“Aku dengar kamu ada hubungan sama Pak Dean?”
Pertanyaan Sharon barusan membuat Jenar melotot dan berekspresi jijik, juga tidak percaya. Apa yang terjadi beberapa malam lalu itu memang semacam lamaran mendadak seolah lawan jenis di dunia ini sudah musnah, tapi gadis itu yakin tidak seorang pun mendengar omong kosong Dean yang sangat ambigu.
Memang ada beberapa orang, tetapi kebanyakan dari mereka adalah publik figur yang pasti tidak akan buka mulut soal apa pun yang tidak seharusnya, apalagi urusan CEO agensi mereka sendiri.
Saat ini mereka berdua berdiri di depan lift, menunggu tabung berjalan itu turun dari lantai tujuh ke lantai satu, di mana Jenar dan Sharon berada.
Jenar melangkah mundur, menjauh dari Sharon yang masih menatapnya dengan sorot menyelidik. “Coba kamu bayangin, apa mungkin perempuan seperti aku,” ucapnya sambil menunjuk diri sendiri, “yang punya empat mata begini, juga penampilan kampungan, bisa punya hubungan sama Pak Bos? Kecuali sebagai atasan dan bawahan?”
“Iya juga, sih.” Sharon mengangguk-anggukkan kepala dan menggigit roti coklatnya lalu mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan sesuatu. “Lagian tidak mungkin juga kalau kalau perempuan cantik ini kamu.”
Jenar melotot lebar-lebar, bahkan sontak memegangi gagang kacamatanya dan memastikan siapa wanita yang ada di layar ponsel Sharon yang menjadi penyebab mengapa perempuan itu melayangkan pertanyaan konyol sepagi ini.
Memang benar jika wanita yang berhadapan dengan Dean di foto tersebut adalah Jenar yang malam itu didandani cantik oleh make up artist dengan biaya sebesar empat juta rupiah. Wajar jika Sharon pangling, apalagi posisinya foto tersebut diambil dari sudut yang terhalang orang-orang hingga pakaian Jenar tidak sepenuhnya terlihat.
Ini memang aku, tapi aku yakin jika ini bukan satu-satunya foto yang diambil! Mereka pasti punya foto yang lebih jelas! Aku harus bagaimana, ya Tuhan?!
Jenar menangis dalam hati sambil memelototi foto yang Sharon tunjukkan sampai gadis itu menyimpannya kembali ke dalam saku.
“Mustahil juga kalau Pak Dean menjalin hubungan dengan perempuan. Dia kan alergi sama wanita.” Sharon cekikikan setelah mengatakannya, sementara Jenar mengangguk-angguk sambil tertawa canggung.
“Ya, ‘kan? Mana mungkin juga kalau itu aku. Perempuan tadi itu cantik, tapi aku punya dua mata minus dan dua mata belalang ini. Pasti tidak mungkin.”
“Heran. Siapa yang menyebar gosip kalau gadis itu kamu?”
Jenar mengangkat bahu, pura-pura tak tahu dan mencoba menyudahi obrolan yang mungkin akan membuatnya keceplosan dan mengaku jika gadis itu benar-benar dirinya. Cukup dia dan Dean, juga Jillian yang tahu soal ini sebab kalau tidak, hidupnya tidak akan tenang.
Digosipkan punya hubungan sama orang kaya? Tidak, tidak. Pasti aku yang bakal rugi dan direndahkan sama orang satu negara!
Bunyi denting terdengar dan beberapa detik setelahnya pintu lift terbuka. Ketika keduanya hendak masuk, mereka mengurungkan niat detik itu juga saat melihat seseorang yang tidak seharusnya berada di lift para karyawan.
Apa kami yang salah? Kedua gadis itu bertanya-tanya dan memastikan dengan cara mengalihkan ke arah lift lain dan memang benar jika Dean lah yang berdiri di dalam lift karyawan, bukan lift khusus.
Jenar dan Sharon saling berpandangan, mengangkat kedua alis mereka seolah berkata, “Apa yang salah dengan orang itu?”
Langkah kaki Dean yang terdengar keluar membuat Jenar dan Sharon tersadar kembali dan menyediakan ruang agar bos mereka bisa pergi tanpa terancam ketiban sial. Namun, tiba-tiba saja pria itu berhenti di depan Jenar dan membuatnya mendongak sebentar lalu kembali menunduk.
“Kenapa kamu di sini, Ning?” tanya Dean dengan nada bicaranya yang dingin.
Sharon memilih pergi lebih dulu tanpa peduli dengan Jenar yang memintanya untuk tinggal. Entah apa yang sebenarnya terjadi, gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu pikir memang ada sesuatu yang terjadi di antara Jenar dan bosnya. Sekarang dia kembali terganggu jika memang Jenar lah gadis yang difoto tadi.
“Aku tanya kenapa malah kamu datang ke sini, Ning?” tanya Dean lagi setelah Jenar tidak menanggapi pertanyaannya tadi.
“Ya … saya kerja di sini, Pak, makanya datang ke sini,” jawab Jenar apa adanya. Dia menatap Dean dengan sorot yang jauh dari kata tegas. “Terus, kenapa Bapak panggil saya Nang-Ning-Nang-Ning? Nama saya Jenar, Pak, Jenar!”
“Panggilan Ning lebih singkat dan mudah diucapkan,” tandas Dean cepat dan membuat Jenar berhenti berbicara. “Dan juga, sudah jelas-jelas aku mengirim pesan padamu untuk datang ke suatu tempat, tapi kenapa malah datang ke sini?”
“Pesan untuk saya, Pak?” Jenar bertanya memastikan sambil merogoh tas dan mengambil telepon genggamnya. Namun, tidak ada satu pun pesan masuk seperti yang Dean katakan. “Tidak ada, Pak. Bapak tidak mengirim pesan sama sekali kepada saya.”
Pria itu sontak mengerutkan kening dan memeriksa ponselnya. Dean sudah mengirim pesan kepada Jenar pagi tadi dan bahkan dibaca oleh gadis itu beberapa menit setelahnya. “Sudah,” tergasnya sambil menunjukkan pesan tersebut. “Kamu juga sudah membacanya pagi tadi, tapi sama sekali tidak ada balasan.”
“Kok bisa?”
“Kamu bertanya padaku?” Dean mendengkus kesal dan beranjak dari sana. “Kalau begitu kita langsung pergi saja sekarang.”
“Kemana, Pak?”
Pertanyaan Jenar barusan membuat Dean menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.
“Kenapa kamu banyak tanya?”
***
Ada di pusat Kota Jakarta, butik yang menempati salah satu lokasi di pusat perbelanjaan elit itu didatangi untuk kali pertama dalam hidup Jenar yang serba sederhana. Tempatnya berkelas, bahkan pakaian yang ada pun terlihat mengerikan karena punya harga selangit.
Bahkan hanya dengan masuk dan melihat jejeran baju-baju itu sudah membuat Jenar merinding dan tidak berani menyentuhnya. Apalagi ketika secara tidak sengaja dia melihat bandrol yang menggantung pada jas wanita berwarna merah muda dekat pintu yang harganya mencapai tujuh juta rupiah.
“Ya ampun, kerja dua bulan juga tidak bisa membeli jas seperti itu?!”
Dengan langkah kecil dan penuh dengan rasa tidak percaya diri, gadis itu mengikuti ke mana Dean pergi. Lalu setelah mereka tiba di tengah ruangan yang terdapat meja dan kursi untuk para pelanggan, keduanya berhenti di sana yang lantas dihampiri oleh staf berseragam hitam yang sedang bertugas.
“Selamat datang, Pak,” sapa staf wanita tersebut dengan ramah. “Kalau tigak keberatan, saya bisa menyarankan beberapa pilihan yang cocok untuk Anda.”
Dean mengangkat tangan kirinya. “Bawa beberapa pakaian yang cocok untuk perempuan ini,” katanya sambil menunjuk Jenar yang tersentak.
“Baik.”
Jenar bergerak mendekat ke arah Dean dan tanpa sadar memegang lengan pria itu dan berkata, “Buat apa Bapak memintanya memilih baju untuk saya? Saya tidak bisa memakai pakaian dari toko ini, Pak!”
“Kamu seharusnya jangan pura-pura tidak tahu setelah membaca pesanku–”
“Tapi saya benar-benar tidak menerima dan membacanya, Pak!” Jenar menimpali cepat dan sesaat itu juga dia melihat Dean melotot. “Saya tidak bohong, Pak ….”
“Sudah, tidak penting. Sekarang kamu pergi dan coba baju-baju yang dia pilih.” Dean melepas pegangan tangan Jenar di sikunya dan sontak membuat gadis itu menarik tangannya sendiri.
“Maaf, Pak, maaf! Saya tidak sadar!”
“Cepat pergi sana!”
Tanpa berniat melawan, gadis itu melangkah mundur dan menghampiri pegawai toko yang telah memegang sekitar lima pakaian berbeda jenis dan warna. Jenar menerima semua itu dan membawanya ke ruang ganti tanpa tahu apa yang akan Dean lakukan setelah membuatnya memakai baju-baju itu.
Jika dipikir-pikir, Jenar tidak mengerti mengapa pria itu kini selalu mengganggu dan membuat hidupnya tidak tenang. Padahal jika karena bulan desember di tahun babi, sudah pasti ada banyak perempuan yang lahir di bulan itu. Namun, apa yang lebih membingungkan adalah, siapa yang telah membuka pesan dari Dean dan menghapusnya tanpa izin sampai-sampai membuatnya kesulitan seperti ini.
Pakaian yang harus Jenar coba adalah gaun warna kuning selutut dengan bagian pinggang ketat dan membuatnya harus menahan napas. Belum lagi bagian d**a rendah yang membuatnya malu.
Gadis itu menyibak tirai dan memperlihatkan penampilannya pada Dean yang tampak kurang suka padahal Jenar sudah mengecilkan perut dengan cara menahan napas dan itu membuat lehernya tegang.
“Kenapa kamu tegang begitu?” Dean mengernyit heran. “Warnanya tidak cocok dengan kulitmu yang agak gelap. Coba yang lain!”
Meski tersinggung dengan ucapan bosnya barusan, Jenar hanya bisa menghela napas dan kembali ke dalam ruang ganti untuk mencoba pakaian yang lain, sementara Dean duduk diam sambil menyilangkan kaki dan menunggu dengan santai.
Dari arah pintu masuk, Felicia muncul seorang diri. Suara sepatu hak tingginya mengganggu telinga Dean, tetapi tidak lantas membuatnya menoleh sampai ketika pria itu beranjak berdiri hendak memilih pakaian yang lebih cocok untuk Jenar, tiba-tiba Felicia datang merangkul lengannya.
Sontak saja Dean terperanjat dan mencoba menarik diri, tetapi begitu melihat orang penting yang sedang bekerja sama dengan Jillian, dia mengurungkan niat dan menyapa dengan ramah.
“Selamat siang, Bu Felicia,” sapa Dean dengan ramah.
“Selamat siang, Pak Dean.” Felicia membalas dengan senyuman manis. “Sepertinya kita berdua ditakdirkan sering bertemu, ya, Pak Dean.”
“Sepertinya begitu.” Dean membalas dengan tawa canggung dan berusaha melepaskan tangan Felicia dengan pelan.
Tanpa mereka ketahui, ada seorang wartawan yang membuntuti Felicia karena informasi penting yang masih belum jelas, tetapi sekarang dia mendapat umpan besar yang begitu melihat wanita yang disebut anak Dharman Kartajaya itu menjalin hubungan dengan Dean Kartajaya, CEO HL Entertainment.
Wartawan tersebut menekan tombol kamera dan mengambil foto mereka berdua. Di saat bersamaan, Jenar muncul dari ruang ganti memakan setelan warna abu yang cukup dirasa nyaman.
“Pak, kalau boleh memilih–”
Ucapan Jenar terhenti saat melihat Dean dan Felicia seperti berpegangan tangan, padahal pria itu berusaha melepas pegangan Felisia di sikunya. Jenar lantas kembali masuk, tak ingin mengacaukan situasi romantis tersebut.
“Dasar buaya darat! Dia punya wanita cantik seperti itu, masih saja membuatku ikut campur begini?!”