“Nggak apa-apa pakai gaun ini aja.” Amanda berkata dengan senyum tipis, lalu menoleh pada Dhea yang memasang tampang bersalah. “Kamu juga lain kali hati-hati, ya? Untung aja Bela bawa gaun cadangan. Kalau enggak kan bisa repot.”
Dhea mengetatkan rahangnya, kesal karena malah dia yang dimarahi. Tapi ia tak menyahut, karena dilihat dari sudut mana pun, sikapnya memang terlihat teledor. Padahal ia hanya ingin melihat Bela kalang kabut karena gaun pengantin Amanda hancur di hari pernikahannya.
Siapa sangka Bela ternyata membawa gaun cadangan yang juga disukai Amanda.
Waktu berjalan cepat karena kesibukan tiada henti. Bela dan Alya berhasil ‘mengirim’ Amanda ke pelaminan tanpa kendala berarti selain gaun yang kotor dan basah itu. Tim MUA milik Alya juga sudah selalu stand by untuk melakukan touch up karena acara berlangsung hingga malam nanti.
Matahari sudah berada di atas kepala saat Amanda kembali ke kamar hotelnya untuk beristirahat sejenak sebelum lanjut acara resepsi sore nanti.
“Nanti saya akan kembali lagi satu jam sebelum acara resepsi,” ucap Bela pada Amanda sembari membereskan gaun yang dikenakan Amanda pagi ini.
“Oke. Bawa gaun cadangan lagi, ya? Adikku memang agak teledor. Bawa yang warna toska waktu itu aja.” Amanda merujuk pada gaun yang pernah ia coba sebelumnya.
Bela hanya mengangguk dan tersenyum. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Dhea dan Amanda memiliki sifat yang amat berbeda begini. Namun, tentu saja ia tidak mengutarakannya dan memilih untuk berpamitan pergi.
Tepat setelah Bela keluar dari kamar hotel Amanda, ia melihat Dhea berjalan ke arahnya. Mungkin ia akan masuk ke kamar kakaknya. Dan kejadian pagi tadi kembali berkelebat di benak Bela, membuat rasa kesal itu kembali ke dadanya.
Tanpa banyak pertimbangan, Bela menghampiri Dhea. “Lain kali, pikir dua kali sebelum kamu merusak pernikahan kakakmu,” sindirnya dengan seringai tipis.
Dan konfrontasi Bela berhasil. Dhea menegang, tersinggung. “Oh, lain kali aku bakal memberimu pelajaran berharga karena sudah menghancurkan pertunanganku dengan Tristan.”
Bela mendengus, geleng-geleng kepala. “Jadi ini karena laki-laki? Kamu nggak punya harga diri atau gimana sih sampe harus berbuat jahat dan merusak pernikahan kakakmu hanya karena laki-laki?”
Dhea jelas semakin tersinggung. Ia ingin menjambak rambut Bela, menampar wajahnya, tapi ia tak mau mengotori tangannya yang berharga dengan menyentuh orang rendahan seperti Bela.
Maka ia tertawa sinis, mencemooh. “Sombong sekali,” ejeknya. “Kamu pikir Tristan akan memilihmu? Dia pasti akan kembali padaku.”
“Begitu?” Bela mengangkat sebelah alisnya, lalu merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan kotak cincin dari Tristan yang belum ia buka sejak mendapatkannya.
Lantas, tepat di hadapan Dhea, ia mengenakannya dan memamerkannya.
“Ngomong lagi sama cincin ini,” tantang Bela dengan senyum penuh kemenangan.
Seluruh tubuh Dhea menegang, tatapannya membara oleh amarah. “Nggak mungkin,” gumamnya, lantas tertawa mengejek. “Jangan halu! Ini pasti cincin yang kamu beli sendiri kan? Ngaku!”
“Wah, kalau aku punya uang sebanyak ini buat beli cincin berlian, nggak mungkin aku kerja keras. Tapi kenyataannya, ini cincin dari Tristan tuh bukan aku beli sendiri,” sahut Bela santai, sambil mengagumi cincin di jari manisnya dengan gaya yang dramatis.
Tiba-tiba, tanpa sempat Bela antisipasi, Dhea mencengkram tangannya dan memaksa hendak melepaskan cincin itu dari jari Bela.
“Lepaskan! Ini cincin harusnya buatku!” Dhea berseru marah, sambil berusaha menarik lepas cincin berlian itu.
“Lepasin tanganku!” Bela balas berseru, menarik tangannya.
Tapi Dhea yang tersulut amarah jauh lebih kuat, mencengkram tangan Bela yang kini mengepal agar cincin di jari manisnya tak dapat dilepas.
“Ah, sakit! Sakit!” Bela berteriak kesakitan karena kuku-kuku tajam Dhea menancap di kulitnya.
“Lepas cincinnya! Kamu nggak berhak pakai cincin sebagus ini!” Dhea masih berusaha, tapi Bela jelas keras kepala.
Sampai akhirnya, sebuah suara menghentikan pertikaian mereka.
“Bela? Dhea? Kalian ngapain?!”
Dua wanita itu membeku, menoleh ke sumber suara dan mendapati Tristan sudah mendekati mereka bersama Alya.
“Tristan?” Keduanya balas berseru kaget.
Bela melepaskan diri lebih dulu, memanfaatkan kesempatan saat Dhea tampak terlalu terkejut dengan kehadiran Tristan yang sama sekali tidak diduga.
Dan apa yang dilakukan Tristan kemudian membuat Dhea semakin meradang. Karena Tristan hanya meliriknya sekilas, lalu menghampiri Bela.
“Kamu nggak apa-apa? Kayaknya tadi teriak-teriak kesakitan.”
Entah setan dari mana yang berbisik, Bela justru memanfaatkan momen itu untuk semakin memanas-manasi Dhea. Ia mengangkat tangannya yang kini tampak memerah karena kuku Dhea.
“Sakit sih. Coba lihat, sampe merah gini,” katanya pura-pura manja.
Tristan memperhatikan tangan Bela yang banyak luka merah di sana, ekspresinya terlihat sangat khawatir. Sampai akhirnya ia melihat cincin berlian itu melingkar di jari manis Bela.
“Kamu ….” Suara Tristan tercekat di kerongkongan, lantas kepalanya perlahan menoleh pada Bela. “Kamu pakai cincin ini? Kamu nerima lamaranku?” Ada binar kebahagiaan yang spontan terpancar dari kedua matanya.
Sudut mata Bela menangkap kemarahan dan keterkejutan di wajah Dhea. Dan ia menyeringai puas dalam hati. Karena dengan begini, Tristan yang mengonfirmasi bahwa cincin itu adalah simbol bahwa Tristan melamarnya.
Maka dengan dramatis, perlahan, dan amat disengaja, Bela mengangguk mantap sambil tersenyum lebar. “Iya. Aku menerima lamaranmu.”
***
Hancur, runtuh, berserakan. Kira-kira begitulah kondisi hati Dhea sekarang. Ia masih ingat betapa bahagianya Tristan saat Bela mengatakan bahwa ia menerima lamarannya. Ia masih ingat binar kebahagiaan yang begitu tulus terpancar dari kedua mata Tristan yang biasanya dingin dan tajam.
Dhea juga masih ingat bagaimana selama satu tahun bertunangan dengan Tristan, tak pernah sekali pun pria itu mengucapkan niat untuk menikahinya. Dan semua harapan Dhea yang ia kubur dalam-dalam, justru dimiliki oleh Bela.
“Siapa dia sebenarnya?” gumam Dhea sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat, rahangnya mengetat bersama api cemburu di dadanya yang semakin berkobar. “Siapa Bela sebenarnya? Kenapa dia bisa merebut seluruh perhatian Tristan begitu?”
Dhea tidak pernah kalah dalam hidupnya. Ia tak pernah tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Gadis itu beranjak dari kursinya, menghampiri kakaknya yang sedang rebahan memejamkan mata—berusaha beristirahat sebelum acara resepsi nanti.
“Kak, Kak Manda,” panggil Dhea sembari duduk di tepi kasur.
“Hm?” Kakaknya hanya menjawab pendek, tanpa membuka matanya sama sekali.
“Aku minta nomor desainer gaun yang tadi dong, mau minta maaf karena aku udah ngotorin gaunnya.”
Amanda beringsut kecil, masih memejamkan mata. “Cari sendiri di hp Kakak. Namanya Bela.”
Dhea tersenyum senang, mengambil ponsel kakaknya dan mencari kontak bernama Bela. Ada sekitar tiga nama Bela yang tersimpan di sana.
“Yang mana nih, Kak?”
“Cek nama bisnisnya. Nama butiknya La Belle Attire.” Amanda menjawab sambil beringsut tidur menyamping.
“Oke.”
Senyum Dhea berubah menjadi seringai licik. Dalam waktu kurang dari lima menit, ia sudah mendapat dua informasi tentang Bela.
Mengapa informasi? Karena di dunia digital—dunia yang digeluti oleh Dhea, data pribadi adalah hal yang krusial untuk setiap individu. Termasuk untuk menghancurkan hidup seseorang.