Hari ini proses syuting drama dimulai dan Jenar sepenuhnya menjadi manajer Jillian yang siaga saat bersama lelaki itu. Kejadian tempo hari yang membuatnya diberhentikan menjadi asisten pribadi Dean benar-benar menghilangkan rasa semangat dan harapannya lantaran gadis itu mau tak mau harus membayar utang sebesar dua puluh juta dan tidak jadi menerima tunjangan yang lebih besar.
Jillian menadahkan tangannya ke arah Jenar meminta sesuatu, tetapi gadis itu melamun dan memikirkan keberuntungannya yang perlahan seperti berkurang waktu demi waktu.
“Jen! Jenar?”
Gadis itu tersentak dan tersadar dari lamunan, lalu menatap Jillian yang terlihat kesal. “Ya? Kamu butuh apa?”
“Aku butuh kesadaranmu!” Jillian menjawab sambil merebut botol air minum di tangan Jenar tanpa mengalihkan tatapannya yang tajam. “Kamu mikirin apa sampai kelihatan kayak orang bodoh begitu?”
“Bukan apa-apa.” Jenar tersenyum canggung. “Aku cuma agak bosan, ternyata jadi manajer tidak sibuk-sibuk amat.”
Jillian mendengkus setelah meneguk air minumnya dan memberikan botol tersebut kepada Jenar. “Belum. Nanti kamu juga tidak akan bisa istirahat kalau aku ada jadwal syuting tengah malam.”
Jenar melotot. “Memangnya ada yang sampai tengah malam?!”
“Bukan sampai, tapi baru mulai.”
Jenar menganga lebar dengan mata terbelalak. Tidak seharusnya dia beralasan bosan hanya untuk menutupi apa yang dipikirkan olehnya jika suatu saat nanti dirinya harus siap pergi bekerja tengah malam dan tidak tidur sampai malam lagi.
“Tapi omong-omong, apa kamu harus pakai kacamata itu?” tanya Jillian sambil menunjuk kacamata Jenar yang berbingkai tebal. “Kamu kelihatan culun dan nggak cocok buat seorang manajer artis seperti diriku.”
Jenar membenarkan posisi kacamatanya dengan sombong. “Kamu pasti belum tahu, tapi benda ini adalah mataku! Aku tidak bisa melihat tanpanya!”
“Seriusan?!” Jillian memekik tidak percaya dan raut wajah Jenar yang merengut adalah jawaban pasti jika pengakuan gadis itu merupakan sesuatu yang benar. “Kau masih muda kenapa sudah kalah dari nenekku?”
“Ah!” Jenar mendesah kasar, tak terima dengan hinaan dari Jillian. Namun, saat dia hendak membalas, dia melihat sutradara melambaikan tangan. “Pergilah. Sutradara sudah memanggil dan kamu harus bekerja!”
“Oke, oke.” Jillan beranjak berdiri. “Nanti akan aku belikan softlens yang bisa membuatmu melihat dengan normal, ya!”
“Wah ….” Jenar dibuat tak bisa berkata-kata dan hanya bisa mengipasi wajahnya menggunakan kipas yang digunakan Jillian. “Aku heran kenapa orang-orang seperti Jillian dan Pak Bos bisa berkumpul di tempat yang sama. Apa mungkin itu agensi untuk orang-orang sombong dan punya mulut yang tidak bisa dijaga?!”
***
Sudah satu minggu berlalu semenjak insiden terpeleset kulit pisang. Dean kini telah mendapatkan kepercayaan diri begitu merasa jika punggungnya telah kembali normal dan membuatnya tampak mempesona seperti biasa.
Pria itu sedang berada di kantor, memeriksa perkembangan artis-artisnya yang sedang mengerjakan proyek mereka sendiri, termasuk Jillian yang menunjukkan hasil positif saat membintangi drama adaptasi dari novel terkenal milik Felicia Cantika Dewi.
Di saat Dean sedang membaca artikel-artikel tentang drama baru yang bermunculan, Irgi masuk dengan langkah serius lalu menyerahkan sesuatu kepadanya. Dia lantas mengambil tablet tersebut dan melihat foto seorang pemuda yang punya karakter kuat pada wajahnya.
“Siapa anak ini?” tanya Dean tanpa mengalihkan perhatiannya pada pemuda berseragam SMA tersebut.
“Dia murid kelas dua menengah atas, namanya Hidan Pradipta. Mungkin Anda bisa menyadari juga karakter di wajahnya yang cukup kuat dan cocok untuk diajak bergabung dengan kita,” jelas Irgi dengan singkat.
Dean masih mengamati wajah Hidan yang diambil dari media sosialnya itu. “Sudah coba bertemu dengan anak ini?”
Irgi tiba-tiba terlihat kecewa. “Sudah tadi pagi, tapi dia menolak keras dan tidak mau mendengar penjelasan apa pun.”
Helaan napas terdengar dari arah Dean saat dirinya menyandarkan punggung pada kursi. “Kamu yakin bisa mendapatkannya?” tanyanya sambil menatap Irgi dan dia mendapat anggukan kepala dari laki-laki itu. “Kalau begitu dapatkan anak ini karena dia punya wajah yang cukup bagus untuk tampil di layar kaca.”
“Baik!”
Sesaat setelah Irgi menerima perintah, Jenar masuk dengan penampilan seperti orang yang kehabisan daya dan hampir mati karena sesuatu. Dean yang melihatnya hanya mengerutkan dahi, sementara Irgi agak bingung karena ini adalah kali pertama dia melihat seorang wanita masuk ke kantor presdir.
“Tu-tunggu, tunggu! Kamu salah masuk, iya, ‘kan?” tanya Irgi memastikan sambil berusaha menahan Jenar, tetapi Dean membuatnya terkejut dengan kata-kata yang dilontarkan olehnya.
“Biarkan saja. Dia manajer Jillian yang baru.”
“Tapi tetap saja, biasanya Naga yang menyampaikan.” Irgi menggaruk belakang kepalanya sendiri dan menyingkir dari hadapan Jenar dan membiarkan gadis itu masuk.
“Ada apa?” tanya Dean sesaat setelah Jenar tiba di depan mejanya. Dia juga menyuruh Irgi keluar detik itu juga.
Baru saja Jenar membuka mulut hendak menyampaikan keinginannya untuk berhenti menjadi manajer Jillian, matanya tak sengaja melihat foto sang adik di meja Dean dan itu membuatnya lupa untuk apa dirinya datang. “Kenapa Hidan ada di sini?”
Dean yang mendengar sontak beranjak dan melangkah maju, lalu menarik pundak Jenar agar berhadapan dengannya. “Kamu kenal sama anak ini?” tanyanya.
“Dia adik saya, Pak,” jawab Jenar pelan yang sontak membuat pria itu menghela napas lega. Dia juga meneguk ludah begitu sadar jika Dean menyentuhnya. “Terus, kenapa ada foto Hidan di sini?”
“Kamu kakaknya?” Dean memastikan sambil mencengkram kedua bahu Jenar. Meski tidak terlihat mirip dan perbedaannya jauh sekali, dia akan mencoba menerima dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Bagus sekali. Kamu harus bantu kami merekrut adikmu untuk bergabung di sini!”
“Adik saya masih sekolah, Pak,” ujar Jenar tak mengerti. “Lagi pula memangnya ada posisi yang bisa didapatkan lulusan SMA saja?”
Dean menggeleng mantap dengan mata terpejam. “Maksudku merekrutnya jadi artis, bukan karyawan kantor.”
“A-artis?!” pekik gadis itu. “Tidak boleh!”
“Kenapa?” Dean sontak melotot dan memperkuat cengkramannya.
“Ya, pokoknya tidak boleh.”
Pria itu sontak melepaskan kedua tangannya dan menyugar rambut, mencoba bersabar dengan penolakan mentah-mentah yang diberikan oleh gadis pembawa sial tersebut. “Apa kamu mau bertanggung jawab akan sesuatu yang lebih besar lagi?!”
“Apa lagi yang harus saya pertanggung jawabkan, Pak?” Jenar terbelalak tidak mengerti. “Saya kan cuma punya utang ponsel itu saja, tidak ada yang lain! Masa Bapak mau memeras saya?!”
Tanpa menanggapi protes dari Jenar, Dean tiba-tiba menarik kacamata gadis itu hingga membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Lalu setelah itu digapainya tangan Jenar dan diletakkan pada dadanya yang sontak membuat manajer Jillian itu tersentak.
“Bapak bilang saya pembawa sial, tapi kenapa suka sekali pegang-pegang saja begini?!” Jenar memekik seraya mencoba menarik tangannya dari d**a Dean.
“Masih belum ingat kamu?” Dean geleng-geleng kepala.
Sekarang pria itu memaksa Jenar untuk mencengkram kemejanya dan juga membuat gadis itu menariknya hingga wajah mereka berjarak cukup dekat.
Jenar merasa sedikit ingat, tetapi dia pikir hanya deja vu acak yang seringkali terjadi tanpa alasan. Namun, saat aroma wangi dari tubuh Dean menyusup masuk melalui hidung, aroma tersebut membawanya kembali pada kenangan di mana saat dia berada di bar dan sedang mencoba lari dari tiga p****************g yang berakhir pada pertemuan tak disengaja dengan seorang pria tak dikenal.
“Masih belum ingat apa lagi yang harus kamu pertanggungjawabkan?”
Jenar meneguk ludah bulat-bulat dengan mata terbelalak. Sekarang dia melihat bagaimana wajah Dean meski samar-samar dan membuatnya ingat dengan kejadiaan di mana dirinya mencium pria sembarangan di bar demi menyelamatkan diri sendiri.
“Masa … tidak mungkin, ‘kan?”
Dean menyeringai saat melihat Jenar tersenyum getir dan terkesan takut, lalu akhirnya menjauhkan diri dari gadis itu setelah memakaikan kacamatanya lagi. “Sudah ingat siapa yang kamu cium malam itu demi bisa kabur?”
Jenar menutup mulutnya yang menganga menggunakan mulut dan dengan sendirinya dia melangkah mundur begitu yakin jika pria yang diciumnya malam itu adalah Dean, CEO anti wanita yang menyebutnya sebagai pembawa sial.
“Masa?”
Duduk di atas meja dengan angkuh, Dean menunjukkan kekuasaannya yang membuat Jenar gemetaran di tempat. “Padahal aku sudah memperkirakan bakal dapat investasi sebesar satu milyar rupiah saat datang ke bar itu, tapi gara-gara kamu, investasi itu gagal,” katanya.
“Sa-satu milyar? Bapak sedang menakut-nakuti saya, ‘kan?”
Dean mengangkat bahu. “Tergantung. Kalau kamu mau bantu kami supaya adikmu bisa bergabung ke sini, maka aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi kalau tidak, siap-siap saja utangmu bertambah satu milyar.”
“Pak!” Suara Jenar terdengar bergetar dan bibirnya bahkan sudah tertarik ke bawah. “Bapak kenapa kejam sekali sama saya?!”
“Siapa yang kejam?” Dean menimpali sambil menghampiri Jenar lag sambil tersenyum licik. “Aku cuma memberimu pilihan dan kamu tinggal pilih mana yang paling baik.”
Gadis itu hanya terdiam mendengarkan setiap ucapan bosnya yang tidak masuk akal dan melihat bagaimana Dean mencoba memerasnya habis-habisan. Jenar hanya berpikir ini sangat tidak adil karena dia harus membayar mahal sesuatu yang sepele seperti ciuman bibir. Tetapi yang paling menyedihkan adalah bagaimana pria itu menyebutnya sebagai satu-satunya penyebab investasi itu batal.
“Bapak pasti tidak tahu, tapi ayah saya memberi nama Jenar Primaningtias itu karena saya membawa keberuntungan,” ucap Jenar tiba-tiba yang membuat Dean mengangkat bahu, merasa tidak ada urusan dengan semua itu. “Tapi Bapak malah menuduh saya jad penyebab kesialan Bapak!”
“Aku tidak menuduh, aku hanya mengatakan yang sebe–”
“Waktu saya lahir, ayah saya naik jabatan dan toko ibu saya sukses,” timpal Jenar, “padahal itu bukan karena saya, tapi karena usaha orangtua saya sendiri!”
Gadis itu berlinangan air mata saat mengatakan kata-kata yang mampu menusuk relung hati seorang Dean Kartajaya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Dean mengerti.
“Keberuntungan dan sebaliknya itu bukan karena siapa-siapa, tapi karena usaha diri sendiri, tapi!” Jenar menarik napas dalam-dalam tanpa melepas kontak mata dari bosnya yang kejam. “Kalau Bapak percaya, maka akan saya coba buktikan!”
“Buktikan ap–”
Belum sempat pria itu bertanya, Jenar sudah lebih dulu melangkah maju dan menarik kerah bajunya, lalu mencium bibir Dean dengan mata terpejam. Sementara dia sendiri terbelalak lebar.
Dean terkejut bukan main. Jantungnya berdetak-detak tidak karuan dan hawa panas menjalar ke seluruh tubuh sampai akhirnya Jenar menyudahi ciuman tersebut dalam lima detik saja.
“Bapak lihat saja besok apa yang akan terjadi sesuai dengan kepercayaan Bapak sendiri!”