Bab 19. Bunga untuk Calon Istri

1134 Kata
Bela meremas jemari dengan gelisah, menunggu ayahnya keluar dari gerbang penjara. Dan ketika ia melihat ayahnya muncul dari balik gerbang besi setinggi tiga meter itu, ia langsung berlari berhambur memeluk ayahnya. “Ayah!” serunya lega dan bahagia. Prabu tersenyum tipis, balas memeluk putrinya. “Kamu sendirian?” tanyanya saat mereka melepas pelukan. “Iya. Ayo pulang, Yah. Ibu sudah nunggu di rumah,” ajak Bela tak sabar. Prabu mengangguk dan mengekor di belakang ayahnya, menuju taksi yang tadi membawa Bela ke sini. Ayah dan anak itu duduk bersebelahan di kursi penumpang. Awalnya, tidak ada yang mulai bicara. Sampai akhirnya, Prabu yang lebih dulu buka suara. “Ayah minta maaf,” lirihnya, nyaris tak terdengar. Bela sontak menoleh, terkejut. “Apa, Yah?” Prabu menarik nafas panjang, wajahnya yang tirus setelah mendekam di balik jeruji besi tak lebih dari sebulan tampak semakin pucat. Ia melirik putrinya sekilas, lalu membuang muka seolah apa yang ia ucapkan adalah hal yang memalukan. “Ayah minta maaf.” Seumur hidup Bela, Prabu tak pernah minta maaf. Ia bahkan tak pendengar Prabu meminta maaf pada Wulan setelah mereka bertengkar kecil atau hebat seperti saat bisnis Prabu mengalami kebangkrutan. Jadi permintaan Prabu barusan jelas membuat Bela terhenyak kaget. Meski begitu, Bela bisa merasakan perasaan hangat menjalari dadanya. Dengan perlahan, sebuah senyum terbentuk di bibirnya. Tamparan keras tempo hari, hardikan kasar yang sering ia terima, hingga tuntutan-tuntutan tak masuk akal padanya terlupakan hanya dengan satu kalimat permohonan maaf itu. Bela mengambil tangan ayahnya, menggenggamnya lembut. “Ayah pasti nggak enak makan selama di penjara ya sampe kurus begini?” Prabu spontan menoleh, terkejut karena putrinya tidak bertanya mengapa ia meminta maaf. Mungkin, mungkin saja, Bela tahu bahwa meminta maaf bagi Prabu membutuhkan usaha yang sangat besar. Hingga ia memilih untuk tidak mengorek lebih dalam yang justru akan membuat Prabu semakin malu dan kehilangan harga diri. Mata Prabu memanas, baru menyadari bahwa selama ini ia telah menyia-nyiakan putri semata wayangnya. Kesadaran itu ia dapatkan selama di penjara, betapa kerdilnya ia di sana tanpa keluarga yang tulus mencintainya. “Kalian pasti kesusahan karena Ayah dipenjara, ya? Ibumu mungkin jadi sakit gara-gara Ayah, karena itu ibumu nggak ikut jemput Ayah sekarang.” Prabu tertunduk, penuh penyesalan. “Ayah, udah jangan ngomong gitu. Sekarang yang penting Ayah sudah bebas dan sudah bisa pulang ke rumah.” Bela membelai punggung tangan ayahnya lembut. Prabu hanya mengangguk sembari mengusap wajah dan mengalihkan tatapannya ke luar jendela, enggan terlihat rapuh oleh putrinya. Setelah berpuluh menit berkendara, mereka akhirnya tiba di rumah. Wulan menyambut dengan air mata haru. Memeluk dan mencium pipi suaminya penuh rindu. “Masuk dulu, kita makan siang bareng dulu,” kata Wulan riang. Kentara sekali ia amat bahagia dengan kepulangan sang suami. Rasanya sudah lama sekali keluarga kecil itu tidak berkumpul untuk makan bersama seperti ini. Atmosfer hangat tercipta, berbaur dengan aroma masakan rumahan yang membuat asam lambung Bela bergejolak. Awalnya, tak ada yang membahas soal bagaimana Prabu bisa bebas dari penjara. Namun pada akhirnya, Prabu sendiri yang membuka topik itu. “Ayah nggak tahu kenapa bisa dibebaskan,” ucap Prabu tiba-tiba. Semua orang menoleh, terkejut tapi tetap diam. “Soalnya bukti sudah lengkap dan pengacara Ayah masih kesulitan mencari bukti bantahan. Tapi tiba-tiba, Ayah dinyatakan bebas bersyarat. Lalu ….” Tatapan Prabu beralih pada Bela. “Ayah sempat melihat Tristan berbicara dengan salah satu petugas polisi.” “Tristan?” Wulan mengernyit. “Tristan mantan Bela itu? Tristan yang—” “Tristan yang sekarang menjadi ayah dari anak yang dikandung Bela,” sambung Prabu cepat. Semua mata kini tertuju pada Bela, membuat Bela mendadak terasa seperti tercekik. “Ayah nggak yakin,” lanjut Prabu. “Tapi sepertinya Ayah berhutang budi sama dia.” Mendapati Prabu tidak juga berhenti menatapnya, Bela mulai mengerti apa yang terjadi. Ia menghela nafas pelan, meletakkan sendoknya. “Ayah mau gimana?” tanyanya pasrah. Prabu tampak sumringah, menegakkan punggungnya. “Menikahlah dengan Tristan, Bel. Kamu kan juga sudah cerai resmi dari Davka. Jadilah istri yang berbakti untuknya. Toh, kamu juga sedang mengandung anaknya.” Kenapa harus menikah? Pertanyaan bernada protes itu nyaris terlontar dari bibir Bela, jika saja ia tak melihat gelimang penuh harap di mata kedua orang tuanya. Bela mengernyit, lantas ia menyadari sesuatu. Menikah dengan Tristan akan menjamin hidup mereka sejahtera karena Tristan adalah kandidat kuat menggantikan ayahnya menjadi CEO Wijaya Group. Bela tersenyum getir. Ternyata, tidak ada perubahan yang instan. *** “Kamu bakal nikah sama Tristan kan?” Wulan mengejar Bela yang berpamitan hendak kembali ke butik. Wajahnya tampak berbinar senang. Secara aset kekayaan, keluarga Tristan memang lebih kaya dari keluarga Davka. Tentu saja orang tua Bela tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. “Kalau dia nggak mau nikah sama aku?” balas Bela sedikit ketus, tak suka dengan ketamakan orang tuanya. Wulan tersenyum penuh arti sambil menunjuk tas Bela. “Tadi … Ibu lihat ada kotak cincin di tas kamu. Tristan sudah melamar kamu kan?” Bela mengernyit dan menatap ibunya tajam. “Ibu kok ngintip-ngintip tasku sih? Meski aku anak Ibu, tapi kayak gitu nggak sopan, Bu.” Wulan melengos. “Nggak sengaja, Bel. Kamu kan tadi naruh tas kamu di sofa ruang tamu, jadi Ibu pindah ke dalam. Eh, nggak sengaja kelihatan ada kotak cincin.” Ia kembali tersenyum sumringah. “Jadi bener ya? Udah dilamar sama Tristan?” “Nggak tahu!” sahut Bela ketus sembari menyalami tangan ibunya. “Aku pergi dulu, jaga kesehatan, Bu.” Wulan menghela nafas pasrah, mengusap kepala putrinya sekali dan melepas kepergiannya. Dalam perjalanan kembali ke butik, Bela tak memungkiri perasaan gundah yang memenuhi dadanya. Haruskah ia menerima lamaran Tristan seperti yang diharapkan kedua orang tuanya? Pertanyaan itu tidak juga menemukan jawaban hingga Bela tiba di butik. Ia menghela nafas lelah dan panjang begitu turun dari mobil, menyapa karyawannya yang sedang sibuk melayani klien, lalu bergegas naik ke atas. Begitu membuka pintu ruang kerjanya, Bela nyaris terkena serangan jantung saat melihat pemandangan di dalam sana. Tristan berdiri dengan senyum terkembang lebar sambil membawa buket bunga mawar merah yang nyaris menutupi dadanya yang bidang. “Tristan?” desah Bela dengan jantung mencelos. “Ya ampun, hampir aja aku kena serangan jantung!” Tristan hanya terkekeh dan menghampiri Bela, memberikan buket bunga mawar itu. “Apa ini?” tanya Bela curiga. “Bunga untuk calon istriku.” Tristan menjawab dengan nada menggoda yang samar, namun sukses membuat pipi dan telinga Bela memerah. “Aku kan belum nerima lamaran kamu,” elak Bela lemah. “Oh iya?” Tristan mengangkat sebelah alisnya. “Tapi seingatku kita sepakat kalau aku berhasil membebaskan ayahmu, kamu bakal jadi istriku.” “Eits!” Bela tersenyum jumawa, mengacungkan jari telunjuknya. “Jangan lupa satu syarat lainnya. Kamu harus sudah menemukan siapa dalang di balik penangkapan ayahku.” “Oh, iya juga.” Senyum Bela mengembang semakin lebar. “Jadi … siapa pelakunya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN