Sejak Pangeran memelukku siang tadi suasana hati langsung berubah drastis. Makan tidak enak, mau tidur pun tidak bisa, pikiranku bercabang entah ke mana. Semua ucapan dan tindakan Pangeran menari-nari di benakku.
Akhirnya aku memutuskan melanjutkan kisah Cattaleya yang tadi sempat tertunda agar rasa kantuk muncul dan akhirnya aku bisa tidur.
Aku merindukan kamu, Cattaleya.
Ya Tuhan, kenapa ucapan Pangeran tadi kembali terngiang-ngiang di telingaku. Aku menepuk-nepuk pipiku agar kembali fokus dan melupakan kejadian siang tadi.
Luka ini ... luka ini membuatku sedih.
Aku membuang napas mengingat kata-kata Pangeran saat melihat bekas luka di punggungku. Aku turun dari ranjang lalu berdiri di depan cermin besar, aku membuka tanktop dan melihat luka itu melalui cermin, luka yang hampir memenuhi setengah bagian punggungku.
Pantas Pangeran sedih melihat luka ini, aku saja sedih. Sedih karena tidak tahu kenapa bisa punggungku bisa serusak ini. Ibu tidak pernah menjelaskan secara detail dan ibu tidak mau membahas masalah itu lagi walau bagaimana pun aku memaksanya dan sebagai anak yang baik aku pun tidak pernah membahas masalah itu lagi.
Luka di punggung ini juga menjadi alasanku sulit dapat pacar, banyak laki-laki yang aku kejar kabur saat tahu aku punya luka ini atau menolakku tanpa alasan. Makanya sampai detik ini aku tidak pernah punya pacar dan sejak suka baca novel mulailah aku membuat duniaku sendiri, dunia khayal di mana aku bisa membayangkan ada pangeran tampan menyukaiku dengan segala kekurangan.
"Semoga sebentar lagi ada 'Pangeran' asli datang melamarku," ujarku yakin.
Setelah puas melihat luka di punggung aku kembali berbaring di ranjang, aku mengambil novel Cattaleya dan mulai membacanya.
Pertemuan orangtua laki-laki tanpa nama itu dengan Cattaleya berlangsung kaku, Cattaleya sangat takut dan lebih memilih diam.Orangtua laki-laki tanpa nama itu pun sibuk menilai wanita yang berhasil mengubah sikap nakal anaknya.
"Pasti mereka jahat," tebakku yakin.
Sayangnya tebakanku kali ini salah, bukannya melarang hubungan mereka yang ada orangtua laki-laki tanpa nama itu malah meminta Cattaleya jangan pernah meninggalkan anaknya. Mereka meminta Cattaleya menuntun anaknya ke jalan yang benar agar kelak menjadi manusia yang lebih baik dan mampu bertanggung jawab.
"Orangtua yang baik," gumamku.
Aku teringat orangtua Sandra dan mereka pun sama baiknya dengan orangtua laki-laki tanpa nama, hanya saja mereka gagal mendidik Pangeran yang berbeda dibandingkan Radja dan Sandra.
Hubungan Cattaleya dan orangtua pacarnya pun semakin dekat, mereka bahu membahu memberi semangat agar laki-laki tanpa nama bisa masuk ke universitas meski banyak pihak meragukan kemampuannya.
Perjuangan mereka membuahkan hasil, Cattaleya dan laki-laki tanpa nama itu berhasil masuk ke universitas pilihan mereka. Orangtua laki-laki itu sangat berterima kasih dan semakin menyayangi Cattaleya.
Tahun demi tahun mereka lewati dengan penuh cinta dan tanpa masalah, laki-laki tanpa nama bersikap lebih dewasa dan mampu mengayomi Cattaleya. Niatnya cuma satu, membuat Cattaleya bangga dan tujuan akhirnya menikahi Cattaleya dan lucunya Cattaleya pun setuju dengan rencana kekasihnya.
Mereka mulai menyusun rencana masa depan setelah menyelesaikan kuliah mereka termasuk menikah, walau awalnya ditentang kedua keluarga. Kedua keluarga ingin mereka meniti karir dulu baru memikirkan pernikahan tapi mereka tetap bersikeras dan akhirnya kedua keluarga mengalah.
Beberapa bulan sebelum wisuda mereka akhirnya bertunangan.
"Wah, belum apa-apa aku sudah terharu. Belum selesai kuliah tapi dia sudah punya niat menjadikan Cattaleya istrinya."
Bab berikutnya mulai masuk ke masalah utama dan sepertinya aku tidak sanggup lagi melanjutkan malam ini, aku menutup kembali novel Cattaleya dan menyimpannya di dalam laci. Sepertinya sudah cukup aku membacanya hari ini, aku akan sisakan untuk hari-hari berikutnya.
****
Aku lupa kalau hari ini adalah hari senin, aku terbawa suasana saat membaca novel Cattaleya dan baru sadar kalau hari sudah larut malam, akibatnya pagi ini aku telat bangun dan terpaksa melupakan sarapan pagiku.
"Sarapan dulu!" teriak ibu saat aku mencium pipinya.
"Nggak sempat, ada rapat di kantor." Aku juga mencium pipi ayah.
"Hati-hati," ujar ibu dan ayah serempak.
"Siap bos!" aku memberi gerakan siap dengan tanganku lalu menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding. Aku langsung masuk ke dalam mobil dan saat keluar aku melihat sebuah motor berhenti di depan pagar.
"Aduh, datang lagi dah." Aku menekan klakson agar dia menyingkirkan motornya.
"Tan, lapar." Rengeknya dari balik jendela mobilku.
Aku membuka jendela mobil lalu membuat gerakan mengusirnya dengan tanganku.
"Minggir, gue telat nih!" usirku dengan kejam.
"Heh, kok sudah telat saja. Kemarin kita kan cuma saling peluk saja, kok bisa hamil? Yakin bukan hamil anak kuda?" ujarnya dengan senyum slengean andalannya.
Sial!
"Minggir! Gue benar-benar berburu waktu. Gue nggak kayak elo ya, bisa santai dan tanpa beban," sindirku tajam.
"Lapar, kasih makan dulu," rengeknya manja.
Ya Tuhan, aku bukan ibunya tapi dia selalu minta makan dariku. Dipikirnya aku warteg apa!
"Minta sama ibu di dalam, gue nggak punya waktu ngeladeni elo," tolakku lalu menyuruhnya minta makan ke ibu.
"Maunya sama kamu tan, aku maunya makan sama tante atau aku mati nih," dia membuat gerakan palsu seolah sedang menahan rasa sakit di bekas lukanya itu.
Kayaknya dia mulai menggunakan cara itu agar aku iba, ya setelah bertanya ke Alex dan Sandra akhirnya aku tahu kalau bekas operasi itu karena sebagian lambung Pangeran terpaksa dibuang karena suatu alasan yang enggan mereka ceritakan. Jadi sebisa mungkin Pangeran harus makan dan kalau sampai telat makan rasa sakit bisa membunuhnya.
"Ya Tuhan, ampuni aku!" aku kembali turun dari mobil dan membanting pintu, aku harus memberinya makan daripada dia terus menggangguku dengan rengekannya.
"Nah gitu dong, ayo sarapan."
Pangeran menarik tanganku dan tiba-tiba aku merasakan dejavu. Seolah aku dulu pernah melakukan hal yang sama dengan orang lain. Aku berhenti dan bayangan itu semakin jelas, ada laki-laki yang tidak aku kenal menarikku berlari menyusuri jalan setapak di sebuah hutan belantara.
"Tan, kamu baik-baik saja?" tanya Pangeran.
Tidak, kali ini aku tidak baik-baik saja. Kepalaku sangat sakit dan rasanya mau pecah. Aku melepaskan pegangan Pangeran dan terduduk di lantai sambil memegang kepalaku.
"Catta, kamu baik-baik saja?" tanya Pangeran.
"Kepala aku sakit banget, aku nggak kuat!" rintihan terdengar dari mulutku.
Pangeran meletakkan tangan kirinya di ketiakku lalu tangan kanannya di kedua kakiku, aku digendongnya dan dengan terburu-buru dia membawaku kembali masuk ke dalam mobilku.
"Lo mau bawa gue ke mana?" tanyaku bingung saat dia memasangkan seatbelt di tubuhku.
"Rumah sakit," balasnya.
Ada kekhawatiran di balik matanya, untuk pertama kalinya aku tersanjung dengan perhatiannya. Walau menyebalkan ternyata Pangeran baik hati juga, aku menggeleng pelan dan membuka kembali seatbelt tadi.
"Sakitnya sudah hilang kok, kayaknya gue perlu cuti hari ini. Bisa tolong beritahu Radja kalau gue nggak bisa bantuin dia hadir di rapat pagi ini?" ujarku tulus.
"Nggak usah pikirkan bang Radja dan juga kerjaan, yang terpenting tante sehat dulu dan nggak sakit lagi. Aku akan bunuh bang Radja kalau dia maksa tante kerja dalam kondisi seperti ini. Sudah cukup dia membuat tunangannya sakit dan aku nggak akan bisa maafkan dia kalau dia pun membuat tante sakit seperti tunangannya," ujar Pangeran berapi-api.
"Kalau boleh tahu tunangan Radja sakit apa?" tanyaku tiba-tiba.
Kenapa sakitnya tunangan Radja sangat misterius ya, banyak pihak tidak mau menjawab saat aku bertanya.
"Tanya sendiri ke dia, aku nggak bisa jawab," balasnya.
Nah kan, Pangeran saja nggak mau jawab apalagi Radja.
"Terserah, lebih baik kamu pulang." Usirku lagi.
"Lapar, pengen makan sama tante," dia menoel-noel pipiku seakan aku anak kecil.
"Apaan sih," aku menghalau tangannya tapi Pangeran menangkap tanganku lalu menarik tubuhku agar dekat dengannya. Untungnya ada pembatas di tengah mobil jadi tubuhku terhalang pembatas itu.
"Mau apa! Gue lagi sakit!" ujarku agar dia berhenti melakukan hal gila.
"Boleh aku cium? Bibir tante ranum banget," pintanya.
Ya ampun, ciuman pertamaku! Dengan Pangeran? Oh tidak!
"Nggak! Jangan coba-coba!" ancamku dengan mimik wajah serius.
Pangeran tertawa seolah ini bukan ciuman pertamaku, "Yakin? Bukan sekali ini loh kita ... ya deh nggak jadi, aku maunya kita ciuman saat tante sudah jatuh cinta sama aku," dia melepaskan pegangannya dan aku langsung membuang napas.
"Yang boleh cium gue itu hanya laki-laki yang gue cintai dan laki-laki itu bukan elo, paham!" balasku dengan masih dengan mimik serius.
"Oke, aku akan pastikan bibir tante itu hanya boleh mencium aku. Baik dulu atau pun sekarang, maksudku baik sekarang ataupun di masa depan." Pangeran menyunggingkan senyumnya dan aku akui senyumnya sangat manis tapi tetap saja dia bukan typeku. Andai Pangeran bisa seperti Radja mungkin aku akan berpikir dua kali.
"Beneran nggak mau aku cium? Kok kayaknya tante mupeng berat sama bibir aku, ayo lah test drive dulu. Biar kalau nanti tante sudah jatuh cinta sama aku nggak kagok-kagok banget," ujarnya tanpa malu.
"Nih test drive!" aku memukul kepalanya dengan tas tanganku.
Pelan sih tapi cukup membuatnya tutup mulut dan berhenti membahas ciuman lagi.
Pokoknya ciuman pertamaku harusdengan 'pangeran' impianku bukan Pangeran KW seperti dia!
***