Letak rumah Kakek Bram dengan sekolah Hany sekarang itu cukup jauh. Tadi, Kakek Bram mengantar Hany menggunakan mobil jip tuanya. Memang masih gagah dan nampak keren. Jatuhnya kayak mobil unik gitu.
"Kamu pulang sama saya. Tadi, Kakek Bram titip kamu pada saya," jelas Ridwan setelah mengunci ruangan Perpustakaan.
"Iya Pak," jawab Hany singkat.
Hany terpaksa mengikuti Ridwan yang kembali ke ruang guru untuk menumpuk hasil jawaban ujian peseta didiknya.
Semua mata memandang ke arah Hany yang bukan karena cantik saja, tapi berbeda dengan yang lain.
"Ayo ..." titah Ridwan yang segera mengajak Hany berjalan memutar ke arah belakang menuju parkiran khusus.
Jujur, Ridwan tak suka melihat tatapan smeua orang pada Hany. Rasanya ingin mencongkel mata mereka.
Kedua mata Hany tertuju pada mobil sedan sport mewah yang jelas hanya ada beberapa di negei ini. Pandangannay lalu berpindah pada Ridwa yang pembawaannya sellau tenang dan santai.
Lelaki tampan itu membukakan pintu mobil untuk Hany. Dengan kontak mata saja sudah cukup, kalau Ridwan menyuruh Hany untuk segera masuk ke dalam mobilnya.
Hany pun masuk ke dalam dan mengucapkan terima kasih. Ia duduk dengan rapi di jok bagian depan. Jujur, Hany jarang sekali naik mobil, ia lebih suka naik blackpink dibandingkan naik mobil karena tidak boleh menyetir sendiri.
Ridwan masuk ke dalam mobil dari sisi yang lain. Lalu menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobil itu dengan satu tangan yang memegang kendali. Ia memakai kaca mata hitam dan mobil itu perlahan melaju menuju jalan raya ke kampung Kakek Bram.
"Pak ..." panggil Hany sambil menatap Ridwan dari arah samping.
"Ya?" jawab Ridwan tetap menatap ke arah depan jalanan tanpa menoleh ke arah Hany.
"Kok, Saya kayak pernah lihat Bapak. Wajahnya dari samping, mata sih lebih tepatnya sama aroma wanginya," ucap Hany pada Ridwan.
"Hmmm ..." jawab Ridwan tanpa memberikan penjelasan.
"Ish! Orang ditanya tu dijawab! Bukan cuma ham hem aja," uca Hany kesal. Ia memeluk tas ranselnya dan menatap ke arah kiri. Melihat pemandangan sawah dai desa tenyata indah sekali.
Pandangannya kembali melihat ke ara dashboard. Rasanya seperti dejavu. Hany kayak pernah masuk ke mobil ini, tapi kapan?
Tangan Hany mulai menyentuh beberapa interior mobl Ridwan. Ia yakin, ini mobil yang ia masuki malam itu.
Ridwan mengekor pergerakan Hany. Tepat saat Hany akan membuka dashboard, tanagn Ridwan lebih cepat menahannya.
"Jangan dibuka!" ucap Ridwan begit dingin.
"Kenapa? Mau lihat saja. Ada rahasianya ya? Ada kond0m?" tuduh Hany sambil tekekeh.
Ridwan tak pedul dengan tuduhan Hany. Ia tetap fokus menyetir.
"Kayak pernah naik mobil ini. Tapi, kapan ya?" ucap Hany pelan. Ia seolah sedang bicara dengan dirinya sendiri.
Ridwan hanya menyimak dan memilih diam.
"Pak ... Kita pernah ketemu gak sih, sebelumnya? Dimana gitu?" tanya Hany lagi.
"Enggak," jawab Ridwa begitu lantang dan penuh keakinan.
"Masa sih? Uh ... Kenapa kayak lupa semua ini, sih?" ucap Hany kesal sendiri.
Tak lama mobil itu malah masuk ke sebuah Kafe. Ya, Kafe yang terletak di tengah sawah. Kafe Ijo. Sesaui dengan namana, kafe itu bertemakanunsur alami dan natural. Hampir semua ornamennya berwarna hijau dan cokelat biar lebih fres.
Kafe dua lantai dengan tampilan kaca dan saat kaki Hany melangkah masuk. Sangat sejuk dan dingin. Konsepnya luar biasa menarik sekali.
Semua orang yang ada disana tunduk pada Ridwan. Hany melihat pemandangan itudan mengerutkan keningnya siapa sebenarnya lelaki ini. Sangat misterius sekali.
Ada sebuah banner lowongan kerja. Hany berhenti di depan banner itu dan membaca dari atas sampai bawah.
"Lumayan nih. Sehari lima puluh ribu rupiah. Kalau masuk terus dapat bonus tiga ratus ribu rupiah. Kafenya pun sepi dan tidak ramai," batinnay di dalam hati.
Ridwan berbalik saat mengetahui Hany malah asyik melihat banner lowongan kerja.
"Ngapain? Saya sampaibalik taku kamu nyariin," ucap Ridwan datar.
"Ish ... PeDe banget Pak. Ini lagi liat lowongan kerja. Kayaknya saya mau ikut kerja disini. Tidak ada syarat umur juga," ucap Hany dengan senyum melebar.
"Kamu kan lagi sekolah?" ucap Ridwan mengingatkan.
"Kan kerja siang bisa. Ini tertulis ada dua shift," jawab Hany penuh kemenangan.
"Pulangnya maam pasti," jelas Ridwan lagi.
"Gak masalah. Saya gak takut," jawab Hany lagi dengan berani.
"Ya sudah. Coba saja," ucap Ridwan lagi.
"Bapak kenal sama ownernya?" tanay Hany serius.
"Eh ... Gimana? Oh ... Kenal," jawab Ridwan cepat.
"Nah kenal ya? Makanya, mana mungkin guru kayak Bapak, bis apunya kafe se -estetik ini. Gaji guru kan kecil," ucap Hany lancang sekali.
Ridawan hanya menatap gadis kecil yang ada di depannya. Rasanya ingin mencubit pipi gadis itu sampai biang ampun.
"Halo ... My bro ...." ucapan Ale terhenti saat Ridwan menoleh ke arah Ale dan melotot tajam.
"Halo ..." jawab Ridwan datar.
"Pak Ridwan, mau pesan apa?" tanya Ale agak kikuk seklai.
"Hmm ... Biasa," jawab Ridwan singkat.
"Oke. Kalau gadis kecil ini? Mau apa?" tanya Ale sopan.
"Saya bkan gadis kecil. Tolong di ralat, saya sudah Es Em A," tegas Hany kesal.
"Oke ... Soalnya anda mungil dan sangat imut," jelas Ale jujur memuji.
"Uhukkkk ... Mau pesan apa kamu?" ucap Ridwan tegas. Ia paling tida suka mendnegar orang lain memuji Hany.
"Es cokelat?" tanay Hany.
"Good menu. Kita buatkan," jelas Ale yang sudah akan berbalik.
"Ehh ... Tunggu dulu Kalau mau daftar jadi karyawan? Gimana caranya?" tanya Hany serius menatap kedua mata ALe yang sempat melirik ke arah Ridan dan Ridwan hany berkedip sekali.
"Eum ... Bisa. Kebetulan, ownernya sedang ke luar negeri dan saya yang mengatur semuanya. Kita kekurangan karyawan untuk jadi pelayan. Kamu mau?" tanya Ale pada Hany.
Hany mengangguk, "Mau. Itu gajinya segitu kan? Sehari lima puluh ribu?"
"Benar. Langsung dikasih saat akan pulang," jelas Ale lagi.
"Saya harus bagaimana? Bis amulai kapan?" tanya Hany serius.
"Kmau masih sekolah?" tanya Ale
"Ujian nasional," jawab Hany.
"Oke. Kalau egitu, kamu bisa kerja setelah selesai ujian nasiona. Gimana?" tanya Ale seius.
"Oke. Saya siap," ucap Hany mengulurkan tangan pada Ale.
Ale melirik lag pada Ridawan yang memutar kedua bola matanay dengan malas.
"Eumm ... Tangannya buat apa? Kenaan?" tanya Ale polos.
"Kenalan boleh juga. Tapi lebih ke Deal ... Gimana?" tanya Hany serius.
"Deal ..." jawab Ale sambil menangkup kedua tanagn di depan d**a.
Hany mengangguk dan menurunkan tangannya.
"Sudah? Kita duduk disana," titah Ridwan pada Hany.
"Iya" jawab Hany singkat sambil melirik ke arah Ridwan yang mengajaknya bicara.
Ridwan berjalan lebih dulu seperti biasa. Lalu duduk di tempat yang ia pilih. Hany pun ikut duduk dan keduanya duduk saling berhadapan.
"Kita mau apa disini?" tanya Hany pada Ridwan.
"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu," jelas Ridwan serius.
"Soal?" tanya Hany dengan jantung yang mulai kacau.
"Perjodohan kita," ucap Ridwan singkat.
"Apa? Perjodohan?" ucap Hany begitu kaget sampai ia menggebrak meja dan berdiri.
Kedua matanya melotot menatap Ridwan dan terlihat begitu berapi -api.