Setelah kejadian tadi malam, Madam membiarkanku untuk beristirahat sementara. Sehingga aku tetap berada di kasur saat ini dan menatap langit-langit kamarku yang bercat putih. Terlalu membosankan. Lebih baik ikut bekerja daripada tiduran terus menerus seperti ini.
Aku mengangkat tanganku agar dapat melihat luka bekas cakaran yang kudapatkan dari Diane. Sangat mengerikan saat tiga garis panjang merah menghiasi lenganku. Uh! Melihat luka ini membuatku jadi kesal. Kulit yang kurawat baik-baik dengan mudahnya rusak oleh wanita itu!
Ugh! Aku ingin sekali memenangkan pertengkaran kemarin. Sayangnya, ia memakai garpu dan bertindak curang. Untungnya garpu itu tidak mengenaiku, jika sampai itu terjadi, mungkin aku sudah tidak berada di sini. Dan Sean sangat tepat waktu, aku memang harus berterima kasih pada pria itu.
Pintu kamarku terbuka, disana ada Sean dengan nampan di tangannya. Ia mendekat kepadaku, meletakkan nampan diatas nakas, lalu mengambil kursi dan duduk disampingku.
"Pagi," sapanya.
"Pagi, Tuan Sean."
"Kau terlihat mengerikan sekarang Kayla. Tanganmu memerah daripada kemarin." Sean memberitahuku sembari menatap lenganku.
Aku mulai memegang bekas cakaran itu, lumayan berdenyut sakit saat memegangnya.
"Apa kabar Diane, Tuan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan dari lukaku.
Sean mengedikkan bahunya. Wajahnya terlihat berpikir namun tidak mengurangi ketampanannya, benar-benar idaman semua wanita. Bolehkah aku memiliki pria tampan ini?
"Entahlah, kalau tidak salah, Nathan yang menghukum Diane," tebaknya.
Aku mengangguk. Sedikit kecewa karena Diane tidak dipecat, karena dengan masih adanya dia maka aku tidak akan nyaman seutuhnya lagi.
"Itu mengganggumu?"
Aku segera menoleh dan menggeleng pada Sean. "Tidak, aku tidak apa."
Sean menatap kedua mataku, entah apa yang dicarinya. Namun, kurasa ia tidak akan menemukan apa-apa. Lagian apa yang ia harapkan dariku? Aku tidak bisa kecewa soal Diane yang tidak dipecat karena aku hanyalah seorang Maid.
"Kau tidak suka jika Nathan yang menghukum Diane?"
"Eh?" bukan itu yang kupikirkan sedari tadi.
"Kau cemburu?" tanya Sean lagi.
Bagaimana bisa aku cemburu, aku belum punya rasa atau ikatan pada Nathan yang sebegitunya. Bahkan aku tidak pantas untuk cemburu karena aku adalah seorang Maid biasa yang bekerja untuk majikannya. Semua orang tahu jika kami beda kasta, mana mungkin orang miskin sepertiku bisa bersanding dengan kalian yang mempunyai darah bangsawan.
"Tidak, Tuan Sean. Bagiku perasaan seperti itu tidak boleh muncul, karena aku hanyalah maid biasa yang tidak setara dengan majikannya."
Sean mendengus. "Berarti jika kau setara dengan kami, kau akan cemburu?"
Aku tidak mengerti jalan pikiran pria ini. Kenapa ia selalu menyebutkan kata cemburu, darimana pun aku tidak cemburu sama sekali. Sean seolah menyuruhku untuk jujur pada sesuatu hal yang memang tidak pada diriku.
"Cemburu akan hal apa?" tanyaku tanpa embel-embel tuan diakhir tanyaku.
"Akan Nathan yang menghukum Diane," balasnya dengan nada kesal.
Aku tersenyum, sekarang aku mengerti. Pria ini yang sedang cemburu tapi aku tidak tahu cemburu akan hal apa. Aku? Tidak mungkin. Ia tidak mungkin suka padaku yang hanya seorang maid biasa di rumahnya.
"Tidak, jika aku setara dengan kalian, mungkin aku tidak akan berada di sini dan mengetahui siapa kalian atau siapa itu Diane dan mungkin saja Tuan Nathan tidak menghukum Diane karena aku tidak akan bertengkar dengannya, itu kalau aku setara dengan kalian."
"Kau tidak berbohong, kan?" tanya Sean menyelidik.
Aku tertawa kecil. "Berbohong untuk apa, Tuan?"
Sean akhirnya mengangguk, lalu memberiku sepiring buah dari atas nampan yang di bawanya. Ia bahkan mengupasiku apel dan buah-buahan lainnya. Aku merasa terbalik dengannya, peran maidku diambil alih olehnya.
"Terima kasih, Tuan. Maaf telah merepotkanmu," kataku saat aku telah menghabiskan beberapa buah.
Sean menggeleng. "Tidak apa, aku suka," ucapnya.
"Suka?" tanyaku.
"Ya, Kayla."
Aku menjatuhkan kepalaku kekanan
sedikit, untuk menemukan jawaban akan kata suka darinya.
Sean menepuk kepalaku lembut. "Tidak usah dipikirkan, kau harus beristirahat kembali."
Aku mengangguk. "Baiklah, Tuan."
Sean beranjak sembari membawa nampan dan piring buah tadi. Ia mulai pergi dari kamarku dan seketika ruangan ini hening. Ah, aku benar-benar butuh teman bicara.
Belum lima menit, pintu kamarku kembali terbuka. Sean ada disana, ia masuk ke kamarku lalu berdiri sembari menatapku. Aku gugup menerima tatapan darinya, dan ekspresinya begitu tidak terbaca.
Sean tiba-tiba mengambil tanganku, lalu mencium puncak tanganku. "Ini balasan karena kau membiarkan orang lain mencium tanganmu," katanya setelah mencium tanganku singkat.
Sean meletakkan kembali tanganku, lalu ia mendekatkan wajahnya padaku dan aku bisa merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menempel didahiku. Sean mencium dahiku?!
"Itu adalah bonus untukku, karena aku merawatmu tadi," katanya dengan jarak yang sangat dekat, hidung kami hampir saja bergesekkan.
Setelah itu Sean bangkit dan beranjak pergi, seolah apa yang ia lakukan tadi bukanlah apa-apa. Tapi, bagiku, ini sangat membuatku seperti olahraga jantung. Aku tidak yakin tubuhku dapat menahan debaran jantung yang kuat seperti ini. Aku tidak sanggup, aku ingin memilikinya!
Aku menyentuh dahiku, masih terasa lembut bibir dan hangat napasnya. Aku tidak bisa memikirkan apapun sekarang karena pikiranku diambil alih olehnya. s****n!
Aku mengulurkan tanganku ke nakas, berharap mendapatkan minum, karena tenggorokanku merasa kering sekarang. Tapi, tidak ada gelas ataupun minuman dinakas. Aku butuh sekali minum.
Jika saja ini dirumahku, mungkin aku bisa minta tolong pada ibu atau adikku untuk mengambil minuman. Tapi lain ceritanya kalau sekarang, karena aku adalah maid dan sedang bertengar dengan maid lainnya, bahkan mereka mungkin tidak mau merawatku. Aku harus bergerak sendiri dengan kekuatanku.
Saat turun dari kasur, aku tahu tubuhku hampir terhuyung jatuh karena tidak kuat menahan beban tubuhku. Badanku terasa pegal dan sakit, bahkan beberapa memar menghiasi betisku. Mungkin, aku harus tetap berbaring, tapi aku tidak bisa menahan dehidrasi yang menimpaku.
Kayla, kau harus bertahan! Kau kuat! Aku menguatkan batinku. Beberapa langkah sampai akhirnya aku keluar dari kamar. Tapi masih banyak langkah yang harus kulewati agar sampai ke dapur.
Aku mengambil napas dalam, sebelum kembali memaksakan kakiku untuk berjalan, saat ini aku harus kuat. Tidak ada yang akan menolongku, aku harus kuat.
Aku telah sampai di pintu dapur, namun langkahku terhenti saat suara dari dalam dapur hanya ada suara Diane dengan... Nathan. Aku tidak tahu, masuk kedalam dapur atau tidak, tapi kurasa pembicaran mereka sangat dalam dan aku tidak ingin merusaknya dengan kehadiranku yang hanya ingin minum.
Aku membuka pintu sedikit agar dapat lebih jelas mendengar perkataan mereka.
"Aku tidak bisa Nathan!"
Baru mendengar saja, aku sudah disambut dengan teriakan Diane.
"Diane, sungguh! Aku tidak ingin terlibat apapun darimu."
"Kenapa tidak? Kau dulu memintaku menjadi pasanganmu dan aku menunggu hingga saat ini," lirih Diane, suaranya sungguh memilukan.
"Bagaimana kau bisa menganggap serius anak berumur 10 tahun, Diane? Kau tahu, bukan kau sendiri yang kuminta untuk menjadi pasanganku."
"Aku tidak peduli berapa banyak wanita yang kau minta untuk jadi pasanganmu, tapi aku peduli jika kau yang memintaku."
"Argh! Sadarlah, Diane. Umurmu tidak lagi muda, kau akan memasuki kepala empat, berpikirlah rasional." kurasa Nathan benar-benar frustasi.
"Aku sudah berpikir, Nathan. Puluhan bahkan ratusan kali, jika yang kuinginkan itu hanya kau. Aku membuang masa mudaku untukmu, aku menolak banyak pria untukmu, bisakah kau membalasnya?"
Diane sangat kukuh akan kemauannya dan kini semuanya tergantung Nathan. Pilihan apa yang akan ia ambil.
"Diane, biar kuperjelas. Aku telah menyuruhmu untuk berhenti dari pekerjaanmu bahkan membayarmu tanpa kerja asal kau menikmati masa mudamu, lalu apa jawaban yang kau berikan padaku, kau tidak ingin berhenti dengan alasan menyukai pekerjaanmu. Lantas kenapa kau mengungkitnya kembali?"
"Karena aku mencintaimu, Nathan!"
Aku menahan napas mendengar itu, Diane tidak main-main.
"Kalau tahu seperti ini jadinya, aku sudah pasti memecatmu sedari dulu, Diane."
Wah, aku tidak menyangka akan secomplicated ini hubungan mereka, begitu tidak dapat ditebak, sungguh menakjubkan, layaknya sedang membaca novel dengan konflik mainstream.
Aku hendak pergi saat langkah kaki mendekat ke pintu, namun langkahku terhenti saat Diane angkat mulut kembali.
"Kalau begitu, bunuh aku, Nathan."
Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Diane. Bunuh? Wanita itu pasti bercanda, ia minta dibunuh karena tidak dapat memiliki Nathan?
Kudengar tawa Nathan yang menggelegar, sedikit membuatku takut.
"Kau ingin aku membunuhmu dengan tanganku? Maaf, Diane. Aku tidak ingin mengotori tanganku sendiri. Bunuh saja dirimu sendiri."
Aku dibuat tahan napas kembali. Mereka berdua memang gila, seolah kematian itu bukanlah apa-apa.
"Baiklah jika itu yang kau mau, Nathan. Aku akan melakukannya." Diane mengatakannya seolah-olah dia siap untuk mati.
Aku menutup mulutku mendengar Diane mengatakan hal itu. Wanita itu bercanda, bukan?
"Aku tidak menginginkannya, Diane. Tapi jika itu yang kau mau, silahkan. Aku tidak melarang."
Nathan benar-benar gila. Seharusnya ia menghentikkan Diane melakukan itu bukan malah mempersilahkannya.
"Lihat, kau masih peduli padaku, kan."
Kudengar dengusan dari Nathan, ia terdengar muak dengan Diane.
"Berhentilah, Diane. Aku lelah dengan semua dramamu. Aku tidak bisa terus meladenimu seperti ini. Kau terus saja menarik perhatianku dengan hal yang kubenci."
"Karena hanya dengan itu aku bisa menarik perhatianmu," balas Diane lirih.
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasa hausku tiba-tiba hilang dan berganti jadi rasa penasaran. Cara apa yang akan mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah ini?
"Kalau begitu berhentilah mencoba menarik perhatianku kembali, karena mulai saat ini aku tidak peduli." Nathan berbicara dengan dingin.
"Nathan, mengapa kau lakukan ini padaku?!" tanya Diane, frustasi.
"Aku yang seharusnya berkata seperti itu! Mengapa kau lakukan ini padaku? Aku bahkan meninggalkan rumahku sendiri selama satu tahun hanya untuk kau sadar dan nyatanya aku membuang waktuku sia-sia, karena kau tidak berubah!"
"Kau tidak berhak menyalahkanku!"
"Kenapa tidak? Kenapa, huh?"
Diane terisak lirih. Tangisannya seperti kesakitan. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi Diane, aku pernah membaca cerita yang hampir mirip dengan keadaan saat ini. Diane hanya ingin dicintai balik namun dia terlalu memaksa hingga bukan cinta lagi yang ia inginkan. Diane ingin segalanya dan ia menjadi egois.
"Tidak bisakah kau mencintaiku?" tanya Diane lirih dengan suara agak tersendat.
Nathan tidak membalas namun langkah kakinya mendekati pintu yang berada di sampingku. Dengan cepat aku berjalan susah payah dan bersenyembunyi di balik dinding. Sedikit mengintip, Nathan keluar dari pintu dapur dengan wajah dinginnya.
Aku menghela napas, setidaknya aku tidak ketahuan menguping oleh mereka dan bisa selamat kali ini.