Bab 18. Aku Mau Kamu

1206 Kata
Tristan menghela nafas pelan, bergetar. Jantungnya terasa jatuh ke dengkul karena Bela tidak juga merespons hingga bermenit-menit setelah pengakuannya. Keheningan yang menyesakkan d**a telah tercipta di antara mereka, menyusutkan harapan di hati Tristan yang tadi sempat menggembung besar seperti balon udara. “Terlalu mendadak, ya? Atau terlalu konyol?” Tristan tersenyum getir, merutuki dirinya sendiri. “Padahal kamu belum resmi cerai dari Davka, tapi aku sudah—” “Aku sudah cerai. Resmi. Ada aktanya.” Bela memotong cepat. Saat kalimat itu merasuk ke otak Tristan, pria itu membelalak terkejut. Tak bisa menahan sudut bibirnya untuk tidak melengkung ke atas membentuk senyum. “Serius? Jadi … jadi aku masih punya—” “Aku pikirkan dulu,” tandas Bela kemudian—yang langsung membuat Tristan mengatupkan bibir. Bela kembali menyantap makanannya, sama sekali tak mau menatap Tristan. Dan Tristan menganggap itu sebagai keputusan final dari Bela. Ia tak mau bertanya berapa lama ia harus menunggu, juga tak mau memberikan tenggat waktu. Biarlah Bela mengambil sebanyak apapun waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan dirinya. Karena Tristan tahu, luka yang pernah ia tinggalkan di hati Bela—meski itu semua karena kesalahpahaman, tetaplah meninggalkan bekas. Tak ada obrolan lain di antara mereka soal ‘lamaran’ mendadak dari Tristan. Obrolan berpindah ke topik lain yang lebih ringan, seperti soal bagaimana Bela bisa bekerjasama dengan Alya, atau sekedar bertanya bagaimana kehidupan mereka selama ini—selama mereka berpisah. “Nanti aku kabari lagi kalau sudah ada informasi soal siapa pelakunya.” Tristan berkata sembari mengantar Bela ke depan restoran. Bela hanya mengangguk dan menggumamkan terima kasih. Sama sekali tak ada pembahasan soal lamaran tadi. Sampai akhirnya, saat Tristan mengantar Bela ke halaman depan restoran, pria itu tak tahan lagi. “Bel …,” panggilnya pelan. “Hm?” Bela berbalik, mengangkat kedua alisnya. Tristan memangkas jarak selangkah, menyodorkan kotak beludru berisi cincin yang ia pesan dari Ethan secara mendadak. “Simpan ini. Pakai kalau kamu sudah siap menjawab, atau kembalikan kalau kamu sudah siap menolak.” Nafas Bela tertahan saat Tristan mengambil tangannya, meletakkan kotak cincin di telapak tangannya. Tatapan mereka bertemu. Dan untuk beberapa saat, tak ada yang berbicara. Seolah kesunyian sudah cukup untuk menyampaikan perasaan mereka masing-masing. Tristan memangkas jarak setengah langkah, kini wajah mereka amat dekat. Bela bisa merasakan tangannya menyentuh d**a Tristan—membuat nafasnya tercekat di kerongkongan. “Aku nggak akan melepaskanmu, Bel.” Tristan berbisik, satu tangannya membelai rambut Bela. Ujung jemarinya bergesekan dengan kulit pipi Bela yang halus. “Sudah cukup aku menikam jantungku setiap kali aku merindukanmu, aku nggak sanggup lagi.” Bela bisa mendengar suara jantungnya bertalu-talu di rongga dadanya. Bukan hanya karena kalimat Tristan yang lembut, tapi juga karena kedekatan mereka yang cukup intim sekarang. Namun, entah setan mana yang membisikkan pada Bela hingga kejadian beberapa waktu lalu berkelebat di saat yang tidak tepat begini. Wanita itu mendengus pelan, memalingkan wajah. “Apa karena kamu menginginkan anak ini? Apa nanti setelah anak ini lahir kamu akan menceraikanku dan menuntut hak asuh anak ini?” tuduhnya dingin. “Apa?” Tristan terkejut, mundur selangkah. Bela menatap Tristan tajam. “Kamu nggak bisa membodohiku, Tristan. Aku tahu tujuanmu yang sebenarnya. Kamu cuma mau anak ini untuk mengamankan posisimu sebagai CEO kan? Aku ingat dulu papamu pernah membicarakan soal itu. Aku—” Tawa getir Tristan memotong kalimat Bela. Pria itu terkekeh, menutupi rasa sakit dari kalimat Bela yang menyayat hatinya. “Begitu?” tanyanya kemudian, masih menyeringai. Tapi tatapan matanya jelas menyiratkan rasa sakit di hatinya. “Kamu akan melakukan apapun demi tujuanmu tercapai kan? Aku tahu betapa ambisiusnya kamu, Tristan.” “Bagus kalau gitu,” sahut Tristan dingin. “Karena kamu sudah tahu, gimana kalau kita buat perjanjian aja.” Bela mengernyit. “Perjanjian apa?” “Kalau aku berhasil menemukan siapa pelakunya dan membebaskan ayahmu dari penjara, kamu harus menikah denganku.” Kernyitan di antara kedua alis Bela semakin dalam, jelas ia tak terima. “Tapi—” “Nggak ada ‘tapi’,” sergah Tristan. “Kamu sendiri yang bilang kalau aku akan melakukan apapun demi mendapatkan yang aku mau. Dan sekarang, aku mau kamu.” Bibir Bela terbuka, tapi tak ada satu pun kata yang terucap. Lidahnya kelu, tapi jantungnya semakin bertalu. “Sepakat?” lanjut Tristan sembari mengulurkan tangan, seringai tipis masih menghiasi bibirnya. Bela menatap Tristan tak percaya. “Kamu kira aku trofi yang bisa dimenangkan atau apa sih?” Tristan mengedikkan bahu tak peduli. “Sepakat atau enggak?” “Kalau enggak?” tantang Bela. Seringai Tristan melebar. “Kamu tahu aku nggak akan menyerah. Sekarang, pikirkan secara rasional aja, aku menyelesaikan masalahmu dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Win-win buat kita kan?” Bela tak memungkiri bahwa ucapan Tristan benar adanya. Tapi menikah dengan Tristan? Ia sama sekali tidak memikirkannya—setidaknya setelah semua huru-hara ini terjadi. Namun, Bela juga tak bisa mengelak bahwa dirinya menyukai sisi Tristan yang ini—penuh kejutan dan tantangan. “Aku mau menambahkan syarat,” ucap Bela kemudian. Sebelah alis Tristan terangkat. “Boleh. Apa syaratmu?” “Kalau aku yang lebih dulu berhasil membebaskan ayahku dari penjara, kesepakatan batal.” Tristan tertawa kecil, terdengar sombong dan sedikit mengejek. “Oke,” katanya tanpa pikir panjang. Maka mau tak mau, Bela pun mengulurkan tangan, menjabat tangan Tristan. “Kalau gitu, kita punya kesepakatan sekarang.” “Bagus.” Tristan tersenyum puas. “Kamu nggak boleh mengubah keputusanmu lagi. Dan ingat, seperti yang kamu bilang, aku ambisius, Bel.” *** Bela pikir, setidaknya butuh waktu satu bulan bagi Tristan untuk menemukan siapa dalang di balik penangkapan Prabu. Dan dalam kurun waktu satu bulan itu, Bela akan berusaha keras bersama pengacara ayahnya untuk membebaskan Prabu dari penjara. Tapi ini baru satu minggu setelah kesepakatan konyol mereka di depan restoran malam itu. Dan Tristan sudah menghubungi Bela. Dengan jantung berdegup kencang, Bela mengangkat telepon sembari berdoa Tristan belum mendapatkan jawaban—atau justru ia berdoa Tristan sudah mendapat jawaban? Entahlah. “Halo?” sapa Bela sembari berdiri dari kursi, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya—kebiasaan Bela saat dirinya gelisah. “Apa kabar?” sapa Tristan santai. “Aku harap kamu sudah siap menjadi istriku.” Bela berdecih, tapi sudut bibirnya terangkat. “Jangan basa-basi, kenapa kamu telepon?” Kalimatnya terucap sedikit tajam. “Aku sudah tahu siapa yang melaporkan kecurangan yang dilakukan ayahmu.” Suara Tristan berubah serius. “Dan sebentar lagi, pengacara ayahmu pasti akan mengabari kalau ayahmu akan dibebaskan dari penajara.” “Apa?” desah Bela tak percaya. Secepat ini? Tristan terkekeh di ujung telepon. “Aku sudah bilang, Bel, aku pasti akan mendapatkan apa yang aku mau. Jadi, mulai pilih tema pernikahan yang kamu mau, oke?” Tanpa menunggu jawaban dari Bela, Tristan kembali melanjutkan. “Udah dulu, ya? Aku lagi rapat.” Dan sambungan telepon terputus. Meninggalkan Bela ternganga tak percaya di ruangannya. “Ini serius dia udah berhasil menyelesaikan dua syarat itu?” gumamnya sembari menatap layar ponselnya yang sudah padam. Sementara itu di ruang kerja Tristan, pria itu tersenyum senang sembari memimpin rapat. Hatinya sedang berbunga karena ia berhasil mendapatkan apa yang ia mau—menikah dengan Bela. Yah, meski ia harus kehilangan lima miliar rupiah untuk ‘menebus’ ayah Bela dari penjara. Toh, Bela tidak mengatakan harus menggunakan cara bersih kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN