Bab 20. Aku Tak Sanggup

1123 Kata
“Dhea.” Tristan menjawab setelah keduanya duduk bersebelahan di sofa ruang kerja Bela. Buket bunga mawar merah itu juga duduk bersandar di sofa di sebelah Bela. Dan kini, untuk sementara, buket bunga mawar merah yang indah itu terlupakan. Karena satu kata yang meluncur dari bibir Tristan sukses membuat Bela membeku. “Dhea? Dhea tunangan kamu itu?” “Mantan.” Tristan mengoreksi. “Yah, maksudnya itu.” Bela memperbaiki duduknya, wajahnya serius. “Tapi dari mana kamu tahu kalau itu dia?” Tristan juga terlihat memasang ekspresi serius. Ia mencondongkan tubuh, menatap Bela lekat. “Awalnya aku kira ada orang yang punya akses ke rekaman CCTV ruang publik sepertiku. Tapi ternyata, setelah aku coba melihat dari sudut pandang lain, aku mencoba menggeledah hp-ku.” Bela mengernyit. “Jangan bilang Dhea menyadap hp kamu?” Tristan mengangguk. “Setelah aku menggeledah hp-ku, aku menemukan satu aplikasi mencurigakan. Dan setelah diperiksa, ternyata itu aplikasi untuk menyadap semua yang aku lakukan dengan hp-ku. Termasuk melihat isi pesanku padamu, Bel.” Nafas Bela tertahan seketika. Benar-benar tak menyangka akan ada kejadian mirip di film-film begini. “Tapi kok bisa kamu nggak tahu? Bukannya kamu jago soal apa sih … IT kan?” Bela bertanya penasaran. Tristan menghela nafas, menyandarkan punggungnya ke sofa dan menerawang. “Karena aku pikir dia perempuan yang polos dan manja. Aku sama sekali nggak pernah menyangka dia bakal menyadap hp-ku begini. Aku bahkan nggak tahu kapan dia melakukannya. Tapi yang pasti, dia salah satu orang yang punya akses ke hp-ku selain orang tuaku sama Alya.” Hening menyelimuti keduanya. Bukan hening yang hangat, melainkan sunyi yang mencekam. Kasus ini jadi serius karena Dhea bertindak bukan hanya menggunakan akal tapi juga menggunakan perasaan. “Lalu … apa yang mau kamu lakukan?” Akhirnya Bela lebih dulu memecah hening. Tristan menghela nafas panjang, beralih menatap Bela lekat. “Menikahlah denganku, Bel,” ucapnya pelan dan serius. “Dengan begitu, aku bisa melindungimu dan anak kita.” Nafas Bela tercekat di kerongkongan. Bukan hanya karena kalimat serius Tristan, tapi juga karena tatapan lembut yang tulus dan memohon itu. Juga karena implikasi dari kalimat Tristan yang begitu ingin menjaganya dan anak yang ia kandung. Bela menghela nafas pelan dan bergetar setelah beberapa detik hening. Ia memalingkan wajah, telinga dan pipinya memanas. Jantungnya sudah bertalu-talu di rongga dadanya, berdenging di telinganya. Ia tak bisa berpikir, tidak dengan kondisi hatinya yang meronta-ronta ingin segera mengiyakan ucapan Tristan. Karena jauh di alam bawah sadarnya, Bela masih takut dikhianati lagi. Seolah bisa membaca Bela seperti membaca buku, Tristan mengulurkan tangan dan menyentuh tangan Bela lembut. Amat lembut dan hati-hati, berusaha menyalurkan ketenangan dan keyakinan. “Aku tahu aku nggak sempurna dan punya banyak salah sama kamu. Aku juga tahu kehidupan rumah tanggamu sebelumnya nggak seindah bayanganmu. Tapi, Bel, aku sudah belajar dari kesalahan. Aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahan itu lagi.” Bela hanya menatap Tristan, tanpa bicara sepatah kata pun. Ia sudah gagal dalam pernikahan satu kali, gagal dalam hubungannya dengan Tristan pun satu kali. Rasanya, ia tak sanggup lagi menahan rasa sakit jika harus gagal lagi. “Aku ….” Bela mulai bicara, meski tercekat dan bergetar. “Aku takut, Tristan,” lirihnya kemudian. Dan itu sudah cukup untuk menggerakkan hati Tristan, berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menyakiti wanita ini. “Aku tahu.” Tristan membawa tangan Bela mendekat ke wajahnya, menempelkan bibirnya dengan lembut. “Aku juga takut aku bakal nyakitin kamu lagi. Tapi aku lebih takut buat kehilangan kamu lagi.” Bela tertunduk. Kalimat Tristan menusuk jantungnya telak, menyebabkan rasa sakit yang menyenangkan di dadanya. Tapi … keraguan itu masih tidak mau pergi dari hati Bela. Seolah melihat keraguan itu, Tristan kembali melanjutkan. “Aku nggak pernah mau menikah setelah putus dari kamu, Bel. Semua orang tahu itu, kamu bisa tanya Alya. Tapi setelah bertemu lagi denganmu, setelah melihatmu mengandung anakku, setelah menemani kamu yang sakit dan perdarahan di rumah sakit waktu itu, aku sadar kalau aku nggak akan bisa menahan kehilangan kamu lagi.” Bela masih diam, masih mengunci tatapannya pada Tristan. Tapi ia bisa mendengar tembok tebal yang ia bangun untuk melindungi dirinya perlahan runtuh. “Aku juga.” Bela mendesah pelan, bibirnya bergetar. “Aku juga nggak akan sanggup kalau harus kamu sakiti lagi.” Tristan menarik Bela ke dalam pelukan, mendekapnya erat, mencium puncak kepalanya. “Menikahlah denganku dan kita sembuhkan luka kita sama-sama,” lirihnya tulus dan penuh harap. *** Bela tidak memberikan jawaban pada Tristan hari itu juga. Ia meminta waktu, tapi tak memberi kejelasan sampai kapan. Dan yang amat mengejutkan adalah Tristan sama sekali tidak mendesak Bela untuk segera memberi jawaban. Maka ia memanfaatkan kesempatan ini untuk fokus pada pekerjaannya, yaitu menyiapkan gaun pengantin untuk Amanda—kakak kandung Dhea. “Kak, kita ketemu di Hotel Royal jam enam pagi, ya? Timku sudah stand by di sana dari jam lima. Karena Kak Bela cuma ngurus gaun dan tuksedo, datang jam enam nggak apa-apa.” Suara Alya terdengar di ujung telepon. Bela menjepit ponselnya di antara telinga dan bahunya, sementara tangannya sibuk menutup bagasi taksi online yang ia pesan. Sejak ia mengembalikan kunci mobil pada Tristan, ia menolak menyetir sendiri karena memikirkan kehamilannya. “Oke, oke. Tapi ini aku udah mau berangkat kok. Ada lagi nggak yang dibutuhkan?” “Nggak ada sih. Oh iya, bawa gaun cadangan, Kak. Kita nggak tahu apa yang terjadi nanti.” Bela mengangguk-angguk setuju. “Oke.” Setelah menutup sambungan telepon, ia menyuruh Astrid mengambil gaun kedua yang pernah jadi pilihan Amanda dan membawanya ke venue. Pukul 05.45 pagi, akhirnya Bela dan Astrid tiba di Hotel Royal. Mereka langsung menuju kamar 5013—kamar Amanda. Dan benar saja, setibanya di sana bukan hanya ada Amanda, melainkan ada tim MUA milik Alya dan keluarga Amanda—ibunya dan Dhea. Bela menarik nafas dalam, tersenyum menyapa Amanda dan keluarganya, mengabaikan keberadaan Dhea yang sudah menatapnya tajam. Kejadian menyebalkan di teras rumah Dhea waktu itu kembali ke ingatan Bela. Tapi ia menolak untuk dipengaruhi oleh ingatan itu. Bela bekerja secara profesional seperti biasa. Membantu Amanda mengenakan gaunnya dengan hati-hati karena gaun itu full payet. Untungnya, tidak seperti Dhea, Amanda tampak lebih kooperatif dan rendah hati. Ia tak banyak protes dan menurut setiap kali Bela memberi arahan. “Nah, sekarang tinggal veil dan headpiece-nya.” Bela tersenyum puas melihat tatanan rambut Amanda yang sesuai dengan yang ia mau. Bela berbalik, mengeluarkan veil dan headpiece berbentuk seperti mahkota yang sudah ia siapkan di dalam koper. Dan tepat ketika ia berbalik untuk memasangkan dua benda itu di kepala Amanda, bencana itu terjadi. Bruk! Dhea yang sedang membawa dua gelas kopi terjatuh. Kopi di dalam gelas itu tumpah dan tebak ke mana tumpahnya? Benar, membasahi hampir seluruh bagian samping dari rok lebar gaun pengantin yang dikenakan Amanda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN