“Aku akan mengajaknya juga.” Zia tertawa. “Inilah kenapa kamu sangat naif. Apa kamu akan memaksa Mila sekolah kedokteran kayak kamu? Bagaimana dengan impian Mila yang ingin menjadi musisi?” Arata tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Zia berdiri, menepuk pelan bahu Arata. “Kamu harus memilih salah satu. Mila atau masa depanmu.” “Apalah arti masa depanku kalau nggak ada Mila di sana. Aku memang serakah. Aku ingin tetap bersama Mila selagi menjadi dokter hebat.” Mata Zia terbelalak, dia mengernyit ketika memerhatikan Arata dengan detail. “Hei, bocah, apa kamu mengerti ucapanmu barusan?” Arata mendongak. “Hah? Apanya?” Zia menggeleng pelan. “Lupakan saja, mungkin aku yang terlalu melankolis. Ah, tentang yang tadi, sebaiknya kamu pikirkan baik-baik. Kalau kamu memilih menjadi d