“Lalu, apa yang mau kamu lakukan sekarang?” tanya Bela sembari menghidangkan teh hangat di hadapan Tristan.
“Pertama, kamu pindah ke apartemen yang udah aku beli,” ucap Tristan sembari menyeruput teh buatan Bela.
“Sudah aku bilang, aku nggak mau pindah.” Bela berkata tegas, duduk di seberang Tristan.
“Kenapa kamu masih keras kepala aja?” Tristan menautkan kedua alisnya, tak suka. “Aku ngasih apartemen itu ke kamu demi anak kita, Bela. Dia layak tinggal di tempat yang nyaman.”
“Jadi kamu mau bilang kalau aku sebagai ibu tuh nggak bertanggung jawab karena lebih memilih tinggal di butik gini?”
Tristan menghela nafas. “Bel, aku lagi nggak mau bertengkar. Aku cuma mau kamu punya tempat tinggal yang nyaman. Kamu lagi hamil.”
Hening menyelimuti keduanya. Bela terlihat ingin membantah lagi, membiarkan keras kepala menjadi penghalang di antara mereka. Namun, saat ia melihat tatapan tulus Tristan, akhirnya ia menghela nafas pelan.
“Aku merasa cuma aku orang tua dari bayi ini,” ucap Bela lirih. “Aku lupa kalau kamu adalah ayah dari bayi ini secara biologis. Jadi, pasti kamu juga mau bayi ini dirawat dengan baik sejak dalam kandungan kan?”
Bibir Tristan perlahan membentuk senyum, kemudian ia mengangguk. “Aku senang akhirnya kamu mengerti, Bel. Seandainya aku bisa merawatnya dengan tanganku sendiri, aku akan melakukannya. Tapi untuk sekarang, aku akan merawat ibunya supaya ibunya bisa memberikan yang terbaik untuk bayi kita.”
Kalimat Tristan membuat Bela nyaris tersedak. Detak jantungnya terasa sedikit meningkat, tapi ia buru-buru mengenyahkan perasaan aneh yang menjalari hatinya.
“Makasih,” katanya pendek.
“Jadi kapan mau pindah? Aku sudah mempertimbangkan jarak dari apartemen ke butik kamu, nggak terlalu jauh dan juga sudah ada mobil kan?”
“Oh iya, mobil!” Bela tiba-tiba memekik dengan mata membulat lebar.
Tristan mengernyit. “Kenapa dengan mobilnya?”
“Aku lupa.” Bela menepuk jidatnya, menyesal. “Mobilnya masih ada di rumah klienku.”
“Klien kamu?”
Bela mengangguk, ekspresinya tampak gelisah. “Waktu itu kan aku pingsan di rumah klienku. Aduh, besok harus ke sana.”
“Siapa klienmu?” tanya Tristan hati-hati. Meski tentu saja ia sudah bisa menebak.
Bela mengangkat sebelah alisnya. “Kamu pura-pura nggak tahu? Kamu kan calon adik ipar klienku,” ucapnya sinis.
Tristan tertawa pelan. “Ah iya, Kak Manda, ya? Tapi aku udah bukan calon adik iparnya. Sekarang aku calon suamimu.”
Wajah Bela memanas karena ucapan Tristan. Ia buru-buru membuang muka, canggung setengah mati. “Hati-hati dong kalau bicara. Aku kan masih belum resmi cerai,” protesnya lemah.
Melihat ekspresi Bela yang menggemaskan, Tristan tertawa pelan. Tangannya berkedut ingin terulur untuk menyentuh pipi Bela yang memerah, tapi ia tahan sekuat tenaga. Tidak, belum saatnya.
“Aku akan menunggu, Bel. Kali ini, aku nggak akan kabur lagi seperti dulu.”
Nada bicara Tristan yang terdengar tulus akhirnya membuat Bela menoleh, tatapan mereka beradu, dan sepercik perasaan hangat yang ternyata tidak pernah padam di hati mereka kini semakin menyala.
***
Bela turun dari taksi seorang diri, menghampiri gerbang depan rumah besar bercat putih itu—rumah keluarga Dhea dan Amanda.
“Permisi, Pak.” Ia menyapa satpam yang berjaga di depan. “Saya Bela, desainer gaun yang waktu itu melakukan foto prewedding di sini. Waktu itu saya pingsan, jadi mobil saya ditinggal di sini.”
“Oh, Mbak Bela itu, ya?” Satpam itu tampak sumringah. “Ada, mobilnya ada. Sudah diamankan kok.”
Pria berseragam itu keluar dari posnya dan membukakan pintu pagar untuk Bela. “Mari masuk. Gimana keadaannya, Mbak? Sudah baikan?” tanyanya ramah.
Bela mengekor di belakang pak satpam. “Sudah lebih baik, Pak. Cuma dua hari dirawat di rumah sakit.”
“Syukurlah kalau begitu. Lain kali kalau sakit atau nggak enak badan jangan dipaksakan kerja, Mbak. Kasihan badannya sampe nyerah gitu.” Satpam itu berkata dengan ada khawatir yang tidak dibuat-buat.
Bela tersenyum getir. Dari sedikit orang yang menunjukkan kepedulian padanya, semuanya justru datang dari orang-orang yang tidak memiliki hubungan erat dengan Bela.
Orang tuanya tidak menelepon sama sekali untuk sekedar menanyakan kabar, sehingga Bela juga memilih untuk tidak mengabari mereka tentang kejadian itu. Lalu Davka, pria yang masih menjadi suaminya itu sama sekali tidak menghubunginya setelah ia menguak perselingkuhan Davka. Dan Bela yakin sekali, sekarang Davka pasti sedang sibuk dengan selingkuhannya.
Jantung Bela terasa seperti diremas kuat saat mengingat betapa cueknya Davka saat membongkar perselingkuhannya selama ini. Betapa pria itu tidak merasa bersalah sama sekali telah mengkhianati janji pernikahan mereka.
Bela meremas tangannya sendiri, berharap mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang membuat dadanya terasa ngilu. Diselingkuhi dua kali oleh pria yang berbeda, rasanya seperti menabur garam di luka yang sama.
“Siapa?”
Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Bela. Ia mendongak, mendapati seorang gadis cantik berdiri di teras rumah.
“Oh, Nona Dhea.” Satpam itu menyapa, berlari kecil menghampiri Dhea. “Ini desainer yang bekerjasama dengan Nona Manda waktu itu, yang mobilnya ditinggal di sini.”
Bela tersenyum tipis, mengangguk kecil. Ia belum pernah bertemu Dhea, fakta soal Dhea yang merupakan tunangan Davka ia ketahui dari Amanda. Dan saat bertemu langsung begini, entah mengapa Bela merasakan perasaan tidak nyaman di dadanya.
“Selamat siang.” Bela menyapa sopan. “Maaf karena baru bisa ambil mobilnya sekarang.”
Dhea tak menjawab. Gadis itu menyedekapkan tangan di depan d**a dan menatap Bela dari atas ke bawah, seolah sedang menilai.
Ditatap seperti itu, Bela jadi merasa tak nyaman. “Makasih sudah menjaga mobil saya, sekarang mau saya ambil mobilnya.”
Maksud dari ucapan Bela adalah ‘mana kuncinya?’, tapi ia kemas dengan sopan karena ia masih ingin menjaga hubungan baik dengan keluarga kliennya.
Namun lagi-lagi, Dhea tak menjawab. Ia hanya terus menatap Bela dengan tatapan yang semakin lama semakin sinis.
“Mobil kamu itu kayaknya baru, ya?” tanya Dhea kemudian. “Soalnya aku yang mindahin dari halaman ke garasi, jadi aku tahu kalau mobil itu baru.”
“Ah, iya. Itu memang mobil baru.” Bela tersenyum, berusaha tetap menjaga kesopanan.
Dhea mengangguk-angguk. “Beli di mana?”
“Eh?” Bela terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu. “Maksudnya?”
“Beli mobil kan nggak mungkin di warung, jadi beli di showroom mana?” balas Dhea sinis.
“Saya kurang tahu tepatnya di showroom mana. Karena itu pemberian seseorang.” Bela menjawab apa adanya.
Wajah Dhea mengeras saat mendengar kalimat itu. “Jadi betul dugaanku? Ini perempuan yang merebut Mas Tristan dari aku?” gumamnya dalam hati, emosinya mulai menggelegak. Tapi Dhea tetap terlihat tenang.
“Jadi kamu ke sini mau ambil mobilmu?” tanya Dhea kemudian.
“Iya. Dan ini ….” Bela menyodorkan sebuah paper bag berisi kue-kue premium. Ia pilih dengan hati-hati yang sekiranya cocok untuk selera orang kaya seperti keluarga Dhea. “Ada sedikit ucapan terima kasih dari saya karena sudah menjaga mobil saya di sini.”
Dhea melirik paper bag itu malas. Lalu ia berbalik tanpa sepatah kata pun, meninggalkan tangan Bela tetap terulur.
“Aduh, maaf ya, Mbak. Nona Dhea biasanya nggak gitu kok,” ucap pak satpam sembari menggaruk tengkuknya, merasa bersalah.
Tangan Bela masih menggantung di udara, terlalu terkejut untuk bereaksi. Namun, begitu ia hendak menjawab ucapan si satpam, pintu depan rumah besar itu kembali terbuka. Dhea keluar dari rumah dengan kunci mobil di tangan.
Bela tersenyum senang. Ternyata kekhawatirannya sia-sia saja.
Dhea berdiri tepat di hadapan Bela, ekspresinya dingin dan mengeras. Ia mengulurkan tangan yang memegang kunci, tanpa sepatah kata pun.
“Ah, terima kasih.” Bela tersenyum, maju selangkah hendak mengambil kunci mobil dari tangan Dhea.
Namun, sedetik sebelum Bela sempat mengambil kunci itu, Dhea menjatuhkannya. Suara logam berbenturan dengan lantai terdengar nyaring.
“Ambil,” perintah Dhea dingin.
Bela menelan ludah, terkejut bukan main. Tapi ia tidak menunduk untuk mengambil kunci mobil itu, melainkan balas menatap Dhea.
Atmosfer di antara mereka menegang seketika. Pekat oleh permusuhan yang tak terucapkan. Seolah suara kunci yang berbenturan dengan lantai barusan adalah sebuah genderang perang yang baru saja dibunyikan.