“Saya punya buktinya, Pak Hakim. Boleh saya serahkan buktinya ke depan?” tanya Davka sopan. Hakim mengangguk dan mengulurkan tangan mempersilakan. Bela sudah menggeram di tempatnya duduk, kedua tangannya mencengkram lututnya erat-erat. Setengah mati dirinya menahan diri agar tidak menginterupsi persidangan. Apalagi saat melihat Davka maju ke depan dengan penuh percaya diri. Davka menyerahkan ponselnya, memutar rekaman percakapannya dengan Bela malam itu. “Aku siap menerima anak itu sebagai anakku. Aku akan memperlakukannya seperti anakku sendiri, aku akan membiayai hidupnya, menyekolahkan, membesarkannya, dan dia juga akan menerima warisan selayaknya seorang anak.” Lalu terdengar suara meludah dan pintu dibanting tertutup. Rekaman berakhir. “Dia bahkan meludahi saya karena sudah term