Motor hitam itu berhenti perlahan di depan rumah tua milik Kakek Bram. Ridwan menoleh ke belakang, memastikan Hany masih duduk dengan aman. Ia turun lebih dulu, lalu membuka helm Hany.
"Udah sampai," katanya pelan.
Hany menurunkan kaki dari motor. Ia menatap Ridwan sebentar sebelum berkata, "Terima kasih … untuk hari ini. Untuk rotinya, untuk motornya, untuk … hijabnya juga." Hany menatap lekat dua bola mata Ridwa yang maih tertutup helm ful face.
Ridwan membuka kaca helmnya dan mengangguk. "Besok ujian lagi. Jangan lupa belajar."
"Siap, Pak Guru," jawab Hany dengan nada menggoda.
Ridwan tersenyum kecil. "Kalau ada yang gak ngerti, tanya. Saya di sini bukan cuma buat ngawasin kamu, tapi juga bantu kamu," ucap Ridwan begitu serius.
Hany merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Lagi. Dia hanya mengangguk pelan, lalu buru -buru masuk ke rumah sambil membawa kantong plastik besar berisi seragam dan hijab baru.
Ridwan menatap punggung gadis itu sampai pintu rumah tertutup, lalu kembali melajukan motornya, masih dengan senyum samar yang tak bisa ia sembunyikan. Jujur, Ridwan begitu senang sekali.
***
Di dalam rumah, Hany langsung berlari ke arah dapur, di mana Mbok Yum pengurus rumah sekaligus sahabat lama keluarga Bram sedang memasak air untuk teh sore.
"Mbok! Mbok Yum!" panggil Hany sambil menyeret plastik besar.
"Lho! Gusti Allah, Hany! Kagetin aja. Kenapa, Non?"
"Bantuin aku, Mbok. Serius. Aku barusan dibeliin ini sama Pak Ridwan. Seragam putih abu, lengkap sama hijabnya. Tapi aku gak bisa pakainya, Mbok! Aku kayak alien!" Ucap Hany sambil tertawa. Miris sekali hidupnya. Ia berusaha tetap tertawa agar terlihat bahaia.
Mbok Yum tertawa pelan. "Astaga, jadi bener kamu besok mau pakai hijab?"
"Dipaksa sih enggak. Tapi … disuruh sekolah pake pas di sekolah aja. Katanya harus ikut aturan. Dan. .. ya udah. Aku mau coba. Tapi please, bantuin dulu. Sekarang!"
Mbok Yum mengangguk cepat, lalu mengajak Hany ke kamar Hany yang berada di lantai dua.
Di sana, Hany mengeluarkan isi kantong belanjaan satu per satu. Seragam putih yang masih terlipat rapi, rok abu-abu yang panjang dan lebar, serta dua hijab satu segi empat, satu lagi hijab instan.
Mbok Yum mengambil hijab segi empat lebih dulu. "Kamu tahu ini namanya apa?"
"Persegi panjang?"
"Segi empat, Non. Nih, caranya begini …"
Dengan sabar, Mbok Yum mulai menunjukkan cara melipat, menyematkan jarum pentul, hingga melilitkan ujung kain ke leher Hany. Tapi yang ada, Hany berkali -kali meringis, mencicit, bahkan hampir menusuk pipinya sendiri dengan peniti.
"Au! Mbok! Ini tuh kayak belajar bela diri! Kainnya panjang banget. Mana kepala aku kecil. Pasti aneh banget."
"Bukan aneh, Nduk. Belum terbiasa aja. Tapi tenang … Mbok ada jurus rahasia."
Mbok Yum meraih hijab instan yang tinggal ‘slek’ dipakai.
"Ini kayak helm. Tinggal masukkan kepala kamu ke sini."
Hany menurut. Hijab itu langsung meluncur di atas kepala dan ... cling. Terpasang.
"Wah … gampang banget. Tapi kok rasanya kayak dikekepin," komentar Hany sambil meraba lehernya.
"Itu karena kamu belum biasa. Tapi lihat tuh di cermin. Cantik, Non."
Hany menoleh ke arah cermin kecil di atas meja. Ia menatap bayangannya sendiri. Dirinya dalam balutan hijab? Aneh. Tapi … juga tidak seburuk yang ia bayangkan.
Wajahnya jadi terlihat lebih tenang. Matanya tampak lembut. Bibirnya yang biasanya banyak bicara kali ini hanya diam, menatap pantulan dirinya dengan saksama.
"Mbok …"
"Iya?"
"Pak Ridwan ... aneh gak sih?"
"Kenapa emangnya?"
"Ya … hari ini dia kayak orang lain. Beda banget dari biasanya. Dia beliin aku roti. Belajar hijab bareng. Ngomong pakai kode cinta di atas motor."
Mbok Yum terkekeh, lalu duduk di tepi kasur.
"Non … kalau lelaki dingin mulai peduli, itu bukan karena mereka berubah jadi hangat. Tapi karena kamu sudah cukup dekat untuk lihat sisi lembutnya."
"Wah … Mbok puitis juga."
"Aku bukan cuma bisa masak dan ngeteh. Aku lulusan universitas kehidupan, Non," jawab Mbok Yum sambil berkedip jenaka.
Hany terkikik. Lalu ia merapikan hijabnya lagi, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa tak perlu bersembunyi. Tak perlu merasa aneh. Karena perlahan -lahan, semua mulai terasa sedikit masuk akal.
Dan mungkin, hanya mungkin, hati Hany juga sedang belajar 'memakai' sesuatu yang baru bukan sekadar hijab, tapi kepercayaan.
***
Malam itu, Hany menyalakan lampu belajar, membuka lembar soal latihan, dan memandangi seragam barunya yang tergantung di dinding.
"Besok, aku bakal beda," gumamnya pelan.
Tapi dalam hati, ia tahu kalauperubahannya tak cuma di baju atau hijab. Tapi juga di cara ia mulai memandang sosok Ridwan bukan lagi sekadar guru, bukan hanya pria yang dijodohkan padanya tapi seseorang yang pelan -pelan menunjukkan bahwa rasa peduli bisa datang dalam bentuk paling sederhana.
Dan hati Hany, yang dulu liar seperti motor balapnya, kini mulai belajar menepi. Pelan. Tapi pasti.
***
Pagi itu, Langit Masih Biru. Pagi datang dengan lembut. Langit biru muda menghiasi cakrawala, angin bertiup ringan, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Di kamar Hany, alarm berbunyi pukul lima tepat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Hany tidak mematikannya lalu kembali tidur.
Ia bangun. Duduk sebentar, melirik ke jendela, lalu tersenyum kecil.
"Aku bisa," katanya pada dirinya sendiri.
Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, Hany melangkah ke meja belajarnya. Seragam putih abu itu tergantung rapi di gantungan. Hijab instan berwarna abu -abu sudah dilipat di atas meja. Ada sedikit gemetar di ujung jemarinya saat ia menyentuh kain itu, tapi kali ini bukan karena takut melainkan karena ia sungguh ingin mencobanya, bukan karena paksaan siapa pun.
Setelah semuanya terpasang, Hany menatap pantulan dirinya di cermin.
"Selamat pagi, Hany yang baru," ucapnya pelan, menepuk pipi sendiri.
Hany juga merias dirinya, dengan make up tipis agar wajahnya tidak terlihat pucat.
Seperti biasa, Hany akan di antar oleh Kakek Bram menuju sekolah. Tetapi, pagi ini raanya beda sekali.
"Hany ... Sarapan sini," teriak Kakek Bram dari arah bawah.
"Iya," jawab Hany ikut berteriak.
Hany menuruni anak tangga dnegan suara gemuruh. Ia mengangkat rok panjangnya dan berlari kecil menuju ruang makan.
Senyum manisnya embuat Kakek Bram dan Nenek Santi menatap Santi dengan bingung.
"Kamu? Pakaia hijab?" tanya Kakek Bram terkekeh.
"Ihh ... Kok malah di ketawain sih, Kek. Emang jelek," ucap Hnay sambil duduk dan membuka piring lalu mengambil satu centong nasi goreng dengan satu telur dadar di atasnya.
"Bukan jelek. Kakek suka, kok. Nenek suka?" tanya Kakek pada sang Nenek yang seja tai menatap cucu semata wayangnya.
"Suka. Lebih anggun seperti wanita pada umumnya," celetuk Nenek Santi
"Uhh ... Nenek bisa aja. Ini baru belajar," ucap Hany dengan senyum mereka.
"Jadi ... Bisa dipercepat pertunangan kalian?" tanya Kakek Bram pada Hany.
Hany mengunyah nasi goreng di mulutnya sambil melott ke arah Kakek Bram.
"Apa? Pertunangan di percepat? Nanti dulu lah, Kek," ucap Hnay lirih.
"Kenapa? Kalian sudah kenal, sudah smaa -sama tahu juga. Buat apa dilama -lama kan? Gak baik. Mlaah jadi fitnah. Kakek lihat Ridwan beberapa hari ini antar kamu pulang juga," ucap Kakek Bram.
"Iya ... Tapi, nanti dulu deh. Hany mau selesaikan seklah, terus mau kerja dulu, biar punya uang," cap Hany membela diri.
"Hmmm ... Pak Kyai ingin disegerakan, dan kamu tidak unya pilihan lain, Han .." tegas sang Kakek pada Hany.
Hany hanya bisa menarik napas dalam dan dihembuskan perlahan. Mau tidak setuju, tapi semua harus dijalani karena inisudah menjadi takdirnya.
Kayaknya, Hany perlu melakukan sesuatu ...
***
Di halaman rumah Kakek Bram, Ridwan berdiri bersandar pada motor hitamnya. Ia sempat memandangi jam tangannya. Masih lima menit sebelum waktu jemput. Ia menunggu Hany di teras rmah tanpa ada sepatah kata pun.
Dan tepat saat itu, suara langkah terdengar. Ridwan menoleh, dan ... Terdiam.
Hany berjalan keluar rumah. Rambutnya sudah tak terlihat. Wajahnya bersih, hanya dipulas bedak tipis, dan hijab instan putih itu membingkai wajahnya dengan rapi. Ia tampak ... berbeda. Bukan hanya dari penampilan. Tapi dari cara ia melangkah. Dari caranya menatap Ridwan penuh keyakinan.
Ridwan nyaris lupa bernapas.
"Lho, Pak Ridwan … kenapa bengong?" goda Hany sambil tersenyum kecil, lalu merapikan tali ranselnya.
Ridwan cepat -cepat mengalihkan pandangan dan batuk kecil, mencoba kembali ke dirinya yang biasa.
"Kamu… kelihatan beda," kata Ridwan akhirnya.
"Beda jelek atau beda cantik?" tanya Hany, menyipitkan mata.
Ridwan melirik lagi, lalu tersenyum. "Beda keren."
"Kalau kemarin keren style kamu, dan sekarang keren banget. Aku suka," ucap Ridwan menambahkan.
Hany nyengir puas. Ia naik ke motor tanpa perlu dibantu. Duduk dengan tenang, mantap, tak lagi kikuk seperti kemarin.
"Terus, masih mau ngajarin aku belajar, Pak Guru?" tanyanya dari belakang sambil meraih pinggiran jaket Ridwan dengan hati -hati, sekadar untuk menjaga keseimbangan.
Ridwan menyalakan motor. "Sekarang malah makin semangat ngajarnya."
Mendengar jawaban Ridwan, senyum Hany merekah. Hatinya berbunga -bunga dan rasanya jantung Hany bakalberdebar sepanjang hari.
Ternyata, ia bisa se -bahagia ini.
***
Di sekolah, kehebohan pun terjadi. Begitu Hany turun dari motor dan masuk ke halaman sekolah, semua mata memandang. Gadis yang dulu katanya di sekolah lama itu terkenal dengan rambut berantakan, jaket kulit, dan motor kencang itu kini muncul dengan tampilan paling kalem yang bisa dibayangkan. Putih abu yang sopan. Hijab yang rapi. Bahkan sepatunya bersih, bukan sneakers dekil penuh coretan.
Mungkin, kalau kedua sahabat karibnya ada disini, sahabat -sahabatnya itu bakal nyaris tak mengenali.
"HANY???" seru Memet keras, hampir menjatuhkan minuman yang ada di genggamannya.
Hany hanya nyengir, ke arah Memet yang kini cukup dekat dengan Hany, lalu berkata, “Dunia sedang berubah, Met. Aku juga dong.”
"Kamu kesambet apa?"
"Enggak. Cuma … mau mulai hidup lebih baik."
Fera memandang Hany lama, lalu akhirnya tersenyum juga. "Aku gak ngerti apa yang terjadi, tapi kamu keren, Han. Baru aja aku mau kasih kejutan buat kamu."
"Apa itu?" tanya Hany penasaran.
"Hmm ... Balap liar. Setahu aku, kamu itu joki kan?" bisik Memet.
Hanya mengangguk paham. Tapi, ia harus menggelengkan kepalanya untuk menolak tawaran Memet.
"Enggak. Aku, udah gak mau main kaya gitu lagi. AKu kapok," ucap Hany seius.
"Yakin? Kapok? Aku kok ga yakin?" ucap Memet tertawa.
"Serius, Met. Kita lagi ujian lho. Belajar yang bener," titah Hany.
"Oke. Aku bawa motornya. Ada diparkiran sekolah. Kalau kamu berubah pikiran, silahkan, nanti ke parkiran sekolah. Aku tunggu," jelas Memet.
Memet pun pergi mendahului Hany yang berjalan menuju dean kelas untuk ujian hari ketiga.
Dan di kejauhan, Ridwan masih berdiri di dekat gerbang guru. Matanya tak lepas dari gadis yang kini sedang tertawa dengan teman -temannya. Hatinya terasa hangat. Bukan karena ia merasa berhasil 'mengubah' Hany. Tapi karena gadis itu sendiri yang memilih jalan itu.
Dan itu jauh lebih berarti.
***
Ujianhari ketiga di hari itu berjalan dengan lancar. Hany duduk di barisan depan, mengejakan dengan serius, bahkan sesekali mengangkat kepala untuk mencari oksgen agar tidak terasa pengap. Ridwan yang menunggu di kelas itu beberapa kali kehilangan fokus karena mata Hany terlalu serius menatap papan tulis atau terlalu lama menatap wajahnya.
Setelah kelas selesai, Hany mendekat ke meja guru untuk mengembalikan soal.
"Pak … saya boleh mkeluar duluan, gak? Mau ke kamar mandi," ucap Hnay pada Ridwan meminta ijin.
Ridwan mengangkat alis. "Kamu minta ijin? Sudah selesai? Masih setengah jam lagi?"
Hany tersenyum lebar. "Sudah Pak. Bahkan saya sudah ulang tiga kali."
Ridwan mengangguk dan menjawab, "Iya. Silahkan." Lalu diam -diam tersenyum sendiri.
Dan saat Hany berjalan keluar kelas, Ridwan hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Ia jatuh cinta.
Tidak hanya pada Hany yang cantik atau jenaka. Tapi pada Hany yang sedang berusaha menjadi lebih baik, dengan caranya sendiri.
Hany yang tangguh, tapi tahu kapan harus lembut.
Hany yang tak sempurna, tapi tak malu untuk berubah.
Dan mungkin Ridwan berharap di ujung perjalanan ini, perubahan itu akan membawa mereka ke tempat yang sama.
Kadang cinta datang bukan karena rupa, tapi karena semangat seseorang untuk memperbaiki diri. Dan saat kita mencintai prosesnya, bukan hasil akhirnya itulah bentuk cinta paling tulus yang bisa dimiliki.