Bab 16. Dua Orang yang Kucintai

1146 Kata
Bela menggebrak meja di hadapan Tristan, mengembalikan kartu akses apartemen dan kunci mobil hadiah dari Tristan. “Kalau semua yang kamu lakukan ini cuma tipu muslihat supaya aku mau ngasih anakku ke kamu, kamu salah!” ucap Bela tegas. Tristan yang tadinya datang dengan wajah sumringah, kini berubah panik. “Bel, ada apa ini? Kalau ada masalah, kita bisa bicara.” Padahal Tristan yakin hubungannya dengan Bela sudah mulai membaik beberapa hari terakhir. Tapi kenapa sekarang jadi begini lagi? “Ini kita lagi bicara,” sahut Bela ketus. “Aku tahu rencanamu, Tristan. Pertama, kamu gagal mengancamku, karena itu kamu memilih buat deketin aku secara emosional. Bawa-bawa soal masa lalu kita yang belum usai, mulai ngasih-ngasih hadiah supaya aku bergantung sama kamu, lalu kamu jatuhin keluargaku dan … bum! Kamu berlagak jadi pahlawan buat menyelamatkan aku padahal kamu cuma mau memisahkanku dari anakku, iya kan?!” Tristan ternganga kaget, lalu mengusap wajahnya kasar. “Bela, dari mana kamu dapat skenario liar seperti itu?” Bela tertawa sinis. “Kamu pikir aku nggak kenal kamu? Kamu selalu ambisius, sekali pengen sesuatu, kamu pasti berusaha sekuat tenaga buat dapetinnya. Dan sekarang, kamu pengen banget ngerebut anak ini dariku kan?” “Aku nggak pernah berpikir seperti itu, Bel.” Tristan berkata pelan, berusaha tidak mengimbangi api amarah Bela dengan api juga. Hening sesaat. Hanya ada suara nafas Bela yang memburu karena amarah di dadanya yang semakin bergejolak. Dengan hati-hati, Tristan maju selangkah. Saat mendapati Bela tidak mundur atau menghindar, Tristan kembali melangkah maju. Tangannya terulur, menyentuh tangan Bela yang mengepal dengan hati-hati. “Duduk dulu, yuk? Minum dulu,” ucap Tristan pelan, penuh perhatian. Bela tak merespons, seluruh tubuhnya masih tegang. Namun saat Tristan mengarahkannya untuk duduk di kursi, Bela tidak menolak. Itu pertanda bagus. Maka Tristan menyodorkan air mineral yang sudah ia pesan sembari menunggu Bela tadi. “Minum dulu, terus kita bicara.” Tristan masih berusaha berkata pelan agar tidak memicu amarah Bela. Ia juga kaget mengapa dirinya bisa bersikap begini, tapi insting itu rupanya masih tertanam dalam memorinya. Insting untuk bersikap lembut pada Bela. Bela meraih air mineral yang disodorkan Tristan padanya dan meneguknya beberapa tegukan. Barulah ketegangan di bahu Bela tampak sedikit berkurang. Melihat itu, Tristan duduk di hadapan Bela dan bertanya dengan lembut. “Jadi ada apa? Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu dan marah-marah?” “Ayahku.” Bela berkata pelan, tertunduk sembari mencengkram botol air mineral di tangannya. “Ayahku ditangkap polisi atas tuduhan penyelundupan barang impor. Itu ulah kamu kan?” tuduhnya tajam, kini ia telah mendongak. Tristan tampak terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. “Jadi itu alasan kamu tiba-tiba marah begini? Karena kamu pikir aku yang menyebarkan video bukti penyelundupan yang ayahmu lakukan?” Bela mendengus kesal. “Siapa lagi?” “Aku berani bersumpah, Bel, aku nggak melakukannya.” Bela mengernyit, tak percaya. Maka Tristan gegas menambahkan. “Aku memang pernah menjadikan itu sebagai ancaman supaya kamu mau menurutiku, tapi itu sebelum aku menyadari kalau aku nggak bisa kehilangan kamu lagi, Bel. Lagipula, video itu bisa didapatkan siapapun asal punya akses ke kamera CCTV di sekitar pabrik milik ayahmu, nggak cuma aku.” Penjelasan Tristan terdengar masuk akal. Dan itu membuat Bela perlahan-lahan menurunkan kewaspadaannya. “Jadi bukan kamu yang menjebloskan ayahku ke penjara?” tanyanya masih tak percaya. Tristan menggeleng tegas. “Bukan aku, Bela. Aku berani sumpah.” “Kalau bukan kamu … lalu siapa?” Pertanyaan itu menggantung di antara mereka berdua, tidak ada jawaban. Setidaknya, untuk malam ini. *** “Dari mana?” Gunawan menyambut kedatangan Tristan dengan kedua tangan di saku celana, tubuhnya berdiri tegak meski kini sudah lewat pukul sepuluh malam—seharusnya ia sudah beristirahat di kamarnya. “Dari luar bentar, Pa. Papa kok belum tidur?” Tristan bertanya basa-basi. “Ikut Papa sebentar. Kita perlu bicara.” Gunawan berbalik tanpa menunggu reaksi dari putranya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya, gesturnya seolah meminta Tristan untuk mengikutinya. Maka mau tak mau, Tristan melakukannya. Ia menghormati Gunawan bukan hanya sebagai seorang kepala rumah tangga, tapi juga sebagai pimpinan perusahaan keluarga yang sebentar lagi akan berpindah ke tangan Tristan—dengan syarat, jika ia berhasil memiliki keturunan. Sepasang ayah dan anak itu masuk ke ruang kerja Gunawan. Sang kepala keluarga di kursi kerjanya, menangkupkan kedua tangan di atas meja dan menatap Tristan tajam. “Menikahlah dengan Dhea,” ucap Gunawan tanpa basa-basi. Tristan terkejut, tapi tidak bereaksi banyak. Hanya rahangnya yang mengetat dan kedua tangannya yang mengepal di samping tubuh. “Aku sudah bilang, Pa, aku nggak mau menikah sama Dhea. Semua juga sudah tahu apa alasanku.” Tristan berkata tegas, tak mau diatur-atur soal siapa yang harus ia habiskan bersama seumur hidup. Ekspresi Gunawan yang tadinya agak rileks, kini tampak mengeras. Tapi ia menghela nafas pelan lewat hidungnya, bersandar pada kursi dan mengangkat dagu, seolah menantang putranya. “Karena kamu mau menikahi Bela, mantan kamu yang pernah dipenjara itu?” tebak Gunawan telak. Kepalan tangan Tristan semakin mengerat, tapi ia hanya mengangguk. “Dia mengandung anakku, Pa. Aku nggak mungkin hanya memintanya memberikan anak itu padaku tanpa menikahinya.” “Dia akan jadi celah dalam keluarga kita, Tristan.” Gunawan mengungkapkan isi pikirannya tanpa ditutup-tutupi. “Dia akan jadi sasaran empuk untuk orang-orang yang mau menyerang kita.” “Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Pa.” Tristan berkata tegas. “Bagaimana caranya?” Tristan tak punya jawaban konkret. Karena sejujurnya, ia belum pernah memikirkan soal ini. Sejak Bela tiba-tiba pingsan dan perdarahan itu, ia hanya fokus pada satu perasaan yang mendominiasi hatinya yaitu perasaan takut kehilangan. Logikanya seolah buntu sekarang. Gunawan mendengus pelan, tampak kecewa. “Kamu membiarkan perasaan menyetir tindakanmu. Dan itu akan menjadi kehancuranmu, Tristan.” Mungkin ucapan papanya benar, Tristan membiarkan perasaan mendominasi dirinya. Tapi ia yang tahu betapa hancurnya hidupnya saat hubungannya dengan Bela harus kandas karena kebodohannya. Ia yang tahu betapa dirinya hidup tapi tanpa jiwa, seolah jiwanya ikut pergi bersama kepergian Bela dari hidupnya. Perlahan-lahan, hal itu membentuk Tristan menjadi pribadi dingin yang gila kerja. Seolah dengan begitu, ia bisa mengisi kekosongan jiwanya. Namun ternyata ia salah, sesuatu di dalam dirinya justru terasa menggeliat bangkit saat ia nyaris kehilangan Bela lagi. “Kita diciptakan oleh Tuhan bukan hanya dengan akal, Pa.” Tristan mulai bicara. “Tapi juga dengan perasaan untuk mengasihi, menyayangi, dan bersimpati.” Gunawan memicingkan mata. “Apa yang mau kamu coba katakan?” “Untuk kali ini aja, Pa, biarkan aku mengikuti kata hatiku,” ucap Tristan pelan tapi tegas. Gunawan membeku di tempat, tangannya mengepal erat. Ia jelas tak suka dengan jawaban sang putra. “Pernikahanmu akan menentukan nasib perusahaan kita, Tristan!” “Aku tahu, Pa. Dan aku nggak akan pernah berhenti berjuang buat orang-orang yang aku cintai, Pa. Keluarga kita termasuk di dalamnya. Tapi sekarang … aku menambahkan dua orang dalam daftar orang-orang yang aku cintai.” “Dua orang?” Gunawan mengernyit. Tristan mengangguk mantap. “Anakku dan ibunya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN