Jenar mengantuk-antukkan belakang kepalanya di dinding dengan mata terpejam begitu keluar dari kantor Dean dan melakukan semua pelecehan itu terhadap sang bos. Dia memang terbawa perasaan kesal dan tidak terima, tetapi dia menyadari penyesalan yang amat luar biasa.
“Aih!” Gadis itu merengek sambil menangkup wajah menggunakan tangan. “Kenapa malah aku menciumnya? Bodohnya! Dasar Jenar bodoh! Bodoh! Bodoh!”
Berada di tangga darurat yang sepi, Jenar menghentak-hentakkan kaki melampiaskan penyesalan yang tidak berguna. Bukannya berusaha mengurangi utang dengan membawa Hidan ke agensi, dia justru macam-macam dengan berani mencium Dean dan berkata omong kosong.
Sekarang jika ternyata tidak ada keberuntungan yang datang pada pria itu agar membuktikan ucapannya, Jenar mungkin benar-benar harus pergi dari perusahaan ini.
“Apa aku paksa Hidan ke sini saja?” Jenar menggigit punggung tangannya sambil memegang ponsel yang kini tertera nama dan nomor Hidan di sana.
Gadis itu mengetuk ujung sepatunya pada lantai berulang kali, mencoba berpikir apa yang harus dia lakukan untuk bisa keluar dari situasi berat ini. Namun, tiba-tiba panggilan telepon dari Jillian membuat Jenar tersentak dan segera menerimanya.
“Ya? Ada apa?”
“Kamu ada di mana?! Cepat datang ke sini sebelum aku marah!” bentak Jillian terdengar penuh emosi.
Jenar segera berlari keluar dari tangga darurat, secepat mungkin datang ke tempat di mana Jillian berada sebelum masalah datang menambah beban hidup. Sementara itu, Dean dibuat putus asa di kantornya malam-malam begini padahal seharusnya dia sudah pulang dan bersantai di rumah.
Apa yang dilakukan Jenar tadi benar-benar membuatnya shock. Seumur hidup Dean selalu menjaga diri dari jangkauan para wanita, apalagi bibirnya, yang memang tidak seharusnya dijamah oleh siapapun. Namun, gadis cupu yang membuatnya beruntung dan tidak beruntung itu berani mengambil keperjakaannya sebagai pria yang hampir melajang selama empat puluh tahun ini.
“Hah ….”
Lagi-lagi helaan napas meluncur bebas dari mulutnya. Dean menengadah ke atas, merasakan kekacauan yang membuatnya tak tahu harus bagaimana. Selama ini dia memang selalu sial setiap kali bersentuhan dengan wanita, tetapi apa yang Jenar katakan tentang keberuntungan dan kesialan datang karena diri sendiri cukup membuatnya bimbang.
Bahkan ciuman yang Jenar lakukan tadi diharapkan menjadi bukti tentang apakah pemikiran Dean tentang bersentuhan dengan perempuan membuatnya sial atau beruntung, atau malah menjadi sesuatu yang tidak berarti seperti kata Jenar. Kenyataannya, sekarang pria itu hanya dibuat bingung dengan hasilnya.
Dia kembali menatap ponsel yang tergeletak di atas meja. Beberapa menit yang lalu dia mendapat telepon dari kampung halaman dan membuktikan jika pemikirannya selama ini salah, tetapi apa yang Jenar katakan juga salah. Yang benar adalah Naga, bahwa gadis itu adalah satu-satunya wanita yang bisa Dean dekati.
Baru saja sang ibu mengabari jika dia berhasil membeli sebidang tanah padahal selama ini pemiliknya selalu menolak menjualnya. Entah sebesar apa pun orang-orang menawar tanah seluas sepuluh hektar itu, mereka selalu bilang tidak. Namun tiba-tiba saja mereka datang dan menjual tanah tersebut kepada Ratna Andini.
“Arghh, kamu ini keberuntungan atau pembawa sial, sebenarnya?”
Dean memejamkan mata, tak ingin terlalu memikirkan sesuatu yang membuatnya risih –jika satu-satunya wanita yang bisa dia sentuh adalah Jenar, manajer abal-abal yang punya penampilan seperti orang culun, apalagi kacamatanya yang tampak seperti mata serangga.
“Ah, sial!”
Dean tak henti-hentinya mengumpat menerima fakta yang satu itu.
“Kacamata itu membuatnya terlihat seperti kecoak!”
***
“Aku mau diapakan?”
Jenar tidak tahu apa yang terjadi karena dia pikir Jillian sedang marah besar dan bersiap menghukumnya karena telat datang. Namun, sekarang dia didudukkan di depan cermin bersama penata rias yang sedang melepaskan kacamata bulat miliknya.
“Jillian, apa yang kamu lakukan?” tanya Jenar sambil menatap Jillian melalui pantulan cermin meski penglihatannya tidak memungkinkan dan lelaki itu hanya tersenyum sambil memainkan ponselnya. “Jill?”
“Ssst! Diam saja dulu. Nanti kamu bakal tahu.”
Jenar mencoba menoleh, tetapi penata rias itu kembali memutar kepalanya agar menghadap ke cermin. Lalu setelah itu, langkah demi langkah dilakukan mulai dari memasang softlens minus yang langsung membuat gadis itu bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata.
“Wah, ternyata seperti ini rasanya bisa melihat tanpa kacamata.”
Jillian mendongak dan menatap Jenar. “Memangnya sejak bayi kamu pakai kacamata?!”
“Tidak juga, tapi sejak sekolah dasar aku sudah memakainya.” Jenar tersenyum miris. “Tiada hari tanpa kacamata.”
“Wah ….”
Setelah memakai softlens minus, penata rias itu mulai memoles wajah Jenar selama hampir tiga puluh menit. Baru setelahnya menata rambut lurusnya menjadi lebih bergelombang dan punya volume dan menyesuaikannya dengan bentuk wajah bulatnya.
“Nah, kalau begini kan cantik!” seru penata rias tersebut.
Jenar menganga menatap wajahnya sendiri di cermin. Tidak ada kulit kusam dan bibir kehitaman, atau lingkaran hitam yang tiap hari sulit diatasi. Sekarang dia merasa seperti sosok yang berbeda, bukan lagi Jenar bermata empat yang punya bintik-bintik hitam di wajahnya.
“Ini benar-benar aku?” tanya Jenar sambil menangkup wajah menggunakan dua tangan, agak tak percaya jika perempuan cantik itu memanglah dirinya sendiri.
Dia kemudian berbalik hendak menunjukkan perubahannya kepada Jillian, tetapi ternyata lelaki itu sudah tidak ada di tempat semula. “Ke mana dan kapan dia pergi?!”
“Sudah agak lama,” balas si penata rias sambil membereskan alat-alatnya. “Kalau kamu mau dirias lagi besok, cukup dua juta saja. Aku beri diskon.”
“Dua juta? Saja?” Gadis itu terbelalak dan membuat penata rias tersebut terperanjat. “Apa tidak kemahalan?!”
“Memangnya aku MUA pengantin?” Penata rias itu memutar bola mata. “Riasanmu ini seharga empat juta dan Jillian yang bayar,” lanjutnya sambil melangkah pergi dari sana.
“E-empat juta?” Suara Jenar terdengar gemetaran. “Di-dia tidak akan menagihnya, ‘kan?”
Kembali gadis itu menghadap cermin dan menatap diri sendiri yang terlihat ketakutan. “Apa aku hapus saja make upnya?” Jenar mengambil kapas, tetapi detik itu juga tangannya berhenti. “Tapi sayang sekali kalau dihapus sekarang.”
Lantas setelah beberapa saat memikirkan sesuatu yang tidak pasti, Jenar beranjak berdiri dan pergi dari ruangan tersebut membawa serta barang-barangnya. Besok pagi-pagi pukul tujuh dia harus berangkat mengantar Jillian ke lokasi syuting dan tetap berada di sana sambil menerka-nerka apakah artisnya akan menagih bayaran make up, bisa-bisa dia tidak akan tidur semalaman.
Sementara itu, Dean baru saja tiba di lantai dasar menggunakan lift pribadinya. Dia melangkah keluar menuju lobi dan bergerak ke mobilnya yang kali ini diparkirkan di depan gedung. Namun, dari arah lain pria itu melihat sosok perempuan yang tidak asing, tetapi terlihat asing karena riasan di wajahnya yang berseri-seri.
Langkah Dean terhenti begitu saja saat Jenar muncul membawa tas besarnya. Tidak ada kacamata yang membuat gadis itu terlihat seperti kecoak, tidak ada lagi kulit kusam yang beberapa saat lalu berada dekat sekali dengan wajah Dean.
Saat Jenar menyadari jika Dean memperhatikannya, dia berhenti melangkah dan salah tingkah sendiri, mengingat kesalahan fatal yang dilakukannya tadi. Akan tetapi, dia berpura-pura tidak melihat dan pergi begitu saja dengan langkah cepat, hampir seperti sedang berlari.
“Berhenti di sana!”
Suasana di gedung sudah cukup sepi, hanya ada beberapa staf dan artis pendatang baru yang berlatih mati-matian sampai pulang larut malam, juga Dean yang melangkah mendekati Jenar yang kini merasa didekati oleh malaikat pencabut nyawa dan membuat bulu-bulu di tubuhnya meremang.
“Ada … ada perlu apa, Pak?” tanya Jenar tergagap. Dia bahkan tidak bisa menatap mata Dean yang bahkan mengeluarkan aura sedingin es.
“Kamu salah dan aku juga salah,” ujar pria itu tegas, tetapi sedetik kemudian dia menggeleng karena merasa tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. “Maksudku, kita berdua mungkin benar dan salah.”
Jenar sontak menatap bosnya dengan ekspresi bertanya-tanya. “Ap-apanya yang salah dan benar?”
“Keberuntungan dan kesialan itu bukan karena dari diri sendiri. Bukan juga karena sentuhan perempuan, atau karena memang karena itu.” kata Dean yang masih tetap tidak bisa dimengerti oleh gadis di depannya.
“Jadi … yang benar apa dong?” Jenar bertanya sambil tertawa canggung. “Saya, kurang mengerti ucapan Bapak.”
“Apa kamu mau menciumku sekali lagi?”
Jenar terperanjat detik itu juga. Dia mengedarkan pandangan, memperhatikan orang-orang yang mungkin saja mendengar ucapan sang bos yang tidak masuk akal.
“Pak, apa Bapak lagi menguji saya?” Jenar menyentuh dadanya sendiri. “Apa Bapak lagi bikin saya menderita?”
Dean melangkah maju daripada menjawab kekhawatiran Jenar, tetapi gadis itu juga melangkah mundur agar bisa terhindar dari marabahaya yang dibawa pria itu.
“Kamu bilang kamu lahir bulan desember di tahun babi, jadi cuma kamu yang bisa aku percayai.” Dean menarik napas dalam-dalam, memantapkan apa yang sedang memenuhi otaknya saat ini dan memastikan jika tidak akan ada kesalahan yang terjadi kedepannya.
“Tahun babi lagi ….” Jenar mendesah panjang.
“Jadi, Ning ... apa kamu mau jadi satu-satunya wanita yang bisa aku sentuh?”
Bisa kamu sentuh? Ambigu sekali.
“Maksud Pak Dean apa, ya?”