaf saya sudah lancang membawa bapak ke hotel, saya pikir maminya bapak bisa sedih melihat bapak pulang dalam kondisi mabuk parah,"balasku dengan wajah datar. Radja tertawa seakan sedang mengejekku. "Oh ya? Mumpung kita di hotel, bagaimana kalau kita b******a? Ya siapa tahu saya bisa lupa kalau tunangan saya ..." Plakkkk Aku langsung menamparnya. "Sudah cukup pak, sudah cukup bapak bersikap seperti ini! Saya bukan ... Saya bukan ..." Radja menarik pinggangku hingga tubuh kami menyatu. "Kamu menyuruhku mencari wanita lain," ujarnya. "Pak ... Maksud saya ..." aku berusaha melepaskan pelukannya. "Bagaimana kalau saya mau ... mau kamu yang menggantikan dia?" ujarnya dengan wajah sendunya. Ya ampun, Radja sepertinya masih mabuk parah. Bisa-bisanya dia memintaku menggantikan posisi tunangannya. "Bapak sakit ya?" aku memegang keningnya. "Nggak, saya sehat dan sangat sadar. Saya mau kamu ... saya mau kamu menggantikan dia," balasnya. Aku mendorong tubuhnya dan menatapnya marah. "Saya bukan barang pengganti! Saya punya hati dan perasaan pak," suaraku mulai terdengar bergetar. "Cattaleya," Radja mendekatiku lagi, lalu dia memegang pipiku dengan tangannya. "Ingat aku, ingat aku," ujarnya dengan wajah penuh harap. "Pak," aku mencoba melepaskan pegangannya tapi Radja semakin mendekat dan mataku langsung membesar saat dia mulai menciumku. "P ...ak, hmftttt" ciuman Radja yang tadinya pelan mulai kasar seakan ingin aku membalasnya. Reflek aku menutup mata dan mulai membalas ciumannya. Ya Tuhan! Aku membalas ciumannya! Bolehkah aku bersikap egois? Bolehkah aku mencintai tunangan wanita lain? Bolehkah aku ... menjadikan diriku sebagai pengganti wanita yang hanya bisa membuat Radja sedih. "Aku ... mencintaimu," bisiknya di telingaku saat kami selesai ciuman. Aku memeluknya dan membenamkan wajahku di dadanya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN