Bab 15. Berdebar dan Tersipu

1152 Kata
Darah Bela masih mendidih setelah direndahkan begitu oleh Dhea. Tapi ia berusaha keras menenangkan diri. Bela masih ingat kata dokter kandungan tempo hari saat ia dirawat karena pingsan, dirinya tidak boleh stres. “Klienku itu kakaknya Dhea bukan Dhea, tenang, tenang,” gumamnya sembari menyetir dengan cukup pelan menuju butiknya. Tepat ketika ia berhenti di lampu merah, ponselnya berdering panjang. “Halo?” sapanya tanpa melihat siapa yang menelepon. “Kak Bela, apa kabar?” Suara Alya terdengar di ujung telepon. Bela tersenyum lembut, meski tentu saja Alya tidak dapat melihatnya. “Baik. Ada apa kok telepon?” “Kan waktu itu Kakak sakit, pingsan sampe perdarahan. Kandungannya nggak apa-apa?” Meski terdengar tenang, tapi Bela bisa mendengar nada khawatir yang samar dalam suara Alya. Dan itu sudah cukup untuk membuat kekesalan atas sikap Dhea tadi perlahan menghilang. “Nggak apa-apa kok. semua aman. Cuma kecapean aja. Tapi sekarang udah baik-baik aja.” Bela masih tersenyum, kini sembari menginjak pedal gas dan menyetir kembali ke butiknya yang sudah terlihat di depan mata. “Beneran nggak apa-apa? Nggak harus bedrest?” “Enggak kok. Kita masih bisa lanjutin proyek kita,” kata Bela. Hening sesaat, lalu terdengar suara helaan nafas di ujung telepon. “Kak, aku tuh tanya begini bukan cuma karena kerjasama kita bisa jalan atau enggak. Tapi karena aku peduli sama Kakak. Aku pernah hamil dan pernah kehilangan anakku, aku tahu gimana sakit dan sedihnya kehilangan anak yang udah kita sayang bahkan sebelum dia lahir. Aku nggak mau Kakak ngerasain seperti yang pernah aku alami.” Jantung Bela terasa berhenti berdetak dan ia baru menyadari betapa dangkalnya ia memahami perhatian dari orang lain. Mungkin karena selama ini ia jarang mendapatkan perhatian dari orang tua dan suaminya. Karena itu, setiap perhatian yang diberikan padanya tidak bisa ia tangkap maksudnya dengan benar. Bela tak langsung menjawab karena ia sibuk memasukkan mobilnya ke garasi butik. “Makasih sudah mengingatkan. Tapi beneran, aku udah baik-baik aja kok.” Bela menjawab setelah keluar dari mobil. “Ya udah kalau Kakak udah bilang gitu. Pokoknya jangan memaksakan diri, oke? Soalnya bukan cuma aku aja yang khawatir.” Kalimat Alya membuat langkah Bela yang hendak menaiki tangga terhenti. “Hm? Maksudnya?” “Kak Tristan juga uring-uringan kalau Kakak sakit atau kenapa-kenapa.” Alya menjawab dengan suara yang seperti menahan tawa. “Ya udah ya, Kak, aku tutup teleponnya. Dadah!” Sebelum Bela sempat menjawab, Alya sudah menutup sambungan telepon. Meninggalkan Bela yang masih berdiri mematung dengan jantung berdegup kencang. Saat menyadari dirinya tersipu seperti ABG, Bela buru-buru menggeleng dan mengipasi wajahnya yang memanas. Rasanya, ia kembali pada saat dirinya pertama kali jatuh cinta seperti dulu. Berdebar, mudah tersipu, bahkan hanya sekedar mendengar nama Tristan disebut, seluruh sel di tubuhnya mendadak bereaksi tak karuan. “Apaan sih? Nggak jelas,” gumamnya, merutuki dirinya sendiri. Setelah berdehem pelan dan memperbaiki ekspresi, Bela akhirnya mulai melangkahkan kaki lagi untuk menaiki tangga. Namun, baru saja ia menaiki tangga kelima, ponselnya kembali berdering. Kali ini telepon dari orang yang tidak diduga sama sekali—Wulan alias ibunya. “Ibu, ada apa telepon?” sapanya sembari terus melangkah menuju ruang kerjanya. Suara isak tangis Wulan langsung menyambut pendengaran Bela. “Ayahmu, Bel, Ayahmu.” Bela menegang seketika. Tangannya yang hendak memutar handle pintu terhenti seketika. “Kenapa ayah, Bu? Ada apa? Bicara pelan-pelan.” “Ayahmu dibawa paksa sama polisi. Ibu nggak tahu kenapa, tapi … tapi … Ayahmu….” Wulan terus terisak, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Seluruh sel di tubuh Bela langsung menegang. Terlepas dari sikap orang tuanya padanya, tapi mendengar kabar bahwa ayahnya diseret oleh polisi sudah cukup untuk membuat Bela waspada. “Kenapa ayah dibawa polisi, Bu?” “Ibu nggak tahu, Nak. Sekarang pabrik kita juga digeledah polisi ….” Wulan bicara sambil terus terisak. Membuat Bela semakin panik. “Ibu tenang, ya? Aku ke sana sekarang,” kata Bela tanpa pikir panjang dan langsung berbalik, berlari turun kembali ke bawah. *** “Ibu istirahat aja, biar aku yang urus semuanya,” ucap Bela sembari menyelimuti tubuh ibunya. “Ingat, Ibu ada vertigo, kalau kambuh justru kita nggak bisa bantu ayah keluar dari penjara.” Wulan yang masih sedikit terisak hanya bisa mengangguk. “Tolong bawa pulang ayahmu. Ibu nggak bisa hidup sendirian tanpa ayahmu,” pintanya lirih dan lemah. Bela mengangguk. Ia paham betul betapa orang tuanya sangat saling bergantung satu sama lain. Terlepas dari bagaimana sikap mereka padanya, Bela tahu betul bahwa orang tuanya sangat mencintai satu sama lain. “Sekarang Ibu istirahat aja, ya?” Bela mengulangi kalimatnya. Dan Wulan hanya mengangguk, lalu meringkuk sembari merapatkan selimutnya. Tanpa menanyakan bagaimana keadaan Bela, tanpa mengkhawatirkan bahwa putrinya baru saja mengalami perdarahan dan pingsan beberapa hari lalu. Setelah memastikan ibunya memejamkan mata dengan tenang, Bela akhirnya pamit ke luar kamar. Ia menelepon pengacara yang ditunjuk Prabu jika terjadi hal-hal seperti ini. “Halo, Pak. Bagaimana? Sudah ada kabar dari kantor polisi soal tuduhan atas ayahku?” Bela bertanya tanpa basa-basi sembari berjalan keluar dari rumah. “Sudah. Baru aja saya mendapat detail tuduhan atas Pak Prabu. Beliau ditahan atas dugaan penyelundupan barang impor.” Langkah Bela terhenti seketika. Tubuhnya merinding bukan hanya karena angin dingin yang berhembus malam ini. Tapi karena ia menyadari apa yang dimaksud oleh pengacara ayahnya itu. “Halo? Nona Bela?” Suara pria di ujung telepon mengembalikan Bela ke kenyataan. “Ah, iya. Maaf ….” Bela sedikit tergagap, kembali melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman. “Malam ini saya akan mempelajari kasusnya dan jika memungkinkan, mencari pembelaan yang bisa membebaskan Pak Prabu.” Bela menghela nafas lega, tapi ketegangan di pundaknya masih terlihat. “Terima kasih, Pak.” Sambungan telepon itu terputus kemudian. Bela duduk di belakang kemudi sembari menelepon seseorang—orang yang ia yakini adalah dalang di balik penangkapan ayahnya. “Halo, Tristan? Kamu ada waktu malam ini? Bisa ketemu sebentar?” Hening di ujung telepon. Lalu, suara Tristan terdengar riang. “Sekarang? Bisa, bisa banget. Aku jemput atau—” “Kita ketemu di Langit Senja.” Bela memotong cepat, mulai menyetir menuju tempat yang dimaksud. Lagi-lagi hening. Tristan tak langsung menjawab dan hanya menghela nafas berat, bergetar. Langit Senja adalah tempat kencan mereka dulu, tempat kencan favorit mereka karena restoran itu tidak memiliki banyak pengunjung dan terletak di rooftop sebuah gedung perkantoran yang tidak terlalu ramai. “Oke,” ucap Tristan dengan suara sedikit bergetar. “Kita ketemu di sana.” Bela menutup panggilan dengan gerakan kasar dan menyetir secepat mungkin ke tempat yang dimaksud. Tatapannya berubah tajam. Ia mengutuk dirinya dalam hati karena sempat berpikir bahwa ia dan Tristan mungkin bisa bersama lagi. Karena sejatinya tidak. Tristan telah berubah. Tristan bukan orang yang sama seperti pria yang mencintainya bertahun-tahun lalu. Tristan yang sekarang adalah seorang pria yang terobsesi untuk memiliki anak yang ia kandung. Dan pria itu—menurut yang Bela percayai, akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk menjebloskan ayah Bela ke penjara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN