2

1318 Kata
Setelah beberapa jam, Mbok Yum dan Hany sampai juga di depan rumah Kakek Bram. Setelah tadi sempat mampir ke rumah Mbok Yum untuk membayar ongkos travel. Kebetulan Mbok Yum dan Kakek Bram memang berada di Kampung yang sama. Rumah besar yang megah di jamannya dan masih tetap terlihat kokoh karena di bangun pada jaman koloni belanda. Hany melangkah ke arah teras rumah. Hari sudah mulai petang dan Mbok Yum mengetuk pintu rumah mantan majikannya itu. Tok ... Tok ... Tok ... "Kakek! Nenek!" teriak Hany dengann suara bergetar. Sepanjang jalan, Hany lebih banyak diam karena bingung. Mau menangis, tapi ia malu. Dari dalam terlihat sosok tua renta yang mendekati pintu, memutar anak kunci dan pintu rumah itu terbuka. Hany menatap sang Kakek yan sudah lama tak ditemuinya dan langsung memeluk. "Kakek ..." ucap Hany lirih. "Cucu tersayang Kakek, sudah besar ..." ucap Kakek Bram pelan. Mbok Yum dan Kakek Bram saling bertatapan dan Bram membawa Hany masuk ke dalam. "Kmau sudah ijin pada Papa dan Mama kamu?" tanya Bram lembut. Hany mengangguk ragu, "Sudah. Hany mau sekolah disini. Kakek bisa bantu Hany besok untuk masuk?" "Besok?" tanya Bram terkejut. "Iya Kek. Besok ujian nasional seharusnya. Kalau Hany gak ikut, bisa gak lulus," ucap Hany lirih. "Baiklah ... Kakek bakal bantu dnegan satu catatan ..." ucap Kakek Bram serius. "Satu catatan? Apa itu?" tanya Hany semakin penasaran. "Satu pemintaan maksud Kakek," jelas Bram lagi meralat ucapannya. "Pemintaan apa?" tanya Hnay semakin bingung. "Nanti kamu akan tahu, sayang. Sekarang kamu lebih baik istirahat dulu dan kita ke sekolah besok," titah Bram pada Hany. "Iya Kek ..." jawab Hany lirih. Hany tidak punya pilihan lain. Ia tidak berani berkata jujur pada Kakek Bram soal kedua orang tuanay yang berada di Penjara. Malam itu, Hany susdah mulai bermalam di rumah Kakek Bram. Setelah makan malam, Hany duduk diam di dalam kamarnya. Sama seklai tidak ada pandangan idup ke depan. Rasanya ia mau menyerah dan kalau pusing begini, Hanay lebih senang naik motor kesayangannya dengan kecepatan tinggi. Sayangnya, motornya pun kena sita. Keesokkan harinya, sesuai janji Bram. Bram mengantarkan Hany ke Sekolahyang berada di tengah Pesantren. Bukan sekolah umum tetapi setara dengan SMA. Lebih tepatnya Hany bersekolah di MA. Kalau bukan karena Kakek Bram dan kebaikan hati Kyai Abdullah, maka hany tidak bisa mengikuti ujian nasional. Hari ini dan selama satu minggu ke depan, Hany terselamatkan. Masa depannya setidaknya masih cerah walaupun ia hanya lulusan setara dengan SMA. Tapi, Apa kabar kedua orang tuanya? Gimana mereka? Bisa makan atau tidak? Hany benar -benar kepikiran soal ini. Hany masuk ke kelas dan semua mata memandang dirinya. Lihat saja, hanya Hany yang memakai rok abu pendek dan kemeja putih dengan lengan yang begitu ketat dan kemeja itu tidak rapi masuk ke dalam rok abunya. SEorang laki -laki mnedekati Hany dan menyuruhnya keluar. "Keluar!" cap lelaki itu dengan galak. "Ta -tapi... Saya disuruh masuk kesini," ucap Hany ketautan. "Keluar!" titah lelkai itu dengan lebih keras lagi. Semua murid yang ada di dalam terdiam menatap Hany dan guru yang mengusir Hany. Lelaki itu keluar dari kelas agar Hany juga ikut keluar. "Ayo! Ikut saya!" titah lelaki itu pada Hany. Hany langsung berbaik dan mengikuti lelaki yang menyuruhnya keluar tadi. Mereka menuju ruang perpustakaan yang sepi. Lelaki itu membuka pintu perpustakaan yang terkunci dan mempersilakan Hany masu. "Kam duduk disana dan ini soal ujan serta lembar jawabannya,"titah lelaki itu. Hnay mengangguk dan meletakkan tasnya lalu mulai mnegerjakan soal -soal itu. Hnay semalaman tidak belajar. Ia tidak membawa buku- buku pelajarannya. "Pak ... Boleh pinjam alat tulisnya? Sa -saya ga bawa," jelas Hany. "Hmmm ... Sudah tahu mau ujian, malah gak bawa alat tulis," jelas lelaki itu lalu mengambil alat tulis dari laci yang ada di perpustakaan itu. Tanpa banya bicara, lelaki itu meletakkan dua pinsil dua B, penghapus, serutan dan pulpen. "Silahkan dipakai dan kerjakan dnegan baik. Kerjakan dengan waktu sekitar dua jam. Pergunakan waktu dengan baik," titah lelaki itu yang duduk tepat di depan Hany. Lelaki itu menatap Hany dengan lekat. Ia melihat Hany yang begitu serius membaca soal lalu memilih jawaban dan melingkari bulatan hitam di lembar jawaban yang tersedia. Sesekali, Hany mengangkat wajahnya dan tanpa sengaja menatap ke arah kedua mata lelaki yang juga sedang menatapnya tanpa berkedip. Wajah lelaki itu tampan dan terlihat ramah. Tidak sepertiyang ia lihat tadi saat berada di kelas. Begitu galak dan menyeramkan. Sebentar ... Mata itu, kayak tidak asing lagi. Kedua mata yang agak besar dan cukup tajam bulatan hitamnya dengan bulu mata yang lentik membuat waah lelaki yang di depannya itu terlihat semakin sempurna ketampanannya. Keduanya hanya diam dan tak bicara. "Selesai ..." ucap Hany dengan perasaan lega. Ia menutup lembaran soal dan menumpuk lembar jawaban di atasnya. "Good. Padahal baru satu jam. Kamu tidak mau cek lagi, apakah ada salah atau tidak? Mumpung msaih ada waktu?" tanya lelaki itu pada Hany. Hany menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak. Saya sudah yakin sekali" jawab Hany begitu mantap. "Okelah kalau begitu. Kamu bisa istirahat," titah lelaki itu pada Hany. Hany mengangguk kecil dan bersiap untuk berdiri "Mau kemana?" tanya lelaki itu santai. "Istirahat kan? Berarti ke depan dong? Ke Kantin atau di depan sekolah tadi ada yang jualan," ucap Hany singkat. "Dengan pakaian begitu? Rok abu kurang bahan, kemeja kesempitan, rambut telihat," jelas lelaki itu pada Hany. "Terus?" tanya Hany agak kesal. "Saya yang akan pesankan makanan dan minuman untu kamu. Ini wilayah pesantren, bukan sekolah umum. Tidak ada perempuan yang bepakaian seperti kamu. Kalau bukan Kakek Bram yang minta agarcucu tersayangnya masuk sekolah ini, kta tidak akan terima? Urus anak pindahan yang cuma numpang ujian itu gak mudah. Paham?" jelas lelaki itu. "Bapak siapa sih? Gayanya sok banget?" tanya Hany ketus. "Saya keluar dan kumpulan ini dulu. Sepuluh menit saya kembai dengan makanan dan minuman. Saya harap, kamu tetap disini dan jangan kabur seperti yang sudah -sudah. Kalau tidak mau, ujian kamu saya blacklist," titah lelaki itu dengan suara tegas. "Seperti yang sudah -sudah? Apa maksudnya?" tanya Hany pada lelaki yang masih di depannya. "Hmm .. Sebentar ya," ucap lelaki tampan itu dan pergi dari hadapan Hany. Hany menatap lelaki yang belum ia ketahui namanya sampai saat ini. Di luar ruangan perpustakaan ini juga masih sangat sepi. Hany berdiri dan melangkah menuju pintu perpustakaan. Kepalanya nongol sedikit ke arah luar dan melihat ke kiri dan ke kanan. "Hai? Slamet. Nama bekennya Memet," ucap serang laki -laki yang menguluran tangannya untuk berkenalan dengan Hany. "Hany ..." jawab Hany dengan senyum ramah. "Anak baru? Baru banget?" tanya Memet seius. "Hu um ..." jawab Hany singkat. Memet menatap Hany dari ujung bawah kakinya hingga ke atas kepala. Gadis yang ada di depannya ini benar -benar cantik. Mirip artis -artis FTV yang suka ia tonton dar televisi. "Dari kota?" tanya Memet lagi. Memet menyodorkan permen karet untuk Hany. "Maaf aku ga suka. Ia dari Bandung," jawabnya singkat. Lelaki tadi sudah datang dan menatap tajam ke arah Hany yang nampak akrab berbincang denagn seorang laki -laki. "Masuk!" titah lelak itu. "Saya cuma mau ngobrol, Pak," jelas Hany pada lelai yang kini menyuruh Hnay masuk kemba ke dalam ruangan perpustakaan. "Masuk! Kamu, gak usah ganggu dia lagi. Bukan mukhrim! Paham?!" titah lelaki it pada Memet. Memet mengangguk paham dan berbalik lagi sambil sesekali menengok ke belakang untuk melihat Hany. Lelaki itu meletakkan satu kotak berisi makanan dan es teh pici dalam cup. "Makan sekarang. Dan ini buku yang bisa kamu pelajari buat ujian kedua nanti," jelas lelaki itu pada Hany. Hany menatap kotak berisi ayam bakar kesukaannya dan es teh manis. Ini perpaduan yang sangat nikmat. "Hany ..." ucap Hany mengulurkan tangannya pada lelaki yang merupaan guru di sekolah ini. "Ridwan ..." jawab Ridwan tanpa mau menyentuh tangan Hany. Ia mengantupkan tangannya di depan Hany. Hany mengangguk dan duduk. Ia paham, bukan sekali dua kali melihat lelaki yang modelan begini. Tidak mau besalaman dengan seorang perempuan. "Makasih, makanannya ..." ucap Hany lembut. "Iya sama -sama. Habiskan," titah Ridwan yang kembali duduk dan mulai sibuk dengan ponselnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN