“Maafkan saya, Pak. Tolong jangan pecat saya.” Rafli memohon, kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya sudah miring. Tristan sudah menduga reaksi ini, maka ia bergeming, menatap dingin pada sekretaris yang ia kira setia itu. “Kenapa? Bukannya keluar dari sini kamu bisa masuk perusahaan Dhea?” Rafli menggeleng tegas. “Saya benar-benar terpaksa melakukan itu, Pak. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu saya. Jadi—” “Kamu juga yang membocorkan soal CCTV yang aku akses?” tuding Tristan cepat. Rafli menelan ludah, tak menjawab. “Aku anggap itu sebagai jawaban iya.” Tristan menarik nafas dalam. “Kemasi barang-barangmu sekarang dan kosongkan mejamu paling lambat besok pagi,” imbuhnya tegas. Rafli bangkit dengan cepat, merangsek maju ke depan meja Tristan. “Pak, tolong jangan pecat saya.