Bab 17. Izinkan Aku Menikahimu

1231 Kata
Hesti bergabung di ruang kerja Gunawan setelah Tristan mengutarakan niatnya dan Gunawan memanggilnya untuk meminta pendapat. “Aku mau menikahi Bela.” “Kamu serius, Nak?” Hesti bertanya, tampak sedikit kekhawatiran di wajah tuanya. “Mama kan seorang ibu, Mama pasti tahu rasanya gimana beratnya menjalani masa kehamilan. Aku cuma mau memastikan ibu dari anakku nggak menanggung bebannya sendiri.” Tristan menjelaskan. “Kalau cuma untuk memberikan fasilitas supaya masa kehamilannya nggak terbebani, kamu bisa melakukannya tanpa harus menikahinya,” kata Hesti lagi, kali ini jelas ia sedang menguji putranya. Hesti tahu bahwa Tristan hampir tak pernah membicarakan soal pernikahan bertahun-tahun ini. Bahkan setiap kali disuruh menikah, Tristan selalu punya 1001 alasan untuk diutarakan. Dan tiba-tiba, hari ini ia mengatakan mau menikahi seorang wanita. Hesti jelas tidak bisa membiarkan begitu saja. “Lima tahun terakhir kamu selalu menghindar setiap kali kita bicara soal pernikahan ….” Gunawan menimpali, nada bicaranya serius. “Tapi tiba-tiba kamu mau menikah?” Tristan menghela nafas pelan, menyadari kesalahannya selama ini. “Itu karena aku belum menemukan perempuan yang bisa menggerakkan hatiku untuk menikah.” Kedua orang tua Tristan saling pandang, masih ada kekhawatiran dalam raut wajah mereka. “Papa menganggapmu sebagai laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, Tristan.” Gunawan bicara, kali ini bukan hanya sebagai ayah tapi juga sebagai CEO Wijaya Group. “Kamu tahu sendiri Papa nggak pernah membatasi siapa yang boleh anak Papa nikahi. Papa menjodohkanmu dengan Dhea itu karena kamu tidak juga membawa wanita ke hadapan Papa. Tapi sekarang, setelah kamu bilang kalau kamu mau menikahi Bela yang memiliki latar belakang seperti itu, Papa cuma minta satu hal ….” Atmosfer di ruangan itu terasa semakin tegang. Hesti yang duduk di sebelah suaminya tampak meremas jemari. “Apa yang Papa minta?” Tristan mengejar tak sabar. “Sesuai janji Papa yang akan memberikan jabatan CEO padamu jika kamu punya anak, Papa akan menepati janji itu. Tapi, kalau kamu melakukan kesalahan yang mengancam keberlangsungan perusahaan kita, Papa akan cabut semua fasilitasmu sekaligus mencabut jabatanmu dari kursi CEO,” ucap Gunawan tegas, matanya sama sekali tidak lepas dari wajah sang putra. Tristan menegang di tempat. Itu syarat yang sangat berat. Tristan yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan fasilitas lengkap, lalu harus meninggalkan semua fasilitas itu jika pernikahannya dengan Bela membawa petaka, tentu sempat membuat Tristan gentar. “Kamu pikir-pikir lagi aja.” Hesti menyela, suaranya pelan dan lembut, penuh pengertian. “Tapi Mama paham maksud papamu, Bela bukan calon istri dengan latar belakang yang sempurna. Tapi kalau kamu memang mau mengambil resiko itu, kamu harus bertanggung jawab.” *** “Janinnya sudah kelihatan ya, Bu. Detak jantungnya juga bagus, pertumbuhannya sesuai dengan usia.” Ivan—dokter kandungan yang menggantikan Natasha untuk memeriksa kehamilan Bela menjelaskan. Natasha sudah mendekam di penjara dan surat praktiknya terancam dicabut. Namun persidangan terakhir memutuskan bahwa Natasha tak bersalah, karena kesalahan berasal dari pihak laboratorium. Meski begitu, Bela sudah tidak mau lagi memeriksakan kehamilannya pada Natasha. Terlanjur trust issue. Kedua mata Bela berbinar melihat janin mungil yang tertangkap layar USG. Hatinya terasa hangat dan penuh. Begitu banyak cobaan yang ia hadapi sebulan terakhir, hari ini semua terasa sirna begitu saja. “Anak saya sehat kan, Dok? Baik-baik aja kan?” tanyanya dengan suara tercekat. Ivan tersenyum. “Sehat, Bu. Pertumbuhannya juga sangat bagus. Tapi tetap harus kita pantau setiap bulan.” Seorang asisten dokter membantu Bela membersihkan bekas gel USG di perutnya, lalu ia beranjak dari kasur dan duduk di hadapan Ivan. “Berarti saya sudah bebas dari ancaman keguguran ya, Dok?” tanya Bela, tampak sedikit khawatir. Saat Bela pingsan dan perdarahan tempo hari, dokter menetapkan bahwa ia harus minum obat penguat kandungan karena kehamilannya rawan mengalami keguguran. Namun setelah dua minggu berlalu, tidak ada keluhan yang dialami Bela. “Betul sekali. Tapi saran saya, sebaiknya tetap jaga diri. Bukan cuma fisik, tapi juga psikis.” Ivan memberi nasehat. Bela hanya mengangguk, karena sejatinya ia tak bisa menjanjikan tidak akan kelelahan secara fisik apalagi psikis. Proses perceraiannya dengan Davka sudah memasuki tahap akhir. Setelah ini, ia akan sempurna lepas dari pria itu. Namun masalah lainnya adalah Prabu belum juga dibebaskan dari penjara. Pikiran Bela dipenuhi berbagai urusan saat ia berjalan keluar dari ruangan Ivan. Perasaan hangat dan penuh yang tadi ia rasakan saat melihat janinnya tumbuh dengan baik di rahimnya kini digantikan oleh perasaan berat yang terasa menghimpit dadanya. Ia memijit pangkal hidungnya, pening sekali. Meski Tristan mengatakan ia akan mencari tahu siapa yang menyebabkan Prabu ditahan, tapi hingga hari ini tidak ada kabar dari pria itu. Ponsel Bela berdering, sebuah telepon dari kuasa hukum yang ia sewa untuk mengurus perceraiannya. “Halo, ada apa, ya?” “Bu, akta cerainya sudah keluar. Anda bisa mengambilnya langsung di pengadilan atau perlu saya ambilkan?” Jantung Bela mencelos. Akhirnya, hari ini dua kabar bahagia membuat pundaknya terasa lebih ringan. Pertama, soal anak yang ia kandung. Dan kedua, akhirnya ia bisa bebas dari Davka. Namun sebelum ia menjawab, ponsel Bela bergetar pelan—pertanda ada telepon lain yang masuk. Maka ia menjauhkan ponselnya, mengintip siapa yang meneleponnya bersamaan begini. Rupanya … Tristan. “Kalau gitu ….” Bela akhirnya bicara pada pengacaranya. “Tolong ambilkan akta cerainya, saya ada urusan lain.” “Baik, Bu.” *** “Gimana? Kamu sudah tahu siapa yang punya bukti rekaman CCTV itu?” tanya Bela tak sabar begitu ia tiba di restoran tempat pertemuannya dengan Tristan. Pria itu tertawa kecil, menyodorkan piring steak yang isinya sudah dipotong-potong sebesar sekali suapan. “Makan dulu. Udah aku pesenin yang well done. Ibu hamil nggak boleh makan makanan setengah matang atau mentah kan?” Bela terkejut. Ia menunduk, menatap piring di hadapannya. “Oh ….” Hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Tak menyangka Tristan akan memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Dan perhatian kecil itu sedikit menggerakkan hati Bela. Wanita itu berdehem pelan, menyingkirkan rasa panas yang mendadak menjalari pipinya. Memfokuskan diri untuk menyantap steak yang sudah dipotongkan oleh Tristan. “Aku belum menemukan siapa pelakunya.” Tristan bicara setelah hening beberapa saat. Ia juga menyantap makanannya. “Tapi anak buahku juga masih mengusahakan.” “Lalu kenapa kamu mengajakku bertemu?” tanya Bela. Dan saat itulah ia menangkap gestur canggung yang samar dari Tristan. Bela mengernyit, pasalnya ia jarang melihat Tristan canggung begini. “Ada apa?” kejarnya penasaran. Tristan meraih air mineralnya, meneguknya pelan lalu menghela nafas panjang. Pria itu terlihat lebih tenang sekarang. Lantas, sebelum menjawab, ia mengeluarkan sebuah kotak beludur dan menyodorkannya pada Bela. Jantung Bela nyaris berhenti berdetak. Ia bisa menebak apa yang ada di dalam kotak beludru itu. “Tristan?” desahnya tak percaya bercampur bingung. “Aku tahu ini mendadak. Aku bahkan nggak tahu kamu sudah resmi bercerai dari suamimu atau belum. Tapi, Bel ….” Tristan terdiam. Jakunnya bergerak naik turun saat ia menelan ludah gugup. Tatapan matanya terkunci pada wajah Bela yang masih terkejut. “Aku pernah kehilanganmu sekali karena kebodohanku. Dan sekarang, setelah kita dipertemukan lagi dengan cara konyol, aku menganggapnya sebagai takdir.” Hening. Bela hanya bisa menelan ludah dan menunggu Tristan menyelesaikan kalimatnya. “Aku ….” Tristan tercekat, tak biasanya ia kesulitan bicara begini. Tapi keputusannya sudah bulat. “Izinkan aku bertanggung jawab sebagai ayah dari anak yang kamu kandung.” Darah Bela berdesir. Ia tak mau menebak-nebak, maka ia bertanya. “Dengan kata lain?” “Dengan kata lain ….” Tristan menyambung cepat. “Izinkan aku menikahimu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN