Setelah pembicaraan serius aku dan Panji dalam perjalanan, kini kami sudah tiba di sebuah kafe. Rupanya kami tiba lebih awal dari Pak Rafli sehingga menunggunya sambil mengobrol santai. Tapi bukan obrolan tentang restu lagi. Kami hanya berbicara random agar tidak bosan menunggu. Sekitar sepuluh menit kemudian, orang yang kami tunggu akhirnya datang juga. “Maaf saya terlambat,” ucap Pak Rafli lalu duduk tanpa kami persilakan. Aku dan Panji tak mempermasalahkan alasan pria paruh baya ini terlambat. Kami pun hanya tersenyum tipis untuk merespons permintaan maafnya. “Bagaimana perkembangan muridku? Lancar? Mereka bandel?” tanyanya. “Mereka cukup mudah diatur, Pak,” jawab Panji. “Bukankah ini juga salah satu muridku? Murid kita?” tanyanya dengan terus menatapku. “Iya, Pak,” jawab Panji l