Pagi itu, udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya. Embun belum sepenuhnya mengering saat Hany berdiri di depan cermin kecil di kamar tamunya. Seragam putih abu -abunya terlihat sedikit kusut, rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya masih tampak kelelahan akibat malam yang penuh pikiran.
Hany menambah jaket untuk menutup kemeja putihnya yang terlalu ketat dan ia memakai leging hitam agar rok abu -abunya yang pendek tetap terlihat sopan tidak menunjukkan pahanya yang mulus. Tidak lupa topi hitam favoritnya serta ransel yang sudah ada di bahu Hany.
Hari ini ujian sekolah dimulai. Tapi bukan hanya soal -soal di atas kertas yang membuat Hany gugup melainkan sosok Ridwan yang kini mulai memenuhi pikirannya.
Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri.
"Fokus, Han. Fokus." Han terus membatin didalam hati.
***
Di sekolah yang baru, suasana pagi seperti biasa dan hampir sama seperti suasana di Sekolah Hany yang lama. Ramai, gaduh, dan dipenuhi aroma semangat bercampur deg -degan, itu adalah suasana saat memasuki jam ujian. Hany berjalan memasuki ruang ujian dengan langkah cepat. Saat ia melewati lorong, dan beberapa siswa sempat berbisik sambil melirik ke arahnya. Ia terlihat aneh dan berbeda dari yang lain.
Saat semua perempuan di Sekolah itu memakai rok panjang dan kemeja lengan panjang serta hijab panjang sebagai penutup kepala. Hany malah nyaman dengan stylenya memakai rok pendek dan jaket serta topi.
"Eh, itu Hany. Anak baru."
"Yang katanya dijodohin sama Pak Ridwan, ya?"
"Seriusan? Guru sendiri?"
Hany menunduk. Ia pura-pura tidak dengar. Padahal telingana tajam seperti tikus yang sedang menyimak mangsanya.
Begitu duduk di bangkunya, ia berusaha mengabaikan semua suara dan mulai menyiapkan alat tulis. Tapi belum sempat membuka pensilnya, suara langkah tegas menggema dari ujung lorong. Hany langsung tahu siapa pemiliknya.
Ridwan.
Pria itu masuk ruangan dengan raut datar dan sorot tajam khasnya. Kemeja biru gelap yang ia kenakan digulung di lengan hingga siku, memperlihatkan jam tangan hitam dan urat -urat halus di lengannya. Wibawanya seakan memenuhi ruangan.
Semua murid langsung diam seribu bahasa. Tidak ada yang bicara dan melakukan aktivitas yang menimbulka suara.
"Letakkan semua barang selain alat tulis. Jangan coba -coba nyontek, saya punya mata di mana -mana," ucap Ridwan, suaranya datar dan tanpa basa -basi.
Ia menatap seluruh ruangan dengan tajam, sebelum pandangannya berhenti pada Hany.
Namun, alih -alih memperingatkan atau menggertak, ia mendekat perlahan dan meletakkan sebotol air mineral kecil di meja Hany tanpa berkata apa -apa.
Hany menatap botol itu dengan bingung, lalu mendongak menatap Ridwan.
Mata mereka bertemu.
Tak ada senyum. Tak ada anggukan. Hanya sorot mata yang seolah berkata, "Jangan lupa minum."
Lalu Ridwan berjalan pergi dan mulai membagikan soal dengan ekspresi seperti biasa. Ekspresi datar dan dingin. Ekspresi yang sulit dijelaskan.
Tapi hati Hany ... tidak seperti biasa. Jantungnya terus berdebar setiap meja belajarnya dilewati oleh Ridwan.
***
Waktu ujian berlalu dengan perlahan. Hany berusaha fokus, tapi entah kenapa pikirannya terus kembali ke satu botol air kecil yang kini berdiri manis di ujung mejanya.
"Kenapa dia bisa sepeduli itu? Padahal Ridwan, bukan siapa -siapa."
Saat bel tanda selesai ujian berbunyi, Ridwan mengumpulkan lembar jawaban satu per satu. Ketika sampai di meja Hany, ia mengambil kertas tanpa berkata apa -apa. Tapi sebelum melangkah pergi, ia membisik pelan, "Kamu kelihatan kurang tidur. Jangan lupa sarapan besok."
Hany melongo. Ia nyaris menoleh tapi Ridwan sudah kembali melangkah dengan wajah datar khasnya.
Saat jam istirahat, Hany duduk di pojok kantin sendirian, masih merenungi setiap perlakuan Ridwan yang menurutnyamendadak aneh pagi ini. Tiba -tiba, seseorang menarik kursi di depannya dan duduk.
Ridwan.
Hany hampir menjatuhkan sendoknya.
"Pak?"
Ridwan membuka kotak makanan kecil yang ia bawa dan menyodorkan satu bungkus roti isi kepada Hany.
"Ambil. Aku tahu kamu gak makan tadi pagi."
Hany menatap roti itu sejenak, lalu menatap Ridwan dengan bingung.
"Kenapa sih... Bapak kayak gini?"
Ridwan hanya mengangkat bahu. "Aku cuma guru. Dan sedikit ... yang peduli."
Hany mengerutkan kening. “Sedikit?”
Ridwan menatapnya lurus -lurus, dan kali ini ... ada senyum samar di wajahnya.
"Atau mungkin lebih dari sedikit. Tapi jangan khawatir, aku gak akan ganggu kamu."
"Bukan ganggu, Pak. Cuma ... ini aneh. Dingin -dingin terus, tiba -tiba perhatian. Kayak ... serial drama Jepang gitu."
Ridwan tertawa kecil. Dan itu pertama kalinya Hany melihat lelaki itu tersenyum sambil menunduk.
"Kamu suka drama Jepang?"
"Y -ya. Dikit."
"Coba deh lihat yang judulnya Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu. Kadang, pernikahan pura -pura bisa jadi cinta beneran."
Hany melotot. "Pak! Jangan ngaco!"
Ridwan hanya tertawa lagi, lebih pelan kali ini.
"Ya udah. Makan tuh roti. Nanti pingsan."
"Iya. Makasih Pak."
"Sama -sama. Kamu udah belajar untuk ujian kedua?" tanya Ridwan begitu peduli.
Hany membuka roti dan menggigit rotiitu lalau menggelengkan kepalanya, "Belum. It's oke, pokoknya."
Ridwan tersenyum, "Oke. Penampilan kamu menarik pagi ini."
Hany memutar kedua bola matanya dengan malas, "Menarik apa aneh?"
"Menarik. Lucu, bikin gemes," jelas Ridwan begitu detail menjelaskan.
"Habis bingung mau pakai apa," ucap Hany sambil mengunyah makanannya.
"Untuk sementara sih gak masalah. Nanti siang kita ke toko seagam," ucap Ridwan lagi.
"Hah?! Enggak! Sekolah tinggal beberapa hari lagi aja, pakai ganti seragam. Teus? Hnay harus pakai ang kayak mereka pakai? NO! Itu aneh!" jelas Hany tak suka.
Rasana aneh banget, pakai rok panjang, kemeja panjang, pakai penutup kepala. Itu bukan style Hany banget.
"Ikuti aturan sekolah, Hany. Sekolah ini sudah baik mau menerima kamu. Kamu gak bisa seenaknya begitu," jelas Ridwan.
"Oke," jawab Hany begitu pasrah.
"Ya sudah. Habiskan, saya masih ada urusan lain," jelas Ridwan pada Hany.
Hany mengangguk dan menyelesaikan makan rotinya.
***
Sepulang sekolah, Hany berjalan pulang dengan langkah pelan. Tapi di depan gerbang, ia terhenti.
Sebuah motor hitam familiar terparkir di sana. Kedua matanya begitu lekat menatap motor hitam itu dan tak bisa lepas. Rasa di dalam dad4 begitu menggebu ingin menaiki motor itu. Sudah lama seklai, tangannya tidak menarik gas motor dan itu mmebuat tangannya gatal.
Ridwan keluar dari pintu gerbang dan berdiri di samping motor, helm di tangan. Ia memakia jaket hitam. Ridwan memakai jaket jeans dan penmapilannya seketika terlihat sangat berbeda sekali.
"Hany. Ayo, kita beli seragam," seru Ridwan memanggil Hany yang jaraknya tak jauh dari tempat Hany berdiri.
Hany ingin marah, ingin menolak. Tapi entah kenapa, wajahnya justru memerah. Ia melirik kiri kanan, memastikan tidak ada teman sekelas yang lewat, lalu buru -buru naik ke boncengan motor. Kalau smapai ada yang melihat, bisa dipastikan ia akan malu seklai. Apalagi gosip tentang perjodohan mereka sudah dikethaui banayk orang. Entah siapa yang menyebarkan gosip seperti itu.
Ridwan membeikan helm untuk Hany, lalu melajukan motor itu membelah jalanan desa yang sudah bagus.
Ridwan sengaja tidak membawa mobil pagi ini. Ia ingin mengenal Hany lebih dekat lagi.
Motor pun melaju pelan di jalan desa. Angin menerpa wajah Hany, dan untuk pertama kalinya ... ia merasa hangat meski angin berhembus dingin.
Dan saat Ridwan menoleh sedikit ke belakang dan berkata, "Kalau kamu jatuh cinta nanti, jangan bilang aku gak kasih kode,"
Hany hampir jatuh beneran dari boncengan. Wajahnya merah padam.
"Pak Ridwan!!"
"Bercanda," jawab Ridwan dengan senyum kecil di bibir.
Tapi dalam hati Hany, ia tahu itu bukan cuma candaan.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, ia pulang dengan jantung yang berdetak terlalu cepat untuk ukuran seorang siswi SMA.
Sampai di toko seragam,Ridwan mulai memilihkan satu stel seagam putih abu untuk Hany. Tidak lupa hijab putih yang segi empat dan instant. Ridwan tahu, Hany pasti belum biasa memakai hijab ini dan perlu waktu.
"Pak ... Itu cara makenya gimana?" bisik Hany sat semua barang belanjaanya sedang di bungkus.
Ridwan menoleh ke arah Hany dan mengajak Hany ke arah manekin. Ridwan menunjukkan cara memakai hijab yang benar. Walaupun tidak begitu rapi, setidaknya Hany paham cara memakainya.
"Kayak gini. Bisa gak? Kalau kamu gak bisa, saya juga sudah beli yang instant biar kamu gak kesusahan," jelas Ridwan pada Hany.
Hany mengangguk paham, wlaaupun kepalanya muter -muter masih dalam tahap bingung. Setiaknya di rumah ada Mbok Yum yang bisa membantunya.