Setelah selesai membaca semua informasi yang baru saja aku dapatkan dari wikipedia ini. Aku baru tahu, bahwa ternyata jin sama saja dengan manusia. Mereka pun memiliki rasa takut dan bisa mati.
"Kek, apakah pada makhluk gaib golongan jin juga ada wabah penyakit? Kan, setahu Endit, manusia mati biasanya karena terkena penyakit. Seperti tetangganya Endit di Desa Sungai Ampar, dia terkena penyakit Demam Berdarah. Sayangnya terlambat dibawa ke rumah sakit, akhirnya dia meninggal dunia."
"Kalau untuk manusia yang meninggal dunia, kita lebih baik menggunakan bahasa meninggal saja, Endit. Kata mati hanya kita gunakan pada hewan yang sudah dicabut nyawanya oleh malaikat Izrail." Nenek memberikan saran padaku.
"Kenapa begitu, Nek?" Aku bertanya sambil menoleh ke arah belakang kursiku.
"Agar lebih sopan, ya, Endit." Nenek menjawab sambil tersenyum padaku.
Nenek masih duduk di atas sofa sambil bermain dengan si Mpus. Ternyata saat ini, di dalam ruangan hanya ada aku, Kakek, dan Nenek saja. Bunda sudah tak nampak lagi. Mungkin dia sedang pergi ke dapur atau ke kamar tanpa memberitahu padaku.
Aku mengernyitkan dahi dan menjawab ucapan Nenek dengan menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Suatu saat nanti, akan kutanya lebih lanjut mengenai kesopanan dalam memilih kata pada Nenek. Tentu saja setelah aku selesai mengurai benang kusut berisi berjuta pertanyaanku mengenai makhluk gaib.
"Wallahu alam, Endit. Kakek juga tidak tahu apakah dalam dunia jin ada wabah penyakit seperti yang dialami oleh manusia. Oh, ya, Endit tahu tidak meskipun jin bisa mati seperti manusia, akan tetapi usia jin lebih panjang dari pada usia manusia?"
Kakek kembali merespon pertanyaanku. Akan tetapi, berlanjut dengan memberiku pertanyaan lagi. Setelah memberikan jeda sejenak untukku memahami nasehat Nenek.
"Melebihi usia manusia, Kek? Sampai berapa tahun?" Aku penasaran dengan ucapan Kakek.
"Iya, Endit. Usia jin bisa sampai ratusan tahun. Bahkan ada golongan jin yang ditangguhkan matinya sampai tiba hari kiamat." Kakek kembali menjelaskan tentang jin.
"Oh, Endit tahu, Kek! Ustadzah Azizah pernah menceritakan tentang itu. Sewaktu nabi Adam diciptakan, Allah memerintahkan semua yang di surga untuk bersujud padanya. Hanya Iblis yang tak mau melakukan perintah itu. Betul, kan, Kek?" Kakek menjawab dengan anggukan kepala. Aku pun meneruskan ucapanku.
"Iblis menyombongkan diri, karena merasa terbuat dari api. Masa sih, harus sujud pada nabi Adam yang hanya terbuat dari sari pati tanah. Karena tak taat pada perintah, Allah mengusir iblis dari surga. Akan tetapi, Allah mengabulkan permohonan iblis untuk minta ditangguhkan kematiannya sampai hari kiamat. Dia mau menggoda anak cucu nabi Adam agar menjadi temannya kelak di neraka."
"Sip! Endit cerdas! Bisa mengingat dengan baik apa yang telah Ustadzah Azizah ajarkan. Semua kejadian itu tertuang dalam ayat-ayat di Al-Qur'an. Salah satunya pada surah Al-Kahfi ayat 50, yang dalam bahasa indonesia artinya ingatlah ketika Aku perintahkan kepada para malaikat, sujudlah kalian kepada Adam. Mereka pun sujud, kecuali Iblis. Dia termasuk golongan jin, dan inkar kepada perintah Tuhannya.”
Aku menganggukkan kepala berulang kali. Berarti iblis termasuk ke dalam golongan jin. Sungguh menyenangkan sekali di sini. Selain melepas rindu pada Kakek dan Nenek, aku pun bisa menambah banyak pengetahuan. Andai saja aku selalu di sini, tinggal bersama mereka. Pasti akan sangat seru hari-hariku.
"Tolong, tolong!" Tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara teriakan.
Aku, Kakek, dan Nenek serempak berdiri dan saling memandang. "Itu suara Bunda, Kek, Nek!"
Aku dapat mengenali teriakan itu sebagai suara Bunda. Kembali terdengar lagi suara teriakan. Kali ini kami semakin yakin suaranya berasal dari dalam kamarku.
Segera kami saling memacu langkah, berebut untuk masuk ke dalam kamar. Kakek yang paling dulu sampai di depan pintu kamar. Dia segera memutar gagang dan mendorong daun pintu. Kami pun segera melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar.
Bunda tampak berdiri di atas kasur. Wajahnya tampak panik, tangannya melambai ke kanan dan ke kiri. Bunda terus berteriak meminta tolong.
"Kenapa, Nur?" Kakek bertanya sambil melangkah masuk.
"Pak, barhenti! Di situ saja! Ada ular di lantai. Bagaimana ini? Ya Allah, Nur takut sekali! Tak berani turun dari sini."
Aku terdiam mendengar kata ular. Ya Allah, apa lagi ini? Mengapa sepanjang hari aku harus bersinggungan dengan tiga kejadian kemunculan ular? Aku menahan tangan Kakek yang hendak maju memasuki kamar.
"Jangan, Kek. Itu saja!"
Aku menunjuk ke arah jendela di samping kasur. "Bunda, bisa ke situ? Coba keluar dari jendela. Biar ularnya tetap di dalam kamar. Ayo, Kek, Nek! Kita tunggu Bunda di sana!"
Aku menarik tangan Kakek dan Nenek untuk kembali keluar dari kamar itu. Segera kututup daun pintu rapat-rapat. Jangan sampai ada celah untuk ular keluar dari kamar.
Kakek dan Nenek berjalan dengan cepat menuju pintu dapur. Aku mengekor di belakang mereka. Mbak Etik dan Bang Pardi masih berkutat dengan mesin rumput dan sapu.
"Kenapa Bu? Pak? Lha, Endit juga ikutan! Ada apa, kok, buru-buru?"
"Sini! Tolong bawakan sandal jepit untuk Bunda, Mbak."
Kakek dan Nenek tak mengindahkan pertanyaan Mbak Etik. Aku yang menjawab sambil melambaikan tangan dan meminta bantuan padanya. Aku berpikir bahwa Bunda akan turun ke halaman samping dari jendela. Dia membutuhkan sandal, agar kakinya tak kotor dan perlu dicuci setelah menginjak rerumputan.
Mbak Etik bergegas mengambilkan sandal jepit dan berlari mengejar di belakang kami. Bunda sudah berhasil membuka jendela dan sedang berusaha keluar. Segera Mbak Etik mengulurkan sandal sebelum Bunda mendaratkan kaki di atas rerumputan yang berada di bawah jendela.
"Lah, Mbak Nur, kok, lewat jendela! Ada apa?"
"Tik, panggilkan Bang Pardi! Sekalian bawakan bambu kuning, ya."
Alih-alih menjawab pertanyaan Mbak Etik, Kakek memberi perintah padanya. Ekspresi wajah Mbak Etik nampak kebingungan. Akan tetapi, tanpa bertanya lagi dia segera berlari menuju halaman belakang. Dia memang pekerja yang taat dan bertanggung jawab.
"Hati-hati, Bun!" Aku berteriak saat Bunda hampir saja terpeleset saat melompat dari atas jendela. Untung saja Kakek dan Nenek dengan sigap menahan tubuh Bunda.
"Alhamdulillah. Makasi, Pak, Bu." Bunda menarik napas panjang setelah mengucapkan terima kasih.
Setelah Bunda berada bersama kami, hatiku menjadi lebih tenang. Aku menggelendot padanya sambil memperhatikan Kakek yang ingin melihat ke dalam kamar. Kakek sedang memasukkan kepala ke dalam jendela. Segera aku menepuk pelan lengan Kakek.
"Kek, jangan! Gimana kalau ularnya menyerang kepala Kakek? Tutup saja kaca jendela, dulu! Kita tunggu bambu kuningnya."
Nenek terlebih dulu memberikan peringatan pada Kakek. Aku pun tak jadi melontarkan kalimat peringatan yang serupa. Ternyata aku dan Nenek sepemikiran.
"Di mana ularnya tadi, Bun?"
Mbak Etik dan Bang Pardi baru saja bergabung dengan kami. Napas mereka masih tersengal karena berlarian dari halaman belakang yang jaraknya sekitar belasan meter dari sini. Rumah Kakek memang cukup luas, mungkin seluas gedung sekolahku.
"Hah! Ada ular lagi? Di mana, Mbak Nur?"
Setengah berteriak Mbak Etik bertanya pada Bunda yang menyandarkan diri di dinding. Aku mengelus tangan Bunda berusaha menenangkannya. Napas Bunda pun tak kalah tersengalnya dengan Mbak Etik.
"Tadi kan Nur masuk ke kamar mau ambil buku. Maksudnya mau baca-baca di samping Ibu. Pas lagi jongkok membuka koper, kok, seperti ada kilauan hijau di bawah meja. Karena penasaran, Nur mendekat. Ternyata kilauan itu berasal dari sisik ular hijau yang lagi begini."
Bunda melipat lengan kanannya ke atas dan memperagakan gaya ular saat menegakkan kepala. Aku bergidig ngeri sambil menarik lengan Bunda. Ternyata seperti ini yang dirasakan Bunda. Karena itulah saat aku bercerita dan memperagakan posisi ular. Dia segera menurunkan lenganku.