Aku duduk di ruang keluarga rumah Panji. Jantungku masih berdetak dalam kecepatan yang tak biasa. Mereka semua saling diam, menatap satu sama lain. Panji pun hanya menunduk dengan wajah yang kusut. Tak lama kemudian, Ayah berdeham, lalu membuka pembicaraan. Sontak kami semua menatapnya, menunggu apa yang akan Ayah bicarakan. Kuharap Ayah tidak memberi keputusan yang membuat seseorang terluka, terutama aku. Jika boleh jujur, aku ingin berteriak sekarang juga. Aku tak sabar dengan apa yang akan kami bicarakan. Namun di sisi lain, aku juga tak siap mendengarnya. Rere yang duduk di sampingku mengeratkan genggamannya pada tanganku. “Maaf membuat semua orang penasaran, resah bahkan panik, terutama putriku sendiri. Ayah tahu kamu sangat panik,” ucap Ayah sambil menatapku. Dulu mungkin aku san