Bab 22. Ngebet Nikah

1140 Kata
“Kamu nggak bisa menarik kata-katamu lagi,” ucap Tristan sembari menyetir kembali ke butik. Ia melirik Bela dan tersenyum tipis. Sementara Bela—yang baru saja menyadari betapa impulsifnya dirinya, hanya bisa membuang pandang ke luar jendela mobil. Berharap bisa menyembunyikan rona wajahnya yang memerah. Tristan terkekeh kecil melihat tingkah Bela. “Kenapa? Menyesal?” godanya. “Diem, Tris,” protes Bela lemah. Tawa renyah Tristan kembali mengudara. “Jadi kita nikah pake tema apa nih?” Bela menghela nafas pelan, semakin merasa malu. “Bisa nggak jangan dibahas sekarang?” “Nggak bisa,” jawab Tristan tegas, tak menyediakan ruang untuk protes dan bantahan. “Kita harus segera menikah sebelum perutmu membesar.” Bela terhenyak, spontan menoleh pada Tristan. Lantas ia menunduk, menatap perutnya yang masih rata. Hampir tiga bulan, itulah usia kehamilannya sekarang. Memang terasa seperti tidak hamil bagi Bela. Karena sejujurnya ia tidak merasakan mual-muntah atau gejala orang hamil lainnya. Namun, ucapan Tristan benar adanya. Dengan latar belakang Tristan sebagai calon pengganti CEO Wijaya Group, pernikahannya pasti akan menjadi perbincangan para kolega bisnis papanya. “Kalau gitu ….” Bela menghitung di kepalanya. “Masa kita harus menikah dalam bulan ini?” Tristan mengangguk mantap. “Iya. Toh, kamu kan desainer gaun, bikin aja gaun sendiri. Adikku punya WO, kita bisa booking sekarang. Cari tanggal kosongnya Alya kapan.” Bela tak merespons, ia masih menatap Tristan tak percaya. Secepat inikah proses mereka? *** Resepsi pernikahan Amanda digelar benar-benar mewah. Tipikal pernikahan orang kaya, anak pertama pula. Harus Bela akui, tim WO milik Alya sukses mengeksekusi konsep pernikahan impian nyaris semua wanita. Gedung resepsi itu dipenuhi nuansa putih dan emas—warna yang diminta oleh Amanda sendiri. Mulai dari pintu masuk hingga ke pelaminan, semuanya terlihat begitu mewah. Bela duduk di antara para tamu, menatap ke pelaminan tempat Amanda dan suaminya menyapa para tamu undangan. Gaun buatan Bela tampak indah berpadu dengan latar dekorasi pelaminan yang mewah. Tanpa sadar, gerakan tangan Bela yang sedang menyantap hidangan pesta terhenti. Ia membayangkan dirinya berdiri di atas sana—menikah lagi, tapi kali ini bersama Tristan. Berdiri berdampingan, mengenakan gaun pernikahan yang serasi dengan tuksedo Tristan, persis seperti impian Bela bertahun-tahun lalu. Sebuah tepukan di bahu membuyarkan lamunan Bela, ia spontan menoleh dan mendapati Alya sedang menatapnya dengan senyum misterius. “Mikirin apa sampe mukanya merah gitu?” tanya Alya, nada suaranya terdengar sedikit menggoda. “Eh?” Bela tergagap. “Bukan apa-apa kok.” Ia kembali ke makanannya, menyentuh pipinya terasa panas. Alya sudah duduk di samping Bela yang ternyata sudah kosong sejak tadi—Bela tidak menyadarinya karena sibuk membayangkan pernikahannya dengan Tristan. Dan itu membuat Bela ingin mengubur dirinya sekarang juga, saking malunya. “Aku udah denger dari Kak Tris, kalian mau menikah?” Alya menodong tanpa basa-basi, membuat Bela nyaris tersedak. “Hah? Dia … udah bilang ke kamu?” Bela membelalak tak percaya, pipinya semakin merona merah. Alya tertawa kecil, lucu melihat ekspresi Bela yang terkaget-kaget. “Iya. Aku ada waktu akhir bulan ini, tapi bukan weekend. Kalau mau, bisa aku masukin ke jadwalku. Terus soal temanya, Kak Tristan nggak nentuin tema apapun, dia malah nyuruh aku nanya ke Kakak. Oh iya, Kak Tristan juga minta dipesenin paket bulan madu, tujuannya terserah Kak Bela aja. Habis itu, Kak Tristan juga—” “Tunggu, tunggu,” potong Bela cepat. Ia mendadak merasa linglung gara-gara begitu banyak informasi yang disampaikan Alya. Dan semua permintaan itu datang dari Tristan. Seolah pria itu memang menunggu-nunggu hari ini—hari di mana dirinya bisa menikahi Bela. Tiba-tiba Alya tertawa, terkekeh geli melihat ekspresi Bela yang kebingungan. “Kenapa kamu ketawa?” tanya Bela bingung. “Kak Bela pasti juga pusing kan karena Kak Tristan kayak ngebet banget? Aku juga.” Alya tersenyum lembut. “Padahal baru sebulan lalu orang tuaku sakit kepala karena Kak Tristan kelihatan kayak nggak tertarik sama pernikahan, tiba-tiba sekarang nggak sabar banget buat segera menikah.” Bela bungkam, bingung harus merespons seperti apa karena ia sibuk menenangkan degup jantungnya yang seperti sedang lari marathon. “Berarti bener dugaanku,” lanjut Alya sembari menyantap makanannya sendiri. “Kak Tristan itu belum bisa move on dari kamu, Kak Bel.” Panas. Pipi Bela panas sekali sekarang. Ia mengutuk dirinya sendiri yang bereaksi seperti anak ABG hanya karena ucapan Alya itu. “Tapi aku seneng akhirnya ada orang yang bikin Kak Tristan tergerak untuk membangun rumah tangga.” Kini senyum jahil di bibir Alya berubah lebih tulus, begitu pula tatapannya. “Jadi, jangan sungkan-sungkan kalau butuh bantuanku, ya? Meski mendadak, aku bakal mewujudkan pernikahan impian kalian berdua.” Perasaan hangat melingkupi keduanya, membuat detak jantung Bela perlahan kembali normal. Ia juga tersenyum, menatap Alya lembut. “Siapa sangka aku bakal pake jasa WO kamu sampe dua kali gini,” candanya. Alya tertawa mendengarnya. “Bener juga.” *** Dulu, Bela tak merasakan apapun selama mempersiapkan pernikahannya dengan Davka. Ia hanya merasa seperti dirinya kembali ke penjara, terkurung dan sendiri. Tapi sekarang, saat ia berdiskusi dengan Alya dan Tristan soal pernikahan keduanya nanti, entah kenapa ia terus merasa jantungnya berdebar dan hatinya berbunga. “Kak Bela kan hamil, Kak, bulan madu yang deket-deket aja lah.” Alya mengusulkan. “Bali, Lombok, atau Belitung gitu.” “Belitung?” Tristan mengernyit. “Ada apa di sana?” “Dih, dasar nggak pernah pergi-pergi. Di sana ada laut yang indah banget tahu!” Alya mencibir. “Udah ada jasa travel yang nawarin paket honeymoon, kalau mau nanti aku pesenin buat tanggal 28-29. Dua hari cukup kan?” Tristan menoleh pada Bela. “Kamu mau bulan madu ke Belitung? Atau pengen ke tempat lain?” “Eh?” Bela tergagap, tak menyangka Tristan akan meminta pendapatnya. “Terserah ke mana aja,” ucapnya sedikit terbata. Tristan mengerutkan kening. “Jangan terserah. Kamu tentuin, mau luar negeri atau dalam negeri aja?” Bela terlihat ragu. Karena sejujurnya ia belum pernah pergi bulan madu. Euforia pernikahannya dengan Davka dulu berakhir tepat setelah resepsi. Tidak ada bulan madu, tidak ada malam pertama yang manis dan mendebarkan, semua terasa seperti di penjara. “Menurutku, karena kamu hamil, mending jangan terlalu jauh deh bulan madunya.” Alya memberi saran. “Soal budget bebas.” Tristan menambahkan. “Mau keliling Eropa juga ayo aja.” “Kaya dia, Kak.” Alya menimpali. “Duitnya utuh, nggak pernah ada cewek yang dia biayai sih,” lanjutnya sembari menyikut Tristan jahil. Tawa renyah lepas dari bibir Bela, membuat suasana yang tadinya terasa canggung bagi Bela kini menjadi lebih hangat. “Jadi boleh ke mana aja nih?” Bela bertanya pada Tristan, memastikan. Tristan mengangguk mantap, sorot matanya terlihat antusias. Seolah ke mana pun Bela pergi, bahkan ke pelosok desa terpencil sekalipun, Tristan akan tetap menurutinya. Asal bersama Bela. “Kalau gitu ….” Bela mulai bicara, menatap Tristan dan Alya bergantian. “Aku pengen bulan madu ke Raja Ampat.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN