Tepat setelah aku selesai membaca dzikir petang, suara azan Magrib berkumandang. Aku segera turun dari kasur dan meletakkan kembali buku bersampul cokelat tadi ke tempat semua.
Bunda dan Nenek telah selesai mandi. Kami memang tak pernah berlama-lama berada di dalam kamar mandi. Apalagi di saat menjelang azan seperti ini.
"Ayo, kita salat berjamaah! Endit, tolong siapkan sajadahnya, ya. Nenek yang di tengah, karena jadi imamnya Endit dan Bunda."
Bunda menyerahkan dua sajadah padaku. Lalu Bunda membentangkan sajadah yang berwarna merah. Aku pun segera membentangkan sajadah berwarna hijau di sebelah kanan dan kirinya.
Setelah selesai melaksanakan salat berjamah, Nenek mengajak kami bertiga untuk membaca Al Qur'an bersama. Aku yang baru beberapa bulan ini mulai lancar membaca rangkaian huruf arab, memilih untuk membaca ayat-ayat di juz 30. Sengaja memilih surah yang pendek agar memudahkanku untuk melancarkan bacaan.
Kami semua tenggelam dalam aktivitas mengaji. Aku baru menutup Al Qur'an, pada saat suara azan Isya dikumandangkan. Kami pun kembali melaksanakan salat berjamaah.
Kali ini, Bunda yang menjadi imam untukku dan Nenek. Bacaannya sangat fasih dan mengalun indah. Persis seperti bacaan Nenek sewaktu salat magrib tadi.
Selesai salat, kami keluar dari kamar dan menunggu Kakek kembali dari mesjid. Bunda meraih remote dan menyalakan televis. Kami bertiga duduk di sofa.
"Mau nonton apa, Bu?" Bunda bertanya sambil menoleh ke arah Nenek.
"Nonton berita aja. Biar tidak ketinggalan info terkini, Nur. Eh, ntar dulu! Endit mau nonton apa? Mumpung di rumah Nenek ini. Kan, banyak pilihan channel televisi." Nenek mengalihkan pandangan ke padaku.
"Endit mau...." Belum selesai aku menjawab pertanyaan Nenek, terdengar suara bel berbunyi.
Mbak Etik memasuki ruangan hendak membukakan pintu. Aku memanggilnya, "Mbak, biar Endit yang membukakan pintu. Paling juga Kakek yang memencet bel."
"Apa Endit sudah kuat memutar anak kuncinya? Ayo, Mbak Etik temani Endit ke depan! Nanti Mbak yang bantu kalau Endit tidak kuat " Aku mengangguk dan segera berdiri, Mbak Etik menggandeng tanganku.
Sebelum membuka pintu, aku dan Mbak Etik mengintip dari balik gorden. Memang betul, yang memencet bel adalah Kakek. Dia sedang berdiri di depan pintu.
"Betul, kan, Mbak? Kakek yang menyalakan bel," tukasku sambil tersenyum pada Mbak Etik.
Aku segera memutar anak kunci dan menarik gagang pintu. "Kakek!" ujarku bersemangat. Segera raih tangan kanan Kakek dan menciumnya.
"Semoga menjadi anak sholehah yang beruntung, ya, cucu kesayangan Kakek." Kakek mendoakan sambil mengecup keningku.
"Lho, Kakek sama siapa?" Aku bertanya saat melihat seorang lelaki seumuran Kakek sedang berdiri di belakangnya.
"Pak Saibani. Silahkan masuk, Pak. Kenalkan ini cucu saya, Endita. Dia yang saya ceritakan tadi."
Kakek memberi isyarat padaku untuk menyalami Pak Saibani. Aku sumringah mendengar nama itu. Dialah orang yang sedang kami tunggu-tunggu untuk membantu menyelesaikan semua teror hari ini.
"Silahkan duduk, Pak Saibani. Endit ke dalam dulu, Kek. Mau memanggilkan Bunda dan Nenek dulu." Aku memandang bergantian ke arah Pak Saibani dan Kakek.
"Biar Mbak Etik yang memanggilkan Bunda dan Nenek ke dalam. Endit di sini saja, ya. Sekalian Mbak Etik membuatkan minuman untuk Kakek dan Pak Saibani. Endit mau dibuatkan minum apa? Biar Mbak bawakan sekalian." Mbak Etik menahan langkahku.
"s**u coklat panas aja, Mbak Etik," ujarku.
"Tik, tolong sekalian siapkan makan malam untuk kami semua, ya. Lesehan saja, di atas karpet dekat televisi." Kakek meminta bantuan pada Mbak Etik.
Mbak Etik menjawab dengan anggukan. Lalu segera melangkah meninggalkan ruang tamu menuju dapur. Tinggalah aku bertiga dengan Kakek dan Pak Saibani di sini.
Duduk di dekat Kakek, Endit! Pak Saibani mau mendengar langsung bagaimana pertemuan pertamamu dengan wanita siluman ular itu."
Kakek menepuk kursi di samping kanannya. Aku pun segera duduk dan bersiap menceritakan pengalaman itu. Akan tetapi, pada saat aku melihat dengan seksama ke wajah Pak Saibani, aku merasa tidak asing melihatnya.
"Kenapa, Endita? Kok, diam saja? Apa tak jadi cerita ke saya?"
Pak Saibani berkata sambil tersenyum.Aku semakin penasaran. Karena selain wajahnya, senyuman Pak Saibani pun mengingatkanku pada seseorang yang telah kukenal akrab.
"Kok, rasanya Endit pernah ketemu sama Pak Saibani, ya? Akan tetapi, di mana? Rasanya gak asing." Aku berkata pada Kakek tanpa mampu menyembunyikan kebingunganku.
"Benar kan, Pak? Cucu saya nih pintar." Kakek malah berbicara dengan Pak Saibani, alih-alih ikut membantuku memecahkah rasa penasaran ini.
"Kita memang baru kali ini bertemu. Coba Endita ingat-ingat lagi. Siapa orang yang pernah di kenal dengan baik. Akan tetapi, mukanya mirip dengan saya?"
Pak Saibani malah balik bertanya padaku. Dia sama saja seperti Kakekku Yang tak langsung menjawab pada saat ditanya. Bahkan Kakek sering memberiku teka-teki tambahan. Tapi, aku senang dan merasa semangat untuk terus bertanya pada Kakek..
Aku perhatikan lagi wajah Pak Saibani dengan seksama. Mata itu, hidung, dan senyumannya aku pernah melihatnya. Tapi, dalam balutan jilbab. Siapa, ya? Ah, aku ingat!
"Pak Saibani wajah dan senyumannya sangat mirip dengan Ustadzah Azizah. Dia adalah guru ngaji Endit di Desa Sungai Ampar." Aku berkata dengan mantap.
"Tepat sekali, Endit. Ya, saya ayahnya Ustadzah Azizah," jelas Pak Saibani sambil tersenyum.
"Ya Allah, ternyata ayahnya Ustadzah Azizah temannya Kakek? Aku bertemu setiap hari saat mengaji di musala, tapi memang tak pernah bertanya mengenai keluarga Ustadzah. Banyak sekali ilmu dan hafalan yang diajarkan oleh Ustadzah." Dengan antusias aku bercerita tentang keakrabanku dengan guru ngajiku.
"Kakek juga baru tahu tadi kalau anaknya Pak Saibani ada yang tinggal di Desa Sungai Ampar. Kakek sempat menceritakan sekilas, ternyata Ustadzah Azizah pun sudah pernah mengkonsultasikan masalahmu pada Pak Saibani. Cuma beliau tak tahu bahwa yang diceritakan oleh anaknya adalah cucu Kakek." Kakek bercerita panjang lebar.
"Iya, Endit. Anakku bercerita kalau muridnya ada yang sangat cerdas dan pemberani. Ternyata cucunya siapa dulu." Pak Saibani memujiku dan Kakek.
Baru aku hendak membuka mulut untuk merespon ucapan Pak Saibani, terdengar suara Nenek. "Assalamualaikum, Pak Saibani. Bagaimana kabarnya?"
"Alaikumussalam. Alhamdulillah seperti ya Ibu lihat, kabar baik." Pak Saibani mengatupkan kedua telapak tangan membalas sapaan Nenek.
"Alhamdulillah. O, ya, makan malamnya sudah siap di dalam, Kek, Pak. Mari masuk. Ayo, Endit!" Nenek menunjuk ke arah ruang televisi dengan menggunakan jempolnya. Lalu menggandeng aku untuk ikut masuk ke sana.
Bunda sudah duduk di atas karpet. Di hadapannya sudah terhidang ikan Angsam dimasak asam pedas, ayam goreng, sambal terasi dan sayur tumis pakis. Aku segera mengambil posisi duduk di sebelah Bunda.
"Assalamualaikum, Pak." Bunda menangkupkan kedua telapak tangan di d**a saat melihat Pak Saibani memasuki ruangan.
"Alaikumussalam. Sudah lama tak bertemu dengan Nur. Apa kabar?" Pak Saibani membalas salam dari Bunda sambil duduk di atas karpet.
"Alhamdulillah, sehat, Pak. O, ya, saya minta maaf sewaktu Ibu Saibani meninggal, saya tidak bisa ikut takziah. Waktu itu sedang ada acara lomba di sekolahan saya dan sedang dikunjungi dari Dinas untuk penilaian." Bunda masih menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Iya, tak apa, Nur. Sebentar lagi sudah memasuki seribu hari meninggalnya Ibu. Tak terasa, sepertinya baru kemarin beliau meninggal di pangkuan saya. InsyaAllah beliau diterima amal ibadahnya, saya ridho dan sama sekali tak menyimpan rasa marah saat Ibu berpulang." Pak Saibani bercerita dengan tenang dan tersenyum. Tampak sekali keikhlasan di hatinya menerima semua ketentuan Allah.
"Aamiin. MasyaAllah. Sungguh kebahagiaan tak terkira meninggal dalam kondisi suami ridho." Bunda berkata sambil menganggukkan kepala.
"Betul sekali, karena Allah sudah memberikan surga bagi wanita yang meninggal dalam keadaan suami meridhoi dirinya." Pak Saibani kembali menjelaskan.
"Semoga nanti Bapak juga ridho pada Ibu, ya. Agar bisa berkumpul kembali di surga. Aamiin. Ayo, silahkan kita mulai makan, nanti keburu dingin." Nenek mempersilahkan Kakek dan Pak Saibani mengambil makanan terlebih dahulu.