Kakek keluar dari dalam kamarnya. Beliau tampak semakin ganteng dengan kopiah dan baju koko berwarna putih. Aku pun segera memujinya, "wah, Kakekku memang paling ganteng sedunia!"
Kakek tertawa dan menarik kursi di dekat komputer, menghadapkannya ke arah sofa. Merasa Kakek sudah siap mendengar, aku pun segera menyampaikan hasil kesepakatan antara aku, Nenek, dan Bunda. Walaupun dapat kupastikan Kakek tak keberatan, tentu akan lebih baik meminta persetujuannya juga sebagai sang pemilik kamar.
"Kek, Endit gak berani masuk ke dalam kamar yang ada ularnya tadi. Bunda pun gak berani kalau tidur sendirian di sana. Jadi boleh gak, Endit dan Bunda tidur di kamar Kakek? Nanti berempat dengan Kakek dan Nenek."
"Apa cukup kita tidur berempat sekasur? Nanti Kakek ketendang Endit pas lagi mimpi melawan ular siluman, malah jatuh ke lantai." Kakek berkata sambil bergaya seperti merajuk.
Aku tertawa lalu menjawab, "nanti Bunda akan minta tolong Bang Pardi untuk memindahkan kasur busa yang di kamar tamu ke kamar Kakek. Endit dan Bunda akan tidur memakai kasur itu."
Kakek malah bertanya lagi, "duh, bolehin gak, ya?"
"Kakek, boleh, yaa. Ya.. Endit gak mau tidur di situ, maunya di sana." Aku memohon sambil bergantian menunjuk ke arah kamarku dan kamar Kakek.
Kakek tertawa dan menjawab, "tentu saja boleh cucuku tersayang. Eh, sudah mau magrib ini! Tidak baik mandi pas azan berkumandang, apa lagi anak kecil seperti kamu. Ayo, sekarang Endit mandi dulu!"
Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih pada Kakek. Lalu segera bangkit dari sofa dan berkata pada Nenek dan Bunda, "ayo, Nek! Tolong temani Endit mandi di kamar Nenek. Bunda jangan lupa, ya! Tadi udah bilang ,kan, mau bawakan baju Endit ke kamar Nenek."
"Iya, Endit mandi saja dulu. Nanti Bunda susulkan handuk dan baju gantinya ke kamar Nenek. Bu, titip Endit dulu." Bunda bergegas melangkah ke dalam kamarnya setelah aku dan Nenek beranjak dari sofa.
Aku segera memasuki kamar Nenek dan Kakek. Kamar ini terletak di samping ruang tamu dengan jendela yang bisa melihat langsung ke halaman depan. Ukuran kamar ini jauh lebih besar dari pada kamar yang biasa aku dan Bunda tempati.
Nenek menemaniku sampai memasuki kamar mandi. Di sini aku tak perlu memakai ember dan gayung untuk mandi. Cukup menyalakan shower, lalu duduk bersandar di dalam bath tube berwarna putih.
Bahkan aku bisa memilih. Hendak mandi dengan air hangat atau air dingin. Sangat berbeda dengan di rumah Bunda yang harus memasak air dulu, jika ingin mandi dengan air hangat.
Tak lupa aku membaca doa saat hendak melangkahkan kaki kiri ketika hendak memasuki kamar mandi. Kata Ustadzah Azizah, jin paling suka bersarang di dalam tempat yang lembab seperti kamar mandi dan toilet. Dengan membaca doa sebelum memasukinya, jin akan lari dan tidak menjadi teman selama manusia beraktivitas di dalam kamar mandi dan toilet.
Aku mulai membuka pakaian dari sisi kiri tubuhku. Tak lupa pula membaca doa memohon perlindungan. Ustadzah Azizah bilang doa ini diucapkan saat membuka pakaian. Dengan tujuan agar jin tak bisa melihat tubuh manusia saat tanpa pakaian. Kini aku semakin menyadari bahwa setinggi-tingginya kemampuan jin dibandingkan manusia, Rasulullah telah mengajarkan berbagai doa agar manusia terlindung dari kejahilan dan kejahatan jin.
Aku melangkah memasuki bath tube. Sambil meluruskan kedua kaki, aku mulai menyalakan shower. Air hangat membasahi tubuhku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sensasi hangatnya mampu membangkitkan semangatku kembali.
Terdengar bunyi ketukan dari pintu kamar mandi. "Siapa?" aku bertanya walaupun sudah tahu bahwa tak akan ada orang lain yang bisa memasuki kamar selain Nenek dan Bunda.
"Nenek gerondong..." terdengar suara menyeramkan.
"Bundaaaa...!" aku berteriak ketakutan. Bunda membuka pintu kamar mandi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Takuuut, ya? Mana ada nenek gerondong mau gangguin anak kecil pake mengetuk pintu. Sopan amat hantunya." Bunda memasuki kamar mandi dan meletakkan handuk serta baju gantiku di meja dekat cermin. Wajahnya tampak sumringah karena telah berhasil menakut-nakutiku.
"Bun, gak ada yang namanya hantu. Tadi wikipedia menjelaskan kalau semua wujud hantu yang ada di film itu hanyalah perwujudan jin. Termasuk nenek gerondong yang sering dipakai Kak Ros menakuti Upin dan Ipin di cerita series." Aku berkata sambil menggosokkan sampo ke permukaan rambut.
"O gitu. Jadi termasuk pocong dan kuntilanak? Juga gendoruwo?" Bunda menatap ke arahku.
"Ih, Bunda pake menyebut nama semua jenis hantu lagi. Sengaja ya bikin Endit makin takut? Pokoknya Bunda harus temani sampai aku selesai mandi. Apalagi ini sampoan. Gimana kalau pas membilas sampo kan matanya dipejamkan, begitu buka mata tiba-tiba ada hantu yang Bunda sebutkan di depan Endit? Ah, gak mauuu!" Aku berkata sambil bergidig ngeri.
Entah ke mana keberanianku menguap. Padahal biasanya berjalan sendirian dari musala ke rumah saja berani. Padahal hanya ditemani oleh cahaya senter dan suara hewan nocturnal. Sepertinya teror jin seharian ini telah mengusik dan melunturkannya.
"Iya, tenang saja. Pasti Bunda temani. Tapi, di luar kamar, ya." Selesai mengucapkan kalimat itu, Bunda bergegas keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya.
"Bunda, nakal!" Aku pun berteriak kesal. Segera aku menyelesaikan menggosok badan dan segera membilas tubuhku. Setelah mengambil handuk dan membalutkan ke tubuh, aku pun langsung mengambil wudhu dan menyambar baju ganti sebelum keluar dari kamar mandi.
Ketika aku membuka pintu, aku langsung berhadapan dengan wajah Bunda yang memasang ekspresi menakut-nakuti. Aku berteriak karena kesal. Tanganku langsung menghujani pinggang Bunda dengan cubitan. Tapi tidak berhasil karena Bunda berlari menjauh sambil tertawa puas.
"Nur, eh, sukanya menggoda anaknya. Nanti nangis, lho! Sana gantian mandi! Keburu azan magrib." Nenek berteriak berusaha menghentikan aku yang terus mengejar Bunda.
Bunda segera berhenti berlari dan akhirnya aku berhasil menghujani dengan cubitan. "Bunda, nakal! Nanti Endit matikan, lho, lampunya pas Bunda mandi! Biar jinnya muncul." aku berkata sambil terus mencubiti pinggang Bunda.
"Hush! Jangan disebut-sebut! Nanti dikira manggil, lho!" Nenek mengingatkan padaku.
"Bunda tadi malah mengabsen semua nama hantu sewaktu mengantarkan handuk ke kamar mandi, Nek. Nakal kan? Ini makanya Endit pakai baju di kamar Nenek tidak berani di kamar mandi. Marahin aja nih, anak Nenek!" Aku mengadukan Bunda pada Nenek sambil mendekat padanya.
"Woh, biar saja! Nanti nama-nama yang disebutkan Bundamu tadi akan menemaninya pas mandi!" Nenek berkata sambil berlagak marah pada Bunda.
"Ibu, jangan doain yang jelek-jelek. Doanya ibu makbul, lho! Endit, ayo temani Bunda mandi!" Bunda berucap sambil menarik lenganku mengajak untuk ikut masuk ke dalam kamar mandi
Aku dan Nenek tertawa bersama. "Bunda ada-ada saja. Mana ada ceritanya orang tua yang minta ditemani sama anak kecil," aku berhasil membalas ejekan Bunda.
"Udah, cepet mandi Nur! Ibu juga mau mandi. Keburu magrib." Nenek berkata dengan nada tegas.
Bunda tersenyum pada Nenek dan menganggukkan kepala. Lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Nenek mengajakku duduk di kursi yang menghadap pada cermin. Dia menyisiri rambutku yang panjang.
"Udah wangi, udah cantik cucu Nenek. Endit mau nonton televisi atau duduk dulu di kasur Nenek sambil menunggu azan magrib?" Nenek bertanya sambil menatap mataku melalui pantulan pada cermin.
"Masih berapa menit lagi azannya, Nek?" Aku balik bertanya.
"Sekitar sepuluh menit lagi." Aku berpikir sejenak mendengar jawaban Nenek.
"Endit pinjam buku Nenek saja, ya. Mau baca di atas kasur." Aku menunjuk ke buku di atas meja.
"Buku dzikir pagi petang, Endit? Bagus ini, mumpung masih kecil bisa mulai dirutinkan mengamalkan dzikir pagi dan petang. Seperti saran dari ustad di pengajian Nenek." Nenek berkata sambil mengambilkan buku berwarna coklat untuk padaku.
"Nenek juga membacanya?" Aku mendongak dan menatap langsung ke mata Nenek.
"Iya, setiap selesai salat Dhuha dan selesai salat Ashar. Endit juga, ya." Nenek berkata sambil mengelus lembut rambutku.
Aku menganggukkan kepala dan menerima buku itu dari tangan Nenek. Kemudian aku beranjak dari kursi dan menaiki kasur Nenek yang empuk. Aku sandarkan tubuh di ujung kasur. Lalu mulai membuka buku yang ada di tanganku.
Aku mencari di daftar isi dzikir petang. Tertulis ada di halaman lima puluh lima. Segera aku mebuka halaman tersebut dan mulai membaca dzikir petang.