"Apa? Perjodohan?" suara Hany menggelegar nyaris membuat gelas di meja bergetar. Ia berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya, menatap Ridwan yang masih duduk santai dengan ekspresi tenang, seolah hal ini bukan masalah besar.
"Aku ini masih sekolah, Pak! Masih remaja! Belum cukup umur untuk dijodohkan!" serunya, matanya membulat, wajahnya merah padam.
Ridwan menatap Hany lama. Lalu ia berdehem pelan sebelum menanggapi.
"Kamu pikir aku setuju, Hany? Aku pun tidak," ucap Ridwan tanpa nada.
"Jadi kenapa kamu diam saja? Kamu bisa nolak, kan?!"
"Aku punya alasan."
"Alasan apa?!"
Ridwan menyilangkan tangan di depan d**a. Wajahnya yang biasanya datar kini menunjukkan sedikit kelelahan.
"Kakek kamu hutang budi besar pada keluarga kami. Bertahun -tahun yang lalu, dia menyelamatkan hidup Abi. Bahkan hampir kehilangan nyawa demi itu. Dan sebagai balasan, orang tuaku menyepakati perjanjian, cucu satu -satunya Kakek Bram akan dijodohkan dengan anak laki -laki dari keluarga kami. Dan sayangnya ..." Ridwan mengangkat alisnya, "aku satu -satunya anak laki -laki. Ada dua sih, tapi Abi ingin aku yang menikahimu."
Hany terduduk kembali. Dunia seperti jungkir balik di kepalanya.
"Dan Bapak nerima -nerima aja gitu? Kenapa gak tolak dari dulu?!" serunya.
"Aku sudah mencoba," ucap Ridwan, menatap lurus ke mata Hany. "Tapi kamu tahu bagaimana orang tua di desa ini. Kata sepakat itu sudah seperti hukum yang tak bisa digugat. Dan lebih buruknya lagi, kakekmu yang malah mendesakku untuk mulai mendekatimu. Dia takut kamu tidak punya masa depan setelah kedua orang tuamu ... ya, kamu tahu sendiri."
Hany mengalihkan pandangannya. Tiba -tiba, ia merasa perih di dad4nya. Pikirannya kembali pada rumah yang telah disita, pada jeruji besi yang kini memisahkan dirinya dengan Mama dan Papa.
"Aku bukan barang titipan, Pak Ridwan," katanya akhirnya, lirih. "Aku bukan utang yang harus dibayar dengan menjual diri."
Ridwan memejamkan matanya sejenak. Hany melihat bagaimana rahang lelaki itu mengeras, seperti sedang menahan sesuatu.
"Aku tahu," jawab Ridwan. "Makanya aku gak pernah memperlakukan kamu seperti itu. Aku hanya menyampaikan kebenaran. Tapi, aku gak akan maksa."
Hany memandangnya tak percaya.
"Gimana maksudnya?"
"Aku gak akan menikah sama kamu kalau kamu gak mau. Tapi ... aku akan tetap menjaga kamu. Aku akan pastikan kamu bisa selesaikan sekolah, bisa kerja kalau kamu mau, dan tetap tinggal di desa ini dengan aman. Itu janji aku, bukan sebagai calon suami ... tapi sebagai guru, dan sebagai laki -laki yang tahu caranya menghormati perempuan."
Kata -kata itu menghantam keras ke dad4 Hany. Ia tak menyangka, Ridwan yang begitu misterius dan kaku, bisa berkata sebijak itu.
"Dan satu lagi," tambah Ridwan, suaranya mengecil.
"Apa?"
"Malam itu ... yang balapan menggantikan kamu ... itu aku."
Hany terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, matanya membesar.
"Kamu ... yang malam itu ..."
Ridwan mengangguk pelan.
"Aku tahu kamu keras kepala. Tapi aku juga tahu, kamu bukan penjahat. Kamu cuma ... terlalu bebas, terlalu liar karena terbiasa punya segalanya. Tapi kamu punya hati, Han. Kamu peduli sama orang tuamu, kamu cinta motor kamu, kamu punya keberanian. Dan malam itu, aku gak tahan lihat kamu dilukai dan dijebak Elvagazo. Makanya aku bantu. Tapi aku juga ingin kamu sadar, hidup bukan cuma tentang menang dan kabur. Kadang, kita harus berhenti dan hadapi semuanya."
Hany merasakan matanya memanas. Ia berusaha menahan air mata, tapi dad4nya terlanjur sesak.
"Aku gak tahu harus ngomong apa," bisiknya.
"Kamu gak perlu ngomong apa -apa. Aku cuma mau kamu tahu kebenaran," kata Ridwan sembari berdiri dan meraih kunci mobil. "Kalau kamu siap ... Kakek Bram sudah tahu kamu di sini. Dan malam ini, dia akan bicara langsung soal perjodohan itu."
"Apa?! Malam ini?" Hany menatap Ridwan panik.
Ridwan menatap Hany lembut. "Kamu kuat, Han. Aku percaya itu."
***
Malam harinya, suasana rumah Kakek Bram begitu tenang. Di beranda, Kakek Bram duduk mengenakan sarung dan batik tua dengan motif bunga hitam emas. Di depannya, Hany duduk memeluk bantal kecil, matanya waspada, tubuhnya gelisah.
"Kenapa kamu diam terus, Hany?" tanya Kakek Bram dengan nada lembut.
Hany menggigit bibirnya.
"Kek ... soal jodoh itu ... apa benar?"
Kakek Bram mengangguk pelan. "Benar, Sayang. Dulu Kakek pernah hampir dibunuh dan. Abinya Ridwan yang selamatin Kakek dari masa. Dia luka parah karena nolong Kakek. Dan kami berdua sepakat ... anak dan cucu akan bersatu."
Hany menggeleng lemah. "Tapi Kek ... Semua sudah berubah. Masa Kakek masih pegang janji itu?"
"Karena janji itu harga diri, Hany. Tapi Kakek juga tidak akan paksa kamu. Hany punya hak menentukan hidup Hany. Kakek hanya minta satu hal ..."
"Apa Kek?"
"Cobalah kenali Ridwan. Dia bukan laki -laki sembarangan. Dia punya prinsip, tanggung jawab, dan dia ... sudah suka sama kamu dari lama."
Hany melotot. "Kakek becanda?"
"Becanda dar imana? Ridwan itu yang pertama kali nolak jodoh ini. Tapi pas tahu kamu cucu Kakek Bram, dia gak bisa bilang enggak lagi."
Hany terdiam. Ada campuran geli, malu, dan bingung menyerang pikirannya.
"Kalau aku gak mau?"
"Beritahu Ridwan langsung. Tapi Kakek harap ... kamu mau beri waktu. Sekali saja."
Hany menarik napas. "Baik, Kek. Tapi gak ada jaminan aku bisa suka dia."
Kakek Bram tersenyum. "Suka itu datang kalau kamu kenal. Dan Ridwan, dia akan sabar menunggu."
Di kamarnya malam itu, Hany memandangi jendela, memikirkan sosok Ridwan.
"Jadi... dia yang malam itu..." bisiknya sambil memeluk bantal. Wangi kulit jaketnya yang glossy, mata tajamnya yang familiar, dan ... sorot hangat yang tak ia sadari sejak awal.
Hany tersenyum tipis. Entah kenapa, malam ini untuk pertama kalinya, ia tidak ingin kabur.
Dan mungkin ... hanya mungkin ... ia akan mulai membuka hati, perlahan -lahan.