Bab 19

1140 Kata
Aku terbangun dalam kondisi pandangan gelap gulita padahal aku sudah membuka mataku, aku mencoba untuk berteriak meminta tolong tapi mulutku seakan ada penganjal. Ya Tuhan, peneror itu menyekapku entah di mana, aku hanya mencium bau lembab dan lantai yang terbuat dari kayu. Aku mencoba bergerak tapi sulit karena tangan dan kakiku terikat. "Jangan bergerak Cattaleya kalau kamu tidak mau terluka," aku mendengar suara Bimo, ya Bimo! Suara yang sangat aku kenal hampir lima tahun ini. Aku merasakan tangan Bimo melepaskan penutup mata serta ganjalan di mulutku. Mataku perih dan samar-samar aku melihat Bimo sedang tertawa licik. "Ternyata ... peneror itu kamu?" Bimo mengangguk lalu menjauh dariku, dia mengambil kursi kayu lalu duduk seolah tidak takut kalau perbuatan jahatnya akan terbongkar. "Supriseeeee," ujarnya sambil merentangkan tangan, "elo pasti kaget  ternyata gue lah peneror itu," sambungnya. Aku menatapnya marah, tahukah dia banyak orang menderita karena ulahnya dan bisa-bisanya dia bersikap seperti biasa saat tahu Alex meninggal. "Lo benar-benar b******k! Tujuan lo apa sih? Dendam? Benci? Sampai elo tega bunuh orang tidak berdosa!" teriakku keras. Bimo tertawa lalu menggelengkan kepalanya, "Tanpa gue bunuh pun dia pasti akan meninggal muda, kalian terlalu sibuk dan melupakan kalau anak bodoh itu ... Ah sudahlah, tidak penting membahas dia," Bimo lalu berdiri dan mengambil ponselnya, dia  mulai memotretku dari berbagai sisi. Aku yakin foto itu akan dikirimnya ke Radja. "Salah Radja apa?" tanyaku pelan. "Banyak," balasnya singkat. Entah apa yang dikirimnya tapi hanya dalam hitungan detik ponselnya langsung berbunyi. Bimo sengaja me loudspeaker kan agar aku bisa mendengarnya. "Halo b******n! Lepasin Cattaleya!" Suara Radja terdengar sangat panik, aku mencoba mendekati Bimo tapi Bimo lebih sigap dan langsung memasangkan penganjal mulut agar aku tidak berteriak. "Desa Mekarjati, gue tunggu dalam empat jam atau tunangan cantik lo hanya akan tinggal nama." Bimo mematikan ponselnya lalu kembali mendekatiku. "Sabar, sebentar lagi kalian akan bersatu ... bersatu menuju neraka, hahahaha." Bimo meninggalkan aku sendirian. Aku mengedarkan mata melihat situasi, tempat ini terasa familiar dan akhirnya aku ingat kalau  delapan tahun yang lalu aku dan Radja pernah disekap di sini. Ya ampun, jangan bilang Bimo terkait dengan penculikan itu? Tapi Radja bilang kalau penculiknya sudah meninggal di penjara. Seingatku penculik itu sudah tua dan dia mengajak beberapa orang untuk menjaga kami tapi nggak ada Bimo dalam gerombolan itu. Cukup lama aku mencoba menjalin hubungan antara penculik itu dengan Bimo dan akhirnya aku bisa menarik kesimpulan kalau Bimo pasti ada hubungan dengan pelaku utama yang meninggal di penjara. Mungkinkah Bimo anaknya? gumamku dalam hati. Aku mendengar derit pintu terbuka, Bimo masuk sambil membawa sebuah kantong hitam. Dia mengeluarkan sebuah pistol lalu meletakkan pistol itu di atas meja. Bulu kudukku langsung berdiri  takut membayangkan Bimo akan membunuh kami dengan pistol itu. "Bimmmmo," aku mencoba memanggilnya. Bimo menoleh ke arahku lalu dia kembali mendekatiku, agar bisa bicara dengan jelas dia juga membuka penganjal di mulutku. "Apa?" tanyanya. "Elo ... ada kaitan dengan penculikan delapan tahun yang lalu?" tanyaku langsung. Bimo lalu berdiri dan kembali ke meja tadi, dia mengambil pistol tadi dan mengarahkan langsung ke kepalaku. "Dhuarrrrr," ujarnya keras. Aku menutup mata dan hampir saja jantungku berhenti berdetak membayangkan tajamnya peluru masuk ke dalam tubuhku. "Hahahaha, nanti ... nanti setelah tunangan elo datang, baru kita mainkan permainan maut ini," ujarnya. Aku membuka mata dan tanpa terasa peluh mulai membasahi badanku. "Jangan bunuh Radja, gue mohon!" Bimo menggelengkan kepalanya, "Delapan tahun gue susun rencana ini dan akhirnya kesempatan itu datang juga setelah kegagalan demi kegagalan," balasnya dengan senyum penuh amarah. "Radja salah apa?" "Hanya satu salahnya ... kenapa darahnya mengalir darah Haris Sinathriya," ujar Bimo menyebut nama almarhum ayah Radja. Tebakanku benar. "Elo ... anak si penculik itu?" tebakku langsung. Wajah Bimo langsung mengeras, dia mendekatiku lalu menjambak rambutku dengan kasar. "b******n itu merusak hidup gue! Bokap gue mati di penjara, nyokap gue bunuh diri saking malunya punya suami penjahat dan gue terpaksa hidup luntang lantung di jalanan," ujarnya berapi-api. Ternyata Bimo anak penculik itu, ternyata semua ini dia lakukan untuk membalas sakit hatinya. "Tapi ... tapi Radja tidak pernah meminta lahir di keluarga Sinathriya, begitupun elo ... elo pernah minta dilahirkan di keluarga elo?" tanyaku balik. Emosi Bimo semakin naik tidak saja menjambak rambutku, dia pun mulai memukulku dengan tangannya. Aku meringis menahan rasa sakit di wajahku akibat pukulannya tadi. "Diam! Tahu apa lo tentang hidup gue! Delapan tahun gue susun cara balas dendam tapi gagal saat gue tahu tunangan Radja berada di Hongkong, gue coba menahan diri menunggu dia membawa tunangannya pulang ke Indonesia. Tapi sepertinya Tuhan sayang sama gue, dia tunjukkan kalau tunangan Radja ternyata selama lima tahun ini berada di samping gue bukan di Hongkong," ujarnya dengan tawa miris. "Sejak kapan elo tahu gue tunangan Radja?" tanyaku lagi. "Dari Ivan ..." Bimo menolehkan wajahnya ke arah pintu dan aku mendengar derap langkah kaki, aku melihat Ivan memegang pisau tajam. "Ka ... Kalian?" Bimo mendekati Ivan lalu mereka berciuman di depanku. Ya Tuhan, ternyata mereka ... gay? Pantasan hari itu  Ivan terlihat sangat marah ke Radja. "Kalian ... Menjijikkan," aku membuang muka dan jijik melihat apa yang sedang mereka tunjukkan padaku. "Ivan lah orang pertama yang tahu kalau elo tunangan Radja, tentu dari novel yang dibacanya," sambung Bimo lagi. Aku masih membuang wajahku dan berharap semua mimpi buruk ini segera berakhir. Radja pasti akan membawa polisi dan dua b******n itu akan membayar kesalahan mereka. **** Rasa lapar membuat perutku sedikit perih, aku membuka mata dan melihat kondisi pondok masih sepi bahkan aku tidak melihat sosok Bimo atau pun Ivan. Bulu kudukku langsung berdiri saat mendengar erangan kesakitan dari luar pondok dan aku yakin itu suara Radja. Dengan sisa tenaga aku mencoba menuju pintu keluar walau harus dengan cara mengesot. Suara rintihan Radja semakin terdengar jelas, aku semakin dekat dengan pintu. Dengan menggunakan wajah aku mendorong pintu masuk pondok, aku melihat Radja terikat di antara dua pohon, Bimo sedang memecut Radja menggunakan tali pecutan sedangkan Ivan sibuk memvideokannya. "Berhenti! Jangan lakukan itu! Kalian gila hah!" teriakku. Radja melihatku lalu dia menggelengkan kepalanya supaya aku tidak keluar dari pondok itu. "Astaga, ternyata si wanita sedih melihat tunangannya disiksa, lo mau gantiin tunangan elo?" tanya Bimo. Tanpa banyak pikir aku langsung mengangguk, aku tidak tega melihat kondisi Radja, tubuhnya penuh dengan bekas luka dan aku tidak mau b******n-b******n itu semakin menambah lukanya. "Baik ..." Bimo memberi kode agar Ivan membawaku mendekati Radja. Ivan pun mengangguk lalu mendekatiku. Aku berbisik pelan agar Ivan menolongku. "Kalian bisa di penjara, tolong hentikan semua ini," bisikku pelan agar Bimo tidak mendengar. Ivan acuh dan mengikatku di dekat Radja, mereka sengaja membuatku saling berhadapan dengan Radja. Kedua tanganku diikat seperti mereka mengikat Radja. "Bodoh! Mereka bisa membunuhmu!" maki Radja. "I love you ... Radja, maaf selama delapan tahun ini aku melupakan kamu," aku mendorong tubuhku agar bisa menciumnya. Aku menciumnya pelan dan tanpa ampun Bimo pun melecutku dengan pecutan. Aku meringis, menahan rasa sakit akibat pecutannya. Mereka tertawa bahagia sedangkab Radja berkali-kali memaki Bimo dan Ivan, Radja menangis saat aku mulai tidak kuat menahan rasa sakit. "Catta ... bangun ... sayang ... bangun, jangan tinggalkan aku!" teriak Radja frustasi. "Love you," bisikku sebelum rasa sakit tadi membuatku menutup mata dengan sangat rapat. Mudah-mudahan mereka puas dengan kematiabku dan mereka akhirny melepaskan Radja. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN