Bab 9

1478 Kata
Berhubung Alex dan Sandra sedang liburan di Jakarta, malam ini Sandra mengundangku makan malam di rumahnya. Awalnya aku menolak karena malas bertemu Pangeran tapi Sandra terus membujukku dan mau tidak mau akhirnya aku menerima ajakan makan malam mereka. Aku menyusuri dinding rumah untuk melihat foto-foto masa kecil keluarga Sandra. Aku tersenyum melihat foto Sandra dan Pangeran saat mereka masih kecil. Mereka terlihat masih lucu, sangat jauh berbeda dibandingkan sekarang, terutama Pangeran. Waktu kecil wajahnya sangat lucu dan imut tapi sekarang amit-amit. "Itu saat bang Radja saat masih SMA," ujar Sandra saat aku terlihat mengangkat sebuah frame berisi foto remaja memakai baju SMA. Tampan dan terlihat lucu mengenakan baju putih abu-abu. "Ini Radja? Bukannya Pangeran?" tanyaku bingung, di foto ini Radja sangat mirip dengan Pangeran. Bahkan tadi aku sempat mengira dia adalah Pangeran, ya ampun kenapa mereka bisa semirip itu. Sandra menggelengkan kepalanya lalu mendekatiku, "Bukan, itu bang Radja saat masih SMA. Gantengkan? Dulu bang Radja terkenal sangat nakal dan suka bikin masalah, entah sudah berapa kali mami jatuh pingsan dengan ulahnya," ujar Sandra pelan, "dan semua berubah saat bang Radja bertemu tunangannya, sejak itu dia berubah jadi lebih baik dan menjadi kebanggaan mami," sambung Sandra. "Jadi Radja sudah lama mengenal tunangannya?" tanyaku semakin penasaran. "Tentu saja, sejak dia masih duduk di bangku SMA karena mereka satu sekolah bahkan mereka ..." "Ehem," suara deheman membuat Sandra berhenti bicara lalu pergi menuju di mana Alex sedang duduk. Aku sedikit kecewa dan masih banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang Radja dan tunangannya itu. Terutama kenapa aku tidak melihat foto-foto Radja dan tunangannya di rumah ini. Sandra membuat gerakan tutup mulut agar aku tidak bertanya lebih jauh, suasana kembali kaku dan tidak ada satu pun yang mau memulai perbincangan. "Ayo makan, Radja ajak Cattaleya makan dulu," ajak mami Sandra. "Ayo makan dulu," ajak Radja. Aku pun mengikuti Radja, Alex dan Sandra menuju ruang makan. Mami Sandra benar-benar mempersiapkan makan malam dengan sempurna, banyak makanan terhidang di atas meja. Radja membantuku menarik kursi dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. "Terima kasih." "Silakan nikmati makan malamnya, tante cuma bisa masak ala kadarnya," ujar mami Sandra dengan lembut dan keibuan. "Ini banyak loh tan, aku nggak tahu mau makan yang mana dulu," aku menggaruk leherku yang tidak gatal, bingung mau makan yang mana saking banyaknya menu terhidang. "Kamu suka ini kan?" Mami Sandra dan Radja berbarengan sambil menunjuk ke arah piring ayam balado. Aku melirik ke arah mami Sandra dan Radja bergantian, kenapa mereka bisa tahu apa makanan kesukaanku. "Wah tante dan pak Radja bisa tahu apa makanan kesukaanku," aku mengambil sepotong ayam lalu meletakkan di atas piringku. Aku juga mengambil beberapa lauk agar mami Sandra senang masakannya aku makan. "Sudah lama rasanya kita tidak makan bersama, ya kan Catta?" tanya mami Sandra, aku hanya bisa mengangguk pelan. "Kamu harus sering main ke sini, sejak Sandra pindah ke Bandung tante jadi kesepian. Apalagi Radja sibuk dengan tunangannya, tante jadi semakin kesepian. Andai Radja bisa membawa tunangannya pulang ke sini," wajah ceria mami Sandra langsung berubah sendu. "Tapi Pangeran ada kan tante? Tante jadi nggak kesepian lagi," aku mencoba mencari sosok Pangeran tapi batang hidungnya saja tidak ada. "Kamu cari Pangeran? Dia lagi keluar kota," ujar Radja dingin. Yeah, mana pernah kalian berdua ada di satu tempat. Andai Radja ada pasti Pangeran lagi keluar kota atau kalau Pangeran ada Radja lagi ke Hongkong. Ada apa sih dengan mereka, kenapa mereka seperti sedang bermusuhan. "Radja ..." panggil mami Sandra. "Iya mi," jawab Radja mulai tidak nyaman dengan tatapan maminya. "Kapan kamu bawa dia pulang?" tanya mami Sandra. "Belum waktunya, dia masih belum sembuh dan aku tidak mau membuatnya bingung," aku menoleh ke arah Radja dan dia pun melihat ke arahku. Aku tersentak kaget dan buru-buru membuang muka. "Kapan waktunya? Sudah hampir delapan tahun dan rasanya sekarang sudah waktunya dia tahu kalau ..." Brakkkkkk Aku langsung kaget melihat Radja menghantam meja makan dengan sangat marah. Radja melihat maminya dengan mata merah dan wajah tanpa ekspresi. "Aku sudah bilang belum waktunya, andai mami ingat kalau semua ini tidak akan terjadi kalau dulu papi tidak bersikap egois, andai dulu papi tidak membuat perusahaan mereka bangkrut mungkin yang duduk di bangku ini adalah istriku. Tunanganku sakit gara-gara pemilik perusahaan itu berniat membunuhku karena aku keturunan keluarga Sinathriya, mami lupa?" ujarnya dengan nada berapi-api. "Bang, berhenti menyalahkan papi," bujuk Sandra. Ada apa ini? Kenapa Radja membahas masalah pembunuhan? Jangan-jangan tunangan Radja sakit karena usaha pembunuhan itu gagal dan membuatnya koma? "Radja pusing, tolong antarkan Catta pulang," Radja meninggalkan meja makan dengan kasar lalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Aku melihat mami Sandra menghapus airmata. "Maafin tante ya Catta," ujarnya kepadaku. "Loh kenapa minta maaf, aku ... aku ..." aku merasa tidak enak, acara makan malam berakhir dengan pertengkaran antara Radja dan maminya. **** Suasana hati Radja masih sangat buruk, entah sudah berapa kali Bimo dimakinya karena kesalahan kecil. Aku pun sebisa mungkin mengurangi interaksi di antara kami agar Radja tidak salah tingkah di depanku. "Lo dipanggil pak Radja," ujar Bimo dengan wajah sendu. "Ada apa?" tanyaku penasaran. "Nggak tahu, lo lihat sendiri gimana kacaunya kondisi pak Radja," balas Bimo. Dengan malas aku melangkah menuju ruangan Radja, aku mengetuk pintu tapi tidak ada sahutan. Aku mencoba sekali dan tetap tidak ada sahutan. Pelan-pelan aku membuka pintu dan melihat Radja sedang duduk di lantai dengan mata nanar, kertas-kertas berserakan di lantai dan dasi yang selama ini terpakai dengan rapi di lehernya mulai tak berbentuk dasi. "Bapak panggil saya?" tanyaku pelan. Radja mengangkat kepalanya. "Saya butuh kamu, Cattaleya." "Pak, bapak baik-baik saja?" aku mendekatinya lalu ikut duduk di sampingnya, "bapak butuh apa? Apa yang bisa saya bantu?" tanyaku lagi. "Tidak, maaf ... saya ..." Radja lalu berdiri dan membelakangiku. Aku tahu dia sedang menghapus airmatanya. Tunangannya sangat beruntung, terlihat jelas kalau Radja sangat mencintai tunangannya itu. "Pak," panggilku. "Maaf saya terbawa suasana dan maaf tentang kejadian tadi malam," ujarnya dengan senyum dipaksakan. "Bapak butuh teman curhat?" tanyaku dengan tulus. "Teman curhat?" tanyanya bingung. "Ya siapa tahu bapak mau cerita tentang hal yang mengganjal di hati bapak, setahu saya kalau kita bercerita ke orang lain rasa sesak di d**a bisa lepas loh," ujarku mencoba membuatnya lebih tenang. "Bisakah? Mungkinkah sesak di d**a ini hilang kalau saya menceritakan masalah saya ke kamu?" tanyanya balik. "Ya mungkin saja bisa, kita bisa coba kan?" jawabku seadanya. Radja sepertinya tertarik lalu mengambil jas serta ponselnya. "Ayo kita ke café, banyak hal yang ingin saya ceritakan ke kamu," ajaknya. Serius? **** Radja sengaja mengajakku ke café di gedung yang sama dengan kantor kami, Radja menyuruhku memesan makanan atau minuman tapi aku lebih memilih memesan jus jeruk sedangkan Radja memesan segelas kopi hitam. "Bapak lagi galau ya?" tanyaku untuk membuka perbincangan di antara kami. Radja mengangguk pelan lalu menyesap kopi hitam miliknya. "Bisa dibilang begitu," balasnya. "Karena permintaan maminya bapak?" tanyaku lagi. "Bisa dibilang begitu," jawabnya dengan nada datar, "terkadang orang terdekat kita terlalu ingin ikut campur, walau saya tahu tujuannya baik tapi mereka tidak mengerti kalau niat baik mereka bisa berakibat buruk ke dia, ke tunangan saya," sambungnya dengan nada mulai meninggi. Aku mengangguk setuju. "Kalau boleh saya tahu, bagaimana kondisi tunangan bapak sekaranga? Kalau tidak salah sudah delapan tahun dia sakit?" Radja meletakkan cangkir kopinya lalu menyilangkan kakinya, Radja kemudian memijit kepalanya dengan kedua tangannya. "Fisiknya sehat tapi tidak dengan jiwanya," balas Radja. Aku semakin penasaran, aku menyesap jus jeruk milikku dan semakin intenst mendengar penjelasan Radja. "Jiwa? Apa hubungannya dengan usaha pembunuhan yang dibilang mami bapak?" tanyaku bingung. "Kisah cinta kami selayaknya novel-novel picisan, saling cinta tapi keadaan membuat kami tidak bisa bersama. Bukan karena saya tidak mencintainya lagi tapi dia lupa kalau di hatinya pernah ada saya, baginya saya ini hanya manusia asing." Mungkinkah tunangan Radja mengalami hilang ingatan? "Terus?" "Saya sangat mencintai dia, hanya dia satu-satunya alasan saya masih bertahan dan keluar dari neraka yang dibuat b******n-b******n itu," aku melihatnya mengepalkan tangan. "Sayangnya, dia lupa dan menolak keberadaan saya di dekatnya," sambungnya lagi. "Makanya bapak sering ke Hongkong untuk menjenguknya?" "Ya, meski dengan cara jahat. Saya harus membuatnya ingat siapa saya dan bagaimana kisah kami di masa lalu, saya mau dia ingat kalau saya adalah tunangannya, bukan manusia asing yang datang hanya untuk mengganggunya." Dadaku berdesir setelah mendengar dan melihat ketulusan cinta Radja ke tunangannya itu. Andai ada laki-laki seperti Radja bersikap seperti itu kepadaku, mungkin aku akan melupakan pangeran khayalanku. "Catta," panggil Radja. "Ah, kenapa pak? Masih ada yang mau bapak ceritakan?" tanyaku. "Kalau tunangan saya ada di posisi kamu, apa yang akan kamu lakukan?" dia balik bertanya dan aku langsung menutup rapat mulutku. Apa jawaban yang harus aku sampaikan? Aku pun bingung kalau aku berada di posisi tunangannya. "Saya ... saya akan memintanya melupakan saya, karena dia berhak bahagia dengan wanita yang mengingatnya, bukan menunggu tanpa kepastian," jawabku. Wajahnya langsung berubah sendu. Dan untuk pertama kali aku menyesal memberikan jawaban seperti itu, ya ampun bodohnya aku! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN