Aku masih penasaran siapa orang dalam yang dimaksud Radja, aku mencoba memutar kembali ingatan masa lalu dan setahuku nama-nama orang terdekat Radja tidak ada satupun menjurus ke pelaku penculikan kami. Aku juga mencoba mengingat wajah peneror yang dulu sempat muncul di dekat rumahku tapi gagal total. Kelamnya malam waktu itu membuatku tidak melihat dengan jelas siapa pelakunya.
"Kamu lagi mikirin apa sih? Serius banget," lamunanku buyar saat Radja meletakkan segelas es kopi di depanku. Aku langsung menyesapnya dan melihat ke arah Radja.
Sejak kematian Alex, Radja selalu memintaku jangan pernah jauh darinya dan sejak itu pula aku kembali kerja agar Radja bisa mengawasiku.
Hari ini kami memutuskan menghabiskan waktu makan siang di kantor saja sambil memikirkan cara menjebak peneror itu.
"Peneror itu ... kenapa baru muncul setelah delapan tahun?" tanyaku penasaran.
Radja mengerutkan keningnya, sepertinya dia juga heran kenapa peneror itu muncul lagi setelah delapan tahun. Apa penyebabnya? Kenapa baru sekarang? Arghhh pertanyaan itu membuat kepalaku pusing.
"Kamu coba ingat lagi wajah peneror yang muncul di rumah kamu malam itu," ujar Radja. Aku menggeleng pelan, sekuat apapun aku mencoba tapi sekilas wajah pun tidak muncul di benakku.
Tok tok tok
"Masuk," ujat Radja.
Pintu ruangan Radja terbuka dan aku melihat Bimo serta Ivan masuk membawakan dokumen-dokumen kerjasama yang sempat tertunda beberapa hari ini. Bimo orang pertama yang menyerahkan sebuah dokumen, Radja terlihat fokus membaca dokumen itu sedangkan aku masih mencoba berpikir. Saat ingin melihat ke arah luar entah kenapa mataku melihat binar-binar amarah dari mata Ivan saat melihat Radja.
Ya Tuhan! Dia kah? Astaga, jangan menuduh tanpa bukti Cattaleya, Ivan sudah sangat lama bekerja di sini bahkan sebelum Bimo dan aku masuk, mana mungkin dia pelaku peneror itu tapi ... tapi kenapa dia melihat Radja semarah itu, gumamku dalam hati.
Aku mengambil es kopi tadi dan kembali meminumnya. Aku membuang muka agar Ivan tidak sadar kalau aku sedang memerhatikannya.
"Tolong serahkan dokumen ini ke pihak legal, jangan sampai ada kesalahan seperti sebelumnya," ujar Radja menyindirku. Aku mencibir, untungnya Radja tidak melihat.
"Kalau kamu ..."
Bimo pun mundur beberapa langkah ke belakang Ivan, Ivan mendekati Radja lalu menyerahkan hasil pekerjaannya. Radja terlihat fokus memeriksa dokumen itu, aku kembali mencoba melihat raut muka Ivan dan lagi-lagi ada geram amarah dia tunjukkan.
"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanya Radja pelan. Raut muka Ivan langsung berubah lebih bersahabat.
"Delapan tahun pak," jawab Ivan lugas.
"Sudah sangat lama dan beri satu alasan kenapa kamu bisa sangat loyal bekerja di sini?" tanya Radja lagi.
Diakah orang dalam yang dimaksud Radja? Kenapa kesannya Radja sedang menginterogasinya.
"Karena saya suka tantangan dan bekerja di sini sangat menantang adrenalin saya," balas Ivan.
Ya, aku semakin yakin peneror itu adalah Ivan.
"Bagus, saya suka dengan bawahan seloyal kamu. Bagaimana rencana family gathering akhir minggu ini?" tanya Radja lagi.
Family Gathering? Sejak kapan ada rencana itu. Ya ampun, jangan bilang Radja sedang membuat jebakan untuk peneror itu.
"Hampir selesai pak," balas Ivan.
"Bagus, kalian boleh keluar." Radja kembali sibuk dengan dokumennya sedangkan aku masih mencoba meyakinkan diri kalau Ivan lah peneror itu.
Setelah pintu tertutup aku langsung mendekati Radja.
"Family Gathering? Kamu ada rencana apa sih?" tanyaku bertubi-tubi.
Radja memegang tanganku lalu menciumnya pelan.
"Kita akan segera tahu siapa peneror itu ... aku yakin dia akan meneror kita lagi dan aku sudah menyusun rencana agar dia masuk ke dalam perangkap kita," bisik Radja pelan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan kami.
Aku membuang napas dan berharap semuanya berjalan dengan baik.
****
Radja mendekati box bayi Hanindiya, putri kecil yang ditinggalkan Alex. Bayi mungil itu terlihat pulas tanpa beban di wajahnya. Radja menggendong bayi itu dan memeluknya erat. Masih terlihat sangat jelas raut-raut kesedihan serta rasa bersalah di wajahnya.
"Maafin uncle ya sayang ... kamu harus mengalami ini semua," bisiknya pelan.
"Sayang," aku mendekatinya lalu memeluknya dari belakang.
"Aku tidak akan pernah memaafkan peneror itu. Dia harus membayar semuanya. Membayar kematian Alex, kesedihan Sandra dan juga kesedihaj Hanin karena tidak bisa melihat ayahnya lagi," ujar Radja dengan suara menahan amarah.
"Ayahnya Hanin ... aku," aku mendengar suara Ganindra. Kami menoleh ke arah pintu dan melihat Ganindra sedang berdiri masih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Kita harus bicara," Radja menyerahkan Hanin ke tanganku, aku menggendongnya dan berusaha menenangkan Hanin yang mulai rewel. Radja dan Ganindra memilih keluar dari kamar Hanin.
Cukup lama mereka bicara dan untuk membuang waktu, aku pun belajar mengurus bayi agar kelak aku tidak terlalu kaku saat sudah memiliki anak.
Ya ampun, aku sudah membayangkan kami memiliki anak.
"Catta," Radja memanggilku dan aku terpaksa membuang muka agar Radja tidak tahu aku sedang memikirkan hal-hal m***m.
"Sudah selesai bicara dengan Ganindra?" tanyaku.
"Sudah, aku akan menyuruh Ganindra mengantar kamu pulang. Ingat pesan aku, jangan pernah keluar walau apapun yang terjadi. Kunci pintu rumah dan berdiam diri saja di kamar," ujarnya dengan mimik wajah serius.
"Iya," aku pun meletakkan Hanin ke dalam box bayinya lagi lalu meminta izin ke maminya Radja. Lagi-lagi aku mendengar isak tangis Sandra dari kamarnya.
"Sandra, masih belum menerima kematian Alex?" tanyaku sebelum masuk ke dalam mobil.
"Belum ... bahkan sampai detik ini dia belum menyentuh putrinya, Hanin yang malang," balas Radja. Aku pun memegang pundak Radja dan menepuknya pelan.
"Pelan-pelan ... siapa tahu setelah menikah dengan Ganindra, Sandra bisa menerima Hanin," ujarku menenangkan Radja.
Radja menatap Ganindra seolah hanya Ganindra yang bisa menyelamatkan hidup Sandra yang kacau sejak kematian Alex.
"Aku pulang," ujarku sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati," ujar Radja. Aku pun mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Ganindra pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah Radja, aku sengaja melihat Radja melalui kaca dan kembali melambaikan tangan.
"I love you ... Radja," bisikku pelan.
Radja membalas lambaian tanganku lalu kembali masuk ke dalam rumahnya.
Aku membuang napas dan berharap semua teror ini segera berakhir agar kami bisa hidup dengan tenang tanpa gangguan.
Baru sepuluh menit berjalan meninggalkan rumah Radjs, tiba-tiba aku merasakan sebuah hantaman cukup keras dari belakang. Ganindra kehilangan arah dan langsung menabrak pohon dengan cukup keras.
Kepalaku terantuk cukup keras dan aku bisa merasakan lelehan darah dari kepalaku. Samar-samar aku melihat Ganindra tidak sadarkan diri, aku mencoba menggapai ponselku dari dalam tas tapi rasa sakit di sekujur tubuh menbuatku kesulitan.
Aku mendengar pintu mobil seperti ingin dibuka dari luar. Dengan sisa tenaga aku membuka kunci pintu dan berharap orang di luar mau membantu kami keluar dari mobil.
"To ... long," rintihku pelan ke arah luar. Dengan mata mulai kabur aku melihat seorang sedang berdiri dengan mengenakan pakaian hitam. Wajahnya tertutup masker hingga aku sulit melihat wajahnya.
"To ... long," pintaku lagi. Orang itu mendekatiku lalu menggendongku keluar dari mobil. Aku masih setengah sadar saat dia meletakkanku di bangku belakang.
"Teman saya ..." aku menunjuk ke arah Ganindra. Orang itu diam lalu membuka pintu mobil di bagian depan. Aku melihatnya membuka sebuah tas hitam lalu mengeluarkan sebuah benda aneh.
Bulu kudukku langsung berdiri, aku yakin orang itu bukan penolong tapi peneror! Dengan susah payah aku mencoba berdiri tapi rasa sakit di kepala membuatku sulit keluat dari mobilnya.
"Hey hey hey, jangan coba-coba lari ..." orang itu menahan tanganku lalu mengarahkan benda berjarum ke tanganku.
"Semoga mimpi indah ... Cattaleya," aku meringis menahan rasa sakit dibekas suntikan. Aku melihatnya membuka masker yang menutupi mukanya.
"Bi ... Mo?"
****