"Kayla, aku tidak suka dengan keputusanmu pagi ini," kritik Madam.
Aku hanya bisa meringis. Pagi ini aku sudah bisa berjalan dan bekerja seperti biasanya walau kadang nyeri di tanganku tidak bisa kutahan. Tapi ini lebih baik daripada terus berada di kasur, membuat punggungku sakit.
"Aku tidak biasa terus-terusan istirahat, Madam."
Madam menggeleng lemah. "Tapi kau sedang terluka, Kayla. Aku tidak ingin asisten pribadiku memaksakan dirinya untuk bekerja."
"Tidak, Madam. Aku tidak memaksakan diriku, aku memang ingin kembali bekerja seperti biasanya."
Madam hanya bisa mendesah. "Entahlah, Kayla. Kau memang keras kepala," ucap Madam.
Aku memberikan Madam senyum lebarku.
"Kalau begitu, lakukan pekerjaan yang ringan saja, oke?"
"Baik, Madam."
Setelah itu, aku langsung menuju kamar para Tuan Muda dan membangunkan mereka untuk sarapan. Aku menaiki tangga sembari menarik gaun maidku, karena tidak ingin membuat mereka tidak nyaman dengan luka di tanganku, aku memilih memakai pakaian maidku yang dulu, lengan panjang dan roknya menutupi kakiku.
Kamar Nathan yang pertama kudatangi, aku langsung mengetuk pintunya beberapa kali sampai ia membuka pintu dengan wajah bantalnya.
"Ada apa, Kayla?" tanya Nathan, terlihat belum sadar sepenuhnya.
"Waktunya sarapan, tuan Nathan."
Nathan mengangguk sembari menguap. "Aku akan turun sebentar lagi," katanya dan aku mengangguk.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Tuan," kataku sembari menundukkan kepalaku.
"Sebentar, Kayla."
"Hm?"
Nathan mendekat padaku dan langsung memelukku. Ia mendaratkan sebuah kecupan di dahiku. "Morning kiss, untukku."
Pipiku memanas dan menjalar ke telingaku. Pria ini pagi-pagi sudah membuatku terbang.
"Kau boleh pergi sekarang," katanya.
"Ba-baiklah, Tuan. Aku permisi."
Aku langsung saja berjalan cepat menuju kamar Sebastian. Aku menetralkan perasaanku dulu akibat kelakuan Nathan dan barulah mengetuk pintu kamar Sebastian. Sekali ketuk, pintu itu terbuka. Sebastian dengan wajah segarnya menyambutku dengan senyuman.
"Pagi, Kayla!"
"Pagi, Tuan Sebastian."
Sebastian lalu merengut. "Aku sudah menunggumu sedari tadi," katanya.
"Untuk apa, Tuan?" tanyaku.
Sebastian bersidekap masih dengan wajah merengutnya yang imut. "Aku ingin sekali dibangunkan olehmu, tapi ternyata aku bangun duluan."
"Maafkan aku, Tuan. Esoknya, aku akan berusaha membangunkanmu duluan," balasku.
"Benarkah?!" tanya Sebastian antusias.
Aku mengangguk, mengiyakan.
"Kalau begitu, aku tidak akan mengunci kamarku besok. Kau bisa masuk saja ke kamarku untuk membangunkanku, oke?"
Aku tertawa kecil melihatnya menjelaskan dengan nada anak kecil. Menggemaskan.
"Baiklah," jawabku. "Kalau begitu, ayo sarapan, Tuan. Madam telah menunggu."
Sebastian mengangguk lalu menutup pintu kamarnya. Kami berlawanan arah dan ia menatapku bingung. "Kau tidak keruang makan?" tanyanya.
"Aku harus membangunkan tuan Sean terlebih dahulu. Anda bisa pergi duluan," balasku.
Sebastian terlihat kecewa. "Baiklah, aku akan menunggumu, Kayla."
Aku mengangguk, setelah itu berjalan kembali agar dapat sampai di kamar Sean, lantai tiga.
Aku mendapatkan Sean yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia menatapku terkejut.
"Apa yang sedang kau lakukan, Kayla?" tanyanya.
"Aku ingin membangunkan anda, Tuan."
"Bukan, bukan itu. Maksudku, kau sedang sakit lalu mengapa kau kembali bekerja?"
Aku tersenyum untuk meyakinkannya. "Aku sudah kembali sehat, Tuan."
Sean menggeleng. "Berhenti memanggilku tuan, kau bisa memanggilku Sean."
Dia bercanda? Mana mungkin aku bisa memanggilnya dengan nama saja. "Tidak, itu tidak pantas untukku, Tuan."
Sean menggeram. "Aku muak kau memanggilku dengan sebutan itu Kayla. Kau hanya boleh memanggilku dengan namaku saja, tidak dengan sebutan tuan."
"Tapi---"
"Tidak ada tapi-tapian, itu perintah," potongnya dan aku hanya bisa pasrah.
"Tapi, di hadapan lainnya, aku akan memanggilmu dengan Tuan, Se-sean," kataku dan tidak terbiasa memanggilnya dengan namanya saja.
"Itu lebih baik," katanya sembari tersenyum.
"Dan karena kau sangat memaksakan dirimu, aku juga akan memaksakan keinginanku. Kau akan beristirahat kembali di kamarku."
Aku tersentak. "Di kamarmu?" tanyaku.
"Ya, aku tidak yakin kau akan beristirahat jika berada di kamarmu," jelasnya.
Aku meneguk liurku. Tidak pernah terbayangkan olehku tidur di kamar pria atau majikanku sendiri. Sebenarnya ini tawaran yang menggiurkan tapi aku tidak ingin ada gosip yang tidak-tidak nantinya, jadi aku akan menolak.
"Aku tidak bisa, Sean," kataku sembari menggeleng.
Sean menatapku bingung. "Kenapa?"
"Aku harus kembali ke bawah, aku sudah mengatakannya pada Sebastian. Aku tidak mau membuatnya menunggu, ia majikanku."
Dengan dahi yang mengkerut Sean berkata, "begitu juga denganku, aku majikanmu. Jangan membuat alasan, Kayla. Aku bisa memberitahukan Sebastian jika kau butuh istirahat. Selesai."
Aku meringis, Sean benar-benar bersikukuh. Akhirnya aku mengangguk, menuruti perkataannya.
"Bagus. Sekarang ikut aku."
Aku mengikutinya dari belakang. Ia membuka pintu kamarnya dan dengan sorot matanya ia menyuruhku masuk. Setelah aku masuk barulah ia kemudian.
Sean menuju ke kasurnya, membuka selimut dan menyuruhku untuk berbaring. Aku menjalankan peritahnya, sebelum naik ke kasur aku membuka sepatuku dahulu lalu barulah berbaring.
Sean menutup selimut itu sampai perutku. Kasurnya sangat nyaman dan aku dapat merasakan bau khasnya yang melekat di selimut maupun bantal.
"Aku akan sarapan, nanti aku akan kembali. Kuharap kau benar-benar istirahat, Kayla." tegasnya yang membuatku patuh.
Sean lalu melangkah pergi meninggalkan kamar ini. Seketika hening tercipta. Aku tidak menyangka Sean akan tahan dengan kamarnya yang begitu hening, berbeda dengan kamar dilantai 2 yang berisikan Nathan dan Sebastian, mereka sedikit berisik. Tapi dilantai 3 yang mana hanya dia yang menghuni, benar-benar tenang dan hening.
Apakah Sean menyukai ketenangan seperti ini? Tapi bukankah terlalu mengerikan jika tidak ada suara apapun yang kau dengar kecuali denting jam yang berada di dinding. Hal yang dapat kusimpulkan, Sean berbeda dengan Nathan dan Sebastian. Mereka mempunyai kepribadian yang berbeda dan mudah terlihat jika kau mengenal mereka. Seperti Nathan yang jenaka, ia lebih fresh dan hidup. Sedangkan Sebastian, ia lebih riang dan cemburuan. Tapi Sean berbeda dari keduanya. Sean itu terasa memiliki kegelapan, sangat sulit mengetahui seperti apa dirinya tapi aku tahu ia seseorang yang sangat peduli dan mudah cemas. Aku dibuat penasaran dengan sosok Sean.
Tapi ya entahlah, aku tidak mau berspekulasi sendiri. Aku mungkin yang tidak atau belum mengenal mereka, jadi aku tidak mengerti seperti apa mereka.
Aku akan berusaha tidur sekarang, tidak ingin Sean mendapatkanku masih terjaga disaat tadi ia sudah menyuruhku untuk beristirahat. Dengan begitu, aku menutup mataku mencoba memasuki alam mimpi.
.
.
.
.
Aku menguap dan meregangkan tanganku. Ternyata aku dapat tertidur dengan nyaman dan mungkin ini karena bau Sean yang sangat enak, sehingga betah membuatku tidur.
"Kau lumayan lama tertidur, Kayla."
Aku segera menoleh ke arah suara dan mendapatkan Sean berbaring di sampingku yang menompang kepalanya dengan tangannya, jarak kami begitu dekat sampai wajahku hanya berjarak beberapa centi dengannya. Aku beranjak mundur, tidak bisa terlalu dekat seperti ini dengannya.
Sean tertawa, terdengar merdu. "Kenapa kau mundur, Kayla? Terkejut melihatku?" tanyanya masih dengan tawa kecil yang keluar.
Aku menatap hal lain selain dirinya karena Sean lebih tampan jika di lihat secara dekat dan itu membuatku gugup. Sean tiba-tiba menyentuh pipiku lalu mengusapnya beberapa kali, setelah itu menarik tangannya kembali.
"Pipimu memerah, Kayla."
Eh?
Pipiku?!
Astaga Kayla! Kau sangat memalukan! Dewi batinku marah dengan diriku sendiri.
Sean kini terlihat terkejut, "Astaga, Kayla. Kurasa telingamu ikut memerah," katanya dan diakhiri tawa.
Spontan aku menutupi telingaku, tidak ingin menjadi bahan tertawaannya lagi. Ini sudah cukup memalukan, aku tidak ingin dimalukan lagi.
Sean menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. Tangannya kembali mengarah ke wajahku tapi aku tidak bisa menepisnya atau lebih tepatnya tidak mau, karena aku penasaran apa yang akan dilakukannya.
"Aku begitu menyukai wajah ini," katanya sembari menangkup sebelah pipiku.
Kepalaku tiba-tiba kosong. Bukan hanya kepalaku bahkan jiwaku terasa melayang. Ya tuhan, pria ini pandai sekali membuatku menderita dengan tingkah lakuannya. Ya, menderita karena tidak dapat memilikinya.
"Se-Sean," panggilku dengan susah payah karena lidah ini terasa kelu untuk berbicara.
"Ya," jawabnya lembut.
Aku mengumpulkan nyaliku terlebih dahulu sebelum kembali berkata, "Apa kau me-meny---menyuci alas kasur ini?"
Hening sesaat lalu Sean tertawa kembali mendengar pertanyaanku barusan. Ah! Mulut s****n! Bagaimana bisa aku mengatakan hal itu? Seharusnya aku menanyai dia menyukaiku atau tidak bukan malah menyuci alas kasur! Tamat riwayatmu Kayla.
"Astaga, Kayla. Kau membuatku gila haha." Sean menghapus jejak air mata di sudut matanya akibat tertawa.
Kumohon berhentilah tertawa, Sean. Aku tidak sanggup lagi menanggung malu ini. Aku memilih menutup mukaku dengan kedua tanganku, menyesali semua kebodohanku. Kutuk saja aku menjadi katak.
Tawa Sean terdengar mereda lalu kurasakan tangannya membuka kedua tangan yang kujadikan penutup wajahku. Wajah tersenyumnya menyambutku, ia terlihat masih ingin tertawa namun ia tahan.
"Aku tidak tahu mengapa, Kayla. Tapi kurasa kau satu-satunya yang membuatku tertawa penuh hanya karena pertanyaanmu. Terima kasih telah membuatku tertawa penuh setelah dua tahun aku tidak pernah melakukannya."
Aku merasa senang mendengarnya menagatakan itu tapi aku juga terkejut, dua tahun ia tidak tertawa penuh? Apa ia bercanda atau lebih tepatnya, mengapa?
"Kau terlihat tidak percaya tapi aku memang tidak pernah tertawa sepenuh ini selama 2 tahun terakhir, kau membawa keajaiban, Kayla."
"Aku?" tanyaku.
"Iya, untukku."
Aku ingin tersenyum namun malu, karena terlihat sekali jika aku senang mendengarnya. Akhirnya aku menggigit bibir dalamku dan membiarkan pipi merahku saja yang menyatakan rasa senangku.
"Tapi mengapa kau tidak pernah tertawa selama 2 tahun ini?" tanyaku. Lalu aku baru menyadari jika aku telah lancang karena menanyakan privasinya.
Sean mengedikkan bahunya "Menurutmu kenapa?" tanyanya balik.
"Tidak tahu. Aku tidak suka menebak."
"Kau ingin tahu?"
Aku mengangguk yakin. "Ya."
Sean menatapku sebentar lalu terlihat berpikir. Mulutnya hendak teramgkat untuk berbicara, namun sebuah ingatan muncul di kepalaku.
Aku langsung bangkit dari berbaringku. Sean menatapku terkejut. "Ada apa, Kayla?" tanyanya.
Aku menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku lupa jika tadi pagi aku menjemur jas Sean, bagaimana jika maid lain menemukannya dan bingung jas milik siapa itu, karena aku menjemurnya di tempat khusus maid. Bisa-bisa akan ada rumor baru lagi!
"Kurasa aku harus pergi, Sean," kataku sembari menatapnya.
"Kenapa terburu-buru?"
Aku langsung turun dari kasur dan memakai sepatuku. "Aku akan menjelaskannya nanti," balasku setelah memakai sepatu.
Setelah itu aku berlari keluar dari kamar Sean dan turun kelantai bawah, dalam hati aku berharap agar tidak ada siapapun yang mencuci pakaian hari ini.
Namun, harapan itu hilang begitu saja saat seseorang memegang jas Sean lalu menoleh ke sekeliling dan mendapatkanku.