Astrid berdiri mematung, gemetaran dan menatap horor ke arah sosok Bela yang kini terbaring di lantai dengan tubuh kejang hebat, mata mendelik, dan mulut berbusa. “Kak Bela … kenapa …?” Ia bergidik ketakutan. Tak tahu harus melakukan apa. Hingga lima detik kemudian, otaknya baru berfungsi. “Oh iya, panggil ambulans!” Sembari menjepit ponsel di antara baru dan telinganya, Astrid mengambil bantal sofa dan meletakkannya di bawah kepala Bela. Sementara matanya terus memperhatikan perut Bela yang tampak mengencang. “Semoga nggak kenapa-kenapa,” doanya dalam hati. Lima belas menit kemudian, ambulans tiba di butik. Bela sudah tidak lagi kejang, tapi ia juga tidak sadarkan diri. Bibirnya membiru, wajahnya pucat. “Kak, bertahan ya, Kak. Bentar lagi sampe. Dedek bayi juga.” Astrid terus mengg