"Kek, ada apa, ya, ini? Sudah tiga kali dalam sehari kita bersinggungan dengan ular hijau. Endit merasa ini ada hubungannya dengan si siluman ular." Aku berkata pada Kakek sambil menggoyangkan lengannya.
"Tiga kali, Endit? Tadi siang di halaman belakang dan barusan di kamar kita, kan baru dua. Satu lagi yang mana? Bunda gak tahu di mana lagi."
Bunda bertanya padaku dengan wajah penuh kecemasan. Tentu saja dia tidak tahu karena tak ikut dengan aku dan Kakek ke Mesjid Mujahidin. Aku pun segera memberi penjelasan, tapi sudah dijawab lebih dulu oleh Nenek.
"Tadi pagi sewaktu Ibu pulang dari pengajian. Jadi saat sedang turun dari tangga, ada teman Ibu yang berteriak ular... ular..!"
"Astaghfirullah. Endit juga lihat ularnya, Bu?" Bunda semakin panik setelah mendengar penjelasan dari Nenek.
"Endit takut dan trauma dengan ular. Dia sempat tidak mau mendekat, Nur. Dari cerita Ibu, ular yang ada di sepatu temannya pengajian tadi berwarna hijau juga." Kakek membantu Nenek menjelaskan mengenai kejadian tadi pagi.
Bunda terdiam setelah mendengar penjelasan dari Nenek dan Kakek. Dia memeluk dan mencium keningku. Dapat kurasakan irama detak jantung dalam dadanya berdetak sangat cepat.
"Nur tidak paham, Pak. Mengapa hari ini, Endit dan kita seperti sedang diteror oleh ular hijau itu, ya? Apa pernah Bapak atau Bang Pardi membunuh ular? Kamu pernah, Mbak?"
Bunda bertanya pada Kakek, dijawab dengan gelengan. Lalu Bunda beralih bertanya pada Mbak Etik dan Bang Pardi. Keduanya pun menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Aneh! Padahal mitosnya, jika ada ular yang dibunuh barulah teman-temannya akan datang." Bunda kembali berujar.
"Kenapa teman-temannya datang, Bun?" Aku penasaran dengan alasan dari pernyataan Bunda tadi.
"Bunda juga tidak tahu pasti, Endit. Itu cuma mitos." Bunda menjawab sambil mengangkat kedua bahunya.
"Buat melayat atau membalas dendam, katanya, Endit." Mbak Etik menjawab pertanyaanku setelah Bunda tak mampu menjelaskan.
"Sepertinya, kejadian ini berhubungan dengan pertemuan pertama Endit dengan wanita bertubuh ular. Kakek kira ini adalah teror dari si siluman ular."
Akhirnya Kakek menyampaikan hal yang sama dengan yang ada dalam pikiranku. Aku pun menduga bahwa teror hari ini, berhubungan dengan wanita siluman ular yang kutemui di rumah dinas Bunda dulu.
"Kalau benar ini merupakan teror siluman, maka kita sudah pernah berhasil mengusirnya. Ular itu, kan, bangsa jin. Berarti dengan melakukan hal yang seperti pada saat kejadian si Mpus, mestinya ular itu akan menghilang lagi, Kek. Ayo, kita pukul lagi kepala ularnya dengan bambu kuning! Sambil mengucapkan Bismillahi Allahu Akbar."
Kakek menganggukkan kepala dan tersenyum. Kemudian Beliau segera mengambil alih bambu kuning dari tangan Bang Pardi. "Ayo, kita masuk berdua, Di!"
"Jangan, Pak! Saya saja." Bang Pardi mencoba melarang Kakek dan menawarkan diri untuk masuk ke dalam kamar seorang diri saja.
"Betul, Kek! Kamu, kan, sudah tua. Nenek khawatir." Nenek ikut mencegah Kakek.
Bang Pardi segera membuka daun jendela. Kami fokus melihat ke arah jendela. Kami ikut memperhatikan apa yang sedang Bang Pardi lakukan.
Suasana hening, sama sekali tak ada yang bersuara. Semua tegang dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya kami semua terperanjat saat terdengar suara bel berbunyi nyaring.
"Astaghfirullah!" Kami berteriak serempak.
Bang Pardi yang sedang mengangkat daun jendela terkejut. Hingga pegangan tangannya pada kayu kusen jendela pun terlepas. Malangnya, menyebabkan jari tangan kirinya terjepit.
Kami semua berteriak melihat darah yang mulai mengalir. Dari mulut Bang Pardi keluar suara teriakan kesakitan yang lebih kencang lagi. Suasana menjadi panik kembali.
"Ya Allah." Aku terkesiap saat melihat darah yang mengalir dari jari Bang Pardi. Kakek dengan sigap membantu mengangkat kembali daun jendela. Bang Pardi pun segera menarik tangannya yang terjepit.
"Ya Allah, Bang. Kukumu lepas itu!" Mbak Etik berteriak histeris.
Bang Pardi berjongkok sambil meringis. Tangannya kanannya memegangi pergelangan tangan kirinya. Dari jari tengah tangan kiri, terus mengeluarkan darah.
"Tik, ambilkan es batu dan handuk kecil!" Nenek berteriak pada Mbak Etik.
Saat semua mata sedang tertuju pada Bang Pardi, aku mendengar suara yang tidak asing. Suara desisan ular. Sepertinya aku telah mengenali siapa pemilik suara tadi. Segera aku menoleh ke arah jendela yang telah Kakek tutup kembali.
Seekor ular hijau sedang melata perlahan di kaca jendela. Dia terus mendesis dan menjulurkan lidahnya. Jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin mengucur saat melihat ular itu berhenti. Dia menjulurkan lidah dan mulai menjilati darah Pak Pardi yang menetes di kusen jendela.
Aku bergidig ngeri. Sebenarnya aku ingin memberitahu Kakek, Nenek, dan semua yang ada di sini. Akan tetapi, lidahku tiba-tiba kelu. Napasku menjadi tak beraturan. Aku pun berusaha untuk menyenggol tangan Kakek sambil mataku tak lepas dari memperhatikan si ular hijau.
"Kenapa, Endit? Hei! Kok diam saja?"
Mungkin karena aku tak kunjung menjawab, maka semua mata mengikuti ke arah yang sedang kulihat. Aku merasa tubuhku dirangkul dan ditarik menjauh dari jendela. Entah oleh siapa. Pandanganku masih terpaku pada ular hijau yang sedang menjulurkan lidah dan menikmati darah Pak Pardi.
"Ini..." Mbak Etik yang baru saja tiba menghentikan ucapannya. Aku pun tersadar dan segera mengalihkan pandangan. Ternyata Bunda yang telah merangkulku.
Mbak Etik hendak berteriak tetapi mulutnya segera ditutup sendiri menggunakan kedua telapak tangan. Untung saja dia segera melihat isyarat larangan berisik dari Kakek.
Aku sudah bisa menguasai diri. Lalu segera berpikir, jika ular itu menyukai darah, maka luka di tangan Pak Pardi harus segera ditutup. Agar darahnya berhenti.
Tangan Mbak Etik segera kusenggol. Setelah dia menoleh padaku, segera kuberi isyarat agar segera mengobati luka di tangan suaminya. Mbak Etik mengangguk dan segera menutupi jari tengah Pak Pardi dengan es batu yang dibalut oleh handuk.
Nenek sepertinya teringat pada suara bel pintu. Dia memberi isyarat akan melihat siapa yang datang bertamu dengan cara memutar menuju pintu depan. Aku yang masih terpaku melihat kemunculan ular di jendela, sempat lupa tentang bunyi bel pintu. Padahal suara itulah yang telah membuat kami semua terkejut, bahkan menyebabkan Pak Pardi terjepit jarinya. Entah siapa tamu yang telah menyalakan bel.
Bunda melepaskan rangkulannya padaku dan mengarahkanku agar berada di dekat Kakek. Dari isyarat tangannya, aku mengerti bahwa Bunda ingin menemani Nenek melihat ke pintu depan. Saat aku sedang melihat punggung Nenek yang berjalan bersama Bunda, Kakek menepuk bahuku dan mengarahkan telunjuknya ke arah jendela.
Mataku pun mengikuti arah yang Kakek tunjuk. Darahku berdesir. Seperti yang telah kuduga, ular yang masih menjulurkan lidahnya pada daun jendela yang penuh darah itu ternyata memiliki lingkaran kuning di atas kepalanya. "Ya Allah, ular siluman itu lagi", gumamku.
Bagai bisa mendengar suaraku, ular itu tiba-tiba saja menghentikan aktivitasnya. Dia mengarahkan kepalanya padaku. Kemudian menghilang begitu saja.
"Astaghfirullah! Hilang, Pak!" Mbak Etik berteriak. Sepertinya dia tak kuasa menahan diri lagi. Aku pun tadi ikut berteriak mengucapkan istighfar saat kembali melihat ular itu menghilang.
Baru saja aku akan bertanya pada Kakek kemana ular tadi, terdengar langkah kaki mendekat. "Tak ada seorang pun di depan, Kek." Nenek berkata sambil menggelengkan kepala.
"Hah! Serius Nek? Bun, tidak ada tamu?" Aku terkejut dan memastikan kembali ucapan Nenek.
"Iya, Endit. Pagarnya pun masih tertutup rapat dengan grendel terkunci. Tak ada tanda-tanda bahwa baru saja ada orang yang membukanya." Bunda menjelaskan lalu menarik napas panjang.
Kakiku lemas mendengar penjelasan Bunda. Ya Allah. Apalagi ini?