MENCARI JALAN KELUAR

1149 Kata
Kakek dan Bunda keluar dari dalam kamar. Mbak Etik masih berada di dalam kamar itu bersama Bang Pardi. Mereka sedang mengepel lantai, menyemprot pewangi ruangan, dan mengelapi jendela bekas ular tadi melata. "Benar-benar bersih, Bu. Sama sekali tak ada tanda-tanda bekas dilewati ular dan tetesan darah. Bau amis pun tak tercium. Termasuk di lokasi pertama Nur melihat ular itu. Tak ada bau amis juga di jendela." Bunda menceritakan kondisi dalam kamar. Aku bergidig ngeri mendengar penjelasan Bunda. Semakin terbukti bahwa ular tadi adalah jin yang sedang mewujudkan diri. Aku menatap ke arah Kakek yang sedang duduk bersandar di atas kursi. Wajahnya tampak sangat lelah. Kasihan Kakek. Tiba-tiba timbul rasa marah dalam dadaku. Jin yang mewujudkan diri menjadi ular itu telah mengganggu ketentraman Kakek dan Nenek. Dia telah membuat kami yang ada di rumah menjadi panik, juga merasa lelah dengan semua teror yang terjadi di hari ini. Aku teringat dengan sesuatu yang pernah diceritakan oleh Ustadzah Azizah. Ular tidak suka mencium bau wangi. Pantas saja Mbak Etik dan Bang Pardi menyemprotkan pewangi ke setiap celah dan sudut dalam kamarku. Akan tetapi, aku tak yakin pewangi itu akan manjur menakuti ular tadi. Karena sepertinya ular itu adalah jelmaan jin. Maka cara mengalahkannya tentu tidak dengan menyemprotkan wangi-wangian saja. "Kek, apa rencana yang ada dalam pikiran Kakek? Bagaimana cara kita akan menghentikan teror ular ini?" Aku bertanya sambil berjalan menuju sofa dan duduk di antara Kakek dan Nenek. Kakek menghela napas panjang. Seperti berusaha melepaskan beban berat dari atas pundaknya. Aku menepuk-nepuk lembut lengannya, berusaha memberi tanda bahwa aku akan membantunya menyelesaikan teror ular ini. "Setelah melihat tak ada jejak ular di dalam kamarmu, Kakek semakin yakin bahwa ular hijau tadi benar-benar jelmaan jin. Sepertinya Kakek akan meminta bantuan pada seorang teman." Kakek menjawab sambil menatap ke arahku. "Teman Kakek ada yang bisa melawan jin? Siapa, Kek?" Aku penasaran dan tak sabar menanti jawaban terlontar dari mulut Kakek. "Mau minta tolong ke siapa? Pak Saibani, ya, Pak?" Nenek menyebut sebuah nama. Aku merasa pernah mendengar nama itu. Tapi, entah di mana dan siapa yang menyebutkannya. Kakek mengalihkan pandangan ke arah Nenek dan menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Semoga Pak Saibani sedang di Kota Pontianak," tukas Kakek. "Aamiin. Sejak istrinya meninggal dunia dan dimakamkan di Jogja, mungkin Pak Saibani semakin sering berada di Jogja. Makanya grup pengajian ibu sudah jarang memanggilnya untuk mengisi pengajian rutin." Nenek menjelaskan panjang lebar. Tapi, tetap saja aku tak mendapatkan petunjuk di mana pernah mendengar nama itu. "Coba Bapak cari nomor teleponnya. Semoga Allah mudahkan kita untuk menghubungi Pak Saibani." Kakek berkata sambil beranjak menuju ke dalam kamarnya. Bunda yang sedari tadi berdiri mengamati, segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Bekas tempat duduk Kakek tadi. Bunda menarik tuas di pinggir sofa untuk membuat sandaran pada sofa terangkat dan menopang kakinya dengan nyaman. Walaupun sofa ini hanya cukup untuk tiga orang saja. Akan tetapi, pada sisi kanan dan kiri tersedia sandaran kaki. Sehingga sangat nyaman untuk diduduki oleh orang dewasa. Sedangkan bagian tengah hanya seperti kursi pada umumnya. Kami bertiga tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sama sekali tak ada yang memulai percakapan. Sepertinya teror ini telah berhasil membuat kami lelah jiwa dan raga. Akan tetapi, aku yakin sebesar apa pun masalah yang dihadapi, ada Allah yang akan memudahkan semua masalah ini. "Alhamdulillah, nomornya Pak Saibani masih tersimpan di sini." Kakek mengangkat sebuah buku kecil berwarna cokelat dalam genggaman tangan kanannya. "Alhamdulillah. Coba dihubungi, Kek. Semoga menyambung saat di telepon." Nenek berucap dengan antusias. Aku dan Bunda serempak mengaminkan doa yang diucapkan oleh Nenek. Kakek berjalan menuju pesawat telepon yang terletak di samping televisi. Seharian ini pikiranku sudah tersita. Biasanya di jam seperti ini, aku akan menonton acara kartun. Mumpung di rumah Kakek dan Nenek, aku bisa menyalakan televisi lama-lama tanpa khawatir akinya habis seperti di rumah dinas Bunda. "Assalamualaikum. Bisa bicara dengan Pak Saibani? ... Alhamdulillah. Iya, betul. Masih hafal rupanya dengan suara saya ... Begini Pak Saibani. Seharian ini saya dan keluarga dinampakkan sosok ular warna hijau sampai tiga kali. Masalahnya ini bukan ular biasa, cucu saya si Endit sempat memukulnya dengan bambu kuning sambil baca Bismillahi Allahu Akbar. Eh, menghilang ularnya ... Nah, makanya ... Ya, Alhamdulillah kalau Pak Saibani bisa membantu kami. Saya jemput, ya? ... Oh, Alhamdulillah ... Baik ... Siaaap .... Assalamualaikum." Kakek meletakkan lagi gagang telepon di tempat semula. Wajahnya tampak lebih tenang. Bunda bangkit dari sofa saat melihat Kakek berjalan ke arah kami. "Udah, di situ saja, Nur. Kamu kan butuh istirahat. Bapak duduk di sini saja." Kakek melambaikan tangan pada Bunda. Dia menarik kursi lipat di dekat meja komputer dan menempatkannya di dekat Nenek. Lalu Kakek duduk di atas kursi lipat itu. "Gimana, Pak? Apa kata Pak Saibani?" Nenek melontarkan tanya sambil memajukan punggungnya ke arah Kakek. "Alhamdulillah, Bu. Setelah magrib, beliau mau ngisi pengajian dulu. Insyaallah setelah isya beliau langsung datang ke rumah kita. Kan acaranya di Mesjid Al Furqan. Jadi, sekalian melewati sewaktu pulang." Kakek menjelaskan dengan wajah yang lebih tenang. Aku bersyukur sekali melihat perubahan pada wajah dan nada suara Kakek. Kini sudah lebih tenang dan tidak nampak muram. Semoga teror ini segera berakhir, agar aku dapat menikmati masa liburan ini dengan bahagia bersama Kakek dan Nenek. "Sudah mau magrib. Kakek mau siap-siap ke mesjid." Kakek berdiri dan melangkah ke kamar. "Iya, Kek" Aku, Nenek, dan Bunda serempak menjawab ucapan Kakek bagaikan sedang paduan suara. Menyadari kekompakan ini, kami pun tergelak. Kakek menoleh sejenak dan ikut tertawa sambil meneruskan langkah kakinya menuju kamar. Akhirnya ketegangan sore ini telah mencair. "Ayo, mandi dulu! Sudah mau magrib, Endit." Bunda mencolek pipiku. Aku menatap ke dalam matanya dan berkata, "boleh gak Endit sore ini mandi di kamar Nenek dan tidur di sana? Endit masih takut masuk ke dalam kamar itu." Aku mengarahkan telunjuk kananku ke kamar di mana ular tadi berada. Bunda tersenyum dan mengalihkan pandangan pada Nenek. "Bunda boleh-boleh saja. Endit tanya ke Nenek, dong. Kan, yang punya kamar Nenek." Aku tertawa dan berpaling ke arah Nenek yang langsung memeluk erat tubuhku. "Gak usah pake nanya, Endit sudah tahu jawabannya. Nenek, kan, sayang sekali sama Endit. Ya, kan, Nek?" "Ih, ge er!" Bunda mengacak rambutku. Nenek terkekeh dan berkata lagi, "jelas sayang, dong. Endit kan satu-satunya cucu Nenek. Nur tolong ambilkan saja baju Endit, ya. Biar Endit mandi dan tidur sama Ibu dan Bapak." "Terus Nur tidur sendirian di situ, Bu? Nur juga takut. Kita tidur berempat saja, ya." Bunda merengek pada Nenek. Aku dan Nenek tertawa. Rupanya Bunda pun takut tidur di kamar itu seorang diri. Padahal biasanya Bunda berani saat kutinggal tidur bersama Kakek dan Nenek. "Kalau begitu, nanti kamu minta Bang Pardi mengangkatkan kasur busa dari kamar tamu ke kamar Ibu. Biar kita tidak desak-desakan di atas satu kasur. Bisa-bisa Ibu yang tak bisa tidur karena kesempitan." Nenek berucap sambil tersenyum lebar. "Alhamdulillah. Nanti Nur sampaikan ke Bang Pardi atau Mbak Etik pesan dari Ibu itu. Makasi, ya, Ibuku yang cantik jelita seperti anaknya." Bunda merayu Nenek sambil tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN