"Jimat keberuntungan?”
Jenar bertanya-tanya seorang diri bahkan ketika saat ini dia sedang berbaring di kamarnya yang sempit. Pandangannya tertuju pada kipas angin di atas yang berputar-putar, sementara kedua tangannya menumpuk di atas perut merasakan helaan napas yang teratur.
“Beberapa waktu lalu dia menyebutku kecoak dan pembawa sial, tapi sekarang menganggapku sebagai jimat keberuntungan?”
Gadis itu memiringkan tubuh sambil menyangga kepala. Matanya terbelalak, masih tidak mengerti dengan keadaan yang seringkali berbalik tanpa peringatan.
“Ah, jangan-jangan dia suka padaku?” Dugaan tersebut membuatnya konyol sendiri dan sekarang Jenar beranjak duduk sambil bersila dan kebetulan langsung menghadap cermin yang menampakkan seorang gadis berkacamata dan terlihat kuno. “Tapi sepertinya tidak mungkin dia suka padaku.”
“Tapi orang itu benar-benar membuat hidupku tidak tenang!” Jenar kembali melempar tubuhnya, tetapi kali ini dia menutup wajah menggunakan bantal. “AAAHH!”
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pemuda belasan tahun muncul. “Kakak kenapa? Ada masalah?” tanyanya sambil melangkah masuk.
Hidan, adik laki-laki Jenar yang sebentar lagi lulus sekolah itu duduk dipinggir ranjang dan menyingkirkan bantal dari wajah kakak perempuannya. “Kakak ada masalah di tempat kerja?”
“Aku bahkan tidak tahu apakah ini masalah atau bukan.” Jenar mendesah panjang. “Kamu tahu tidak, mulai besok aku bekerja di bawah dua orang yang berbeda.”
“Maksudnya?”
“Aku harus jadi manajer Jillian dan juga asisten pribadi presdir. Aku benar-benar mencari mati.”
“Jillian?!” Mata Hidan tampak berbinar-binar. “Jillian yang keren itu?!”
“Keren darimana!” Jenar tambah jengkel melihat reaksi Hidan yang tidak disangka-sangka. “Kakakmu lagi kesulitan, tapi kamu malah bikin kesel!” pekiknya sambil memukuli Hidan dengan gemas dan lelaki itu mencoba menghindar.
“Udahlah, Kak, terima saja. Lagi pula pasti gajinya double.” Hidan menaik turunkan kedua alis dengan senyumnya yang mengejek.
“Ya memang, sih.” Jenar cemberut setelahnya lalu setelah itu Hidan keluar.
***
Pagi-pagi sekitar pukul lima, alarm dari ponsel Dean berbunyi, tetapi si empunya telah lebih dulu bangun dan sedang membersihkan diri di kamar mandi dengan air hangat yang keluar melalui lubang-lubang kecil pada shower.
Sambil menggumamkan lagu dengan mata tertutup, pria itu menikmati mandi paginya dan bersiap menyambut keberuntungan besar yang mungkin akan datang hari ini sebab semalam dia lagi-lagi menyentuh Jenar menggunakan tangannya.
Membayangkah keberuntungan bakal menghujani dirinya saja membuat Dean tidak berhenti tersenyum sampai akhirnya dia mematikan aliran air dan membalut pinggangnya menggunakan handuk lalu keluar dari kamar mandi dalam keadaan basah.
Sembari berjalan di walk in closet, Dean bersiul-siul sambil memilih pakaian olahraga. Hari ini dia tidak akan datang ke kantor karena seperti biasa, setiap kamis adalah hari liburnya.
Biasanya pria itu pergi bermain golf hingga petang, atau hanya bersantai di rumah sambil menonton beberapa acara untuk mengamati perkembangan apa saja yang telah terjadi di layar kaca.
Sebagai seorang petinggi perusahaan agensi, tentunya Dean harus selalu memutar otak agar artis-artis di bawah naungannya menjadi artis yang berkembang dan membuat nama mereka menjadi besar sehingga semakin banyak nama yang melambung, maka agensinya pun bakal dikenal sebagai agensi besar.
Setelah memakai kaus warna biru dan celana training beserta perlengkapan lain, Dean segera mengambil ponsel dan membawanya berlari di sepanjang jalan yang menuntunnya ke Monumen Nasional bersama orang-orang yang juga sedang maraton.
Jarak dari apartemennya ke Monumen Nasional sekitar tiga kilometer, biasa Dean capai sekitar kurang lebih setengah jam. Akan tetapi, baru satu kilometer kedua kakinya berlari, dia terpaksa berhenti ketika tiba-tiba seseorang menyenggol bahunya hingga membuat keseimbangan tubuh menjadi tidak seimbang, tetapi tidak sampai jatuh.
Dean bisa saja memperkarakan hal ini, tetapi begitu melihat pemuda belasan tahun yang meminta maaf, dia tak acuh dan membiarkannya pergi begitu saja. “Sial sekali.”
Pria itu berdecak sebelum akhirnya kembali berlari, tetapi baru beberapa langkah, Dean menginjak kulit pisang yang berhasil membuatnya jatuh dengan punggung menghantam aspal lebih dulu.
“Ah ….” Dean meringis kesakitan sambil menahan malu sebab satu persatu orang mulai berdatangan dan menanyakan keadaannya.
“Bisa bangung, tidak, Mas?” tanya salah satu pria di sana dan Dean hanya mengangguk.
“Saya tidak apa-apa, kalian lanjutkan saja maratonnya,” ucap Dean sambil beranjak duduk meski rasa sakit di punggungnya terasa lumayan menyiksa.
Bahkan ketika dia mencoba menegakkan punggungnya, terdengar bunyi kretek dan terasa kaku seolah-olah ototnya mati.
“Pagi-pagi begini kenapa sudah sial?” Dean berdecak kesal sambil berjalan ke pinggir untuk duduk meski sambil membungkuk.
Diambilnya telepon genggam dalam saku, lalu menghubungi Naga yang saat ini sedang tertidur pulas di salah satu apartemen di lantai empat di bangungan yang sama dengan tempat tinggal Dean.
Laki-laki itu melenguh panjang mendengar dering ponsel dan ketika menatap jam dinding, masih sekitar pukul lima lebih tiga puluh menit. “Siapa yang telepon pagi-pagi buta begini,” gumamnya sambil meraih ponsel yang tergeletak di meja.
Begitu melihat nama Pria Kesepian di layar ponsel, Naga mendesah panjang dan meletakkan benda tersebut di tempatnya lagi. Akan tetapi, panggilan Dean yang terus menerus bersambung membuatnya tidak punya pilihan selain menerima gangguan itu.
“Apa? Apa? Kamu sudah di kantor atau bagaimana?” Naga mengomel tanpa membuka matanya. “Ini belum jam enam, lho, wahai Pak Presiden Direktur!”
“Diam dan cepat turun. Aku ada di depan Kafe Ilavia. Punggungku tidak bisa dikembalikan normal lagi sekarang.”
Naga menjauhkan ponselnya dari telinga dan memandangi benda tersebut. “Drama apa lagi sekarang?” Dia mengernyit sebal lalu melemparnya sembarangan dan beranjak bangun. “Sial! Sial! Sial! Kalau begini aku juga mau jadi bos!”
***
Setelah Naga datang, laki-laki itu membawa Dean ke rumah sakit karena rasa takutnya yang berlebihan. Dia pikir terjatuh karena terpeleset kulit pisang bisa membuat tulangnya patah dan berakhir cacat seumur hidup seperti drama murahan yang membuat orang lupa ingatan setelah jatuh dari tangga.
Bahkan ketika dokter memastikan tidak ada yang serius dan Dean dipersilakan pulang untuk istirahat, pria itu memaksa dirawat di bangsal VIP selama dia yakin punggungnya kembali normal.
“Kamu pasti kelewat kaya sampai minta dirawat padahal punggungmu tidak kenapa-kenapa.” Naga berdecak sambil geleng-geleng kepala dan berkacak pinggang di hadapan Dean.
“Kamu baru mengakuinya?”
Lagi-lagi Naga mengumpat dalam hati. “Pokoknya, hari ini tidak ada cerita kamu telepon-telepon,” ujarnya sambil melangkah pergi. “Aku punya banyak kerjaan dan kamu sudah punya asisten pribadi, jadi aku bakal minta Jenar buat datang–”
“Jangan biarkan gadis itu datang!” Dean menimpali dengan cepat dan membuat Naga berbalik dengan wajah bertanya-tanya. “Omong kosong sialan itu! Aku seperti ini gara-gara dia!” Dean menggeram sekali lagi.
“Hah ….” Naga mengembuskan napas panjang dengan bahu lemas. “Mau sampai kapan kamu menyalahkan keteledoranmu kepada perempuan?”
“Memang gara-gara dia!” Dean menekan, tak mau mengalah dan tak mau mengakui apa yang dikatakan Naga.
“Kamu jatuh karena kulit pisang, kenapa malah menyalahkan Jenar yang mungkin masih ngorok di rumahnya?!” Naga meninggikan suara, kesal sekali dengan pria di depannya yang berpikiran sempit itu.
“Pokoknya jangan panggil dia ke sini!”
Kenyataannya, gadis yang sempat dianggap jimat keberuntungan itu datang sekitar pukul sembilan pagi membawa sarapan yang biasa dikonsumsi oleh Dean setiap harinya. Naga memberitahu apa dan di mana Jenar bisa membeli oatmeal dan salad buah berkualitas tinggi.
Jenar datang mendekat hendak memberikan sarapan kepada Dean, tetapi pria itu tiba-tiba menghentikannya.
“Jangan mendekat dan letakkan makanan itu di meja, lalu pergi dari sini!”
“Bapak mengusir saya secepat ini?” tanya Jenar dengan ekspresi bengong. “Baru semalam bapak bilang kalau saya jimat–”
“Pokoknya pergi dari sini,” timpal Dean cepat. Tatapannya serius, tidak bisa dibantah.
“Lalu, bagaimana utang saya dan tunjangan lain yang Bapak tawarkan?” Jenar bertanya sedikit ngotot. Sesungguhnya meski dia terlihat tidak mau menjadi asisten pribadi, dia tetap berharap mendapat semua tawaran yang Dean beri. Jika tiba-tiba saja pria itu mengusirnya, maka kesempatan hilang begitu saja.
“Kamu pergi dari sini, artinya semua itu juga tidak berlaku.”
“Pak Dean kalau kayak gini terus, bisa-bisa tidak ada yang mau sama Bapak, lho,” celetuk gadis itu yang sontak membuat Dean melotot dan bersiap menyemprotnya dengan kata-kata andalan. Namun, belum sempat kata-kata itu keluar, seseorang datang dan membuat mereka berdua mengalihkan pandangan.
“Kata siapa? Aku mau kok kalau sama Pak Dean!”