.
Di kamarnya, Seraphina duduk di depan meja. Tablet gambarnya menyala redup, menampilkan sketsa naga biru yang bersahabat dengan anak kecil di halaman kastil.
Gambarnya seharusnya ceria, penuh imajinasi. Tapi garis-garisnya terasa datar. Hambar.
Tangannya bergerak, tapi pikirannya tidak.
Matanya terus melirik ke arah jendela. Ke arah pintu. Ke arah bayangan pikirannya sendiri.
“Kenapa aku tidak bisa fokus? Padahal tenggat tinggal dua hari.”
“Ini cuma proyek anak-anak. Naga lucu dan kastil pelangi. Bukan soal hidup atau mati.”
Tapi pikirannya menolak tunduk.
Wajah Damien terus muncul, seperti bayangan yang tertanam dalam retina.
Tatapan dingin itu.
Seraphina menatap layar tablet yang tak kunjung berkembang. Gambar itu masih terhenti di satu layer. Ekspresi anak kecilnya bahkan belum selesai.
Ia menarik napas, mencoba mengusir bayangan Damien.
“Kenapa aku peduli? Kenapa dia mengganggu pikiranku seperti ini? Dia hanya orang asing. Orang asing yang menabrakku lalu menyelamatkanku.”
Tangannya terhenti di atas stylus.
Seraphina menggigit bibir bawahnya. Matanya kembali ke layar. Tapi bayangan Damien tak juga pergi.
Ia menghela napas berat.
“Ini gila. Aku bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya.”
“Tapi entah kenapa, aku ingin tahu.”
Malam hari, langit benar-benar runtuh. Petir menyambar di kejauhan, dan tak lama kemudian, hujan turun deras, menghantam kaca jendela dengan suara menakutkan. Angin menerpa dinding rumah besar itu, membuat segala sesuatu terasa semakin sunyi dan tegang.
Lampu di lorong meredup sedikit karena gangguan listrik, membuat suasana rumah semakin menyerupai penjara sunyi bagi Seraphina yang tak bisa tidur.
Namun di tengah badai itu, Damien tak ada di rumah.
Tanpa suara, tanpa pamit, ia telah meninggalkan tempat itu sejak senja, mobilnya melaju menembus hujan sebelum langit benar-benar gelap.
Dan kini, Dr. Damien Thorne melangkah masuk ke ruang perawatan VIP di salah satu rumah sakit paling eksklusif di Virelia. Setelan hitamnya masih rapi meski diguyur hujan, dan tatapannya dingin saat menatap sosok tak sadarkan diri yang terbaring diam di ranjang steril beraroma antiseptik.
Celine.
Celine Lilith Vale masih terbaring di ranjangnya. Tubuhnya tak bergerak, hanya mesin-mesin yang memastikan bahwa ia masih hidup.
Damien berdiri di samping ranjang, menatap perempuan yang secara teknis masih menjadi istrinya.
Begitu masuk, Dr. Damien Thorne tak langsung duduk. Ia mengenakan sarung tangan steril dari sisi ranjang dan mulai memeriksa sendiri kondisi istrinya. Detak jantung, tekanan darah, respons pupil, saturasi oksigen, semuanya tampak normal.
Ia mendekatkan lampu senter kecil ke mata Celine. Tidak ada respons cahaya, seperti seharusnya. Tapi saat Damien menyentuh pergelangan tangan Celine untuk memeriksa denyut nadi, jemarinya terasa.. hangat. Lebih hangat dari biasanya.
Lalu, sekilas kelopak mata Celine tampak berkedut. Begitu halus dan cepat, seperti refleks yang seharusnya tidak ada dalam kondisi koma.
Damien menyipitkan mata. Ia memerhatikan lebih saksama.
Jemari tangan kiri Celine, yang barusan disentuhnya, juga seperti bergerak sedikit. Sangat pelan. Bisa saja hanya respons refleks otot. Atau…
Atau sesuatu sedang disembunyikan darinya.
Marcus masuk beberapa detik kemudian.
“Kenapa aku baru diizinkan datang sekarang?” Suara Damien datar, tapi tajam. Tak ada basa-basi. Tak ada sapaan.
Marcus yang baru masuk ke ruangan menegang seketika. Senyumnya kaku dan gugup. “Itu perintah langsung dari Ayah Celine. Dia bilang, dalam kondisi tekanan seperti ini, terutama menjelang operasi penting, kondisimu harus dijaga.”
Damien tidak mengalihkan tatapan. Sorot matanya menusuk. “Menjaga kondisiku?” Ia mengulang pelan. “Sejak kapan aku butuh dikasihani seperti pasien?”
Marcus tertelan ludah, tetap berusaha tersenyum. “Bukan begitu maksudku, ”
“Kau tahu aku tidak suka dikendalikan, Marcus.” Damien mendekat satu langkah, kini hanya berjarak beberapa kaki dari Marcus. “Apalagi soal istriku. Aku Dokter, bukan alat yang bisa disetel hanya ketika dibutuhkan.”
Marcus tidak menjawab. Matanya gelisah, berusaha mencari celah untuk mengalihkan pembicaraan, tapi Damien sudah membaca semuanya.
Hening menggantung seperti ancaman yang tak terucap.
Setelah Marcus pergi, Damien duduk di kursi di sisi ranjang. Ia menggenggam tangan Celine. Monitor jantung menunjukkan detak yang stabil.
Ada sesuatu yang tidak beres.
******
Sementara itu, di rumah, Lauren berjalan masuk ke ruang kerja Damien dengan ekspresi serius. Ia memegang tablet data, tapi niatnya bukan sekadar menyusun laporan.
Sebelumnya, saat menyerahkan hasil laboratorium kepada Damien, ada sesuatu yang tidak beres, angka-angka yang terlalu sempurna. Seola direkayasa.
Ia membuka laci bawah meja Damien, tempat penyimpanan berkas medis yang hanya boleh diakses oleh orang dalam. Lauren tahu kode akses karena Damien pernah memintanya menyusun ulang file beberapa bulan lalu.
Tangannya cekatan membuka map yang diberi label “Rekapan Tambahan – Prosedur Celine”. Matanya menyusuri catatan hasil pemantauan kondisi pasien. Tanda tangan Marcus terpampang di lembar akhir.
Namun satu hal menarik perhatiannya, semua indikator vital terlalu stabil, bahkan dalam situasi medis kompleks seperti bukan milik Celine yang saat ini terbaring koma.
Alis Lauren mengernyit. Ia mengangkat ponselnya, memotret beberapa halaman, lalu membuka pesan terenkripsi untuk Damien.
“Aku menemukan anomali dalam laporan Marcus. Data ini seolah dibuat agar terlihat ‘sempurna’. Akan aku periksa lebih jauh.
*****
Seraphina menatap kertas itu lama, jari-jarinya menggenggam erat seolah takut kehilangan bukti dari sesuatu yang belum ia mengerti.
“C... L... V?” gumamnya lirih.
Huruf-huruf itu tampak asing, namun mencurigakan.
Siapa ini?
“Inisial seseorang?” pikirnya. “Pasien?”
Atau… seseorang yang lebih dari itu?
Ia menelusuri bagian bawah dokumen. Bahasa medis memenuhi halaman, laju jantung, riwayat transfusi, tanda-tanda vital. Tak semua ia pahami. Tapi beberapa istilah yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kenapa data ini ada di kamarku?”
Matanya bergerak cepat ke arah pintu, ke arah jendela. Rumah ini tiba-tiba terasa terlalu besar. Terlalu sunyi. Terlalu penuh rahasia.
“Apa ini milik Damien?”
“Siapa C.L.V… dan kenapa aku merasa nama ini bukan milik orang asing?”
Malam itu, badai datang lagi. Angin menghantam jendela, dan tiba-tiba, listrik padam.
Rumah besar itu tenggelam dalam kegelapan.
Seraphina langsung panik.
Bukan sekadar kaget. Tapi benar-benar panik. Nafasnya sesak, tubuhnya gemetar, dan dalam gelap itu, ingatan akan kecelakaan masa kecil menyeruak, darah, suara logam, dan lampu yang padam seketika.
Ia membuka pintu kamar dan lari ke koridor, tanpa arah, matanya berkabut oleh ketakutan.
Dan tubuhnya menabrak seseorang yang seperti baru keluar, karena kemeja yang dikenakannya sedikit basah.
Tangan kuat menahan bahunya. “Seraphina?”
Itu suara Damien.
Damien, yang baru saja datang, segera menyadari kondisi gadis itu. Dalam gelap, ia meraih tangan Seraphina dan menariknya dengan tegas namun hati-hati menuju ruang kerjanya, di mana lampu darurat masih menyala, meski redup.
Seraphina terduduk di sofa, gemetar hebat, napasnya memburu.
Damien mengambilkan air dan menyerahkannya. “Minum dulu.”
Seraphina menerimanya dengan tangan gemetar.
Beberapa saat kemudian, suara Damien terdengar pelan. “Kau takut gelap?”
Seraphina hanya mengangguk, tak sanggup menjelaskan semuanya. Tapi dalam suara rendah itu, untuk pertama kalinya Damien terdengar manusiawi.
Mereka bicara perlahan.
Damien bercerita bahwa dulu ia takut darah. Sebuah ironi bagi seorang Dokter. Tapi ketakutan itulah yang membuatnya memaksa dirinya lebih kuat.
Seraphina mendengarkan.
Untuk sesaat, mereka tak seperti dua orang yang terikat dalam jaringan rahasia dan rahasia yang lebih dalam. Mereka hanya dua manusia yang saling melihat sisi rapuh satu sama lain.
Namun kedekatan itu membawa bahaya tersendiri.
Damien berdiri, mengambil sebotol whiskey dari lemari kecil. Ia menuangkan untuk dirinya sendiri. Satu tegukan. Dua. Tiga.
Sorot matanya mulai berubah.
Dan tiba-tiba, ia menatap Seraphina dengan cara berbeda. Lalu mendekat dengan langkah pelan.
“D-Dr. Damien…” Suara Seraphina nyaris tercekat saat punggungnya menabrak dinding di belakang.
Ia mencoba mundur. Tapi Damien sudah lebih dulu menyusul langkahnya.
Mata mereka bertemu hanya sepersekian detik.
Dan kemudian, bibir Damien menghantam miliknya.
Kasar. Dalam. Memburu.
Lidahnya menyusup masuk tanpa permisi, mengklaim mulut Seraphina dengan kepemilikan yang membingungkan.
Ciuman itu bukan ajakan. Tapi peringatan.
Bahwa ia sedang kehilangan kendali dan Seraphina adalah pusatnya.
Tangannya mencengkeram pinggang Seraphina, menarik tubuh gadis itu lebih dekat, hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka.
Tubuh mereka bersentuhan. Nafas mereka berpadu.
Seraphina mendesah, antara terkejut dan terjerat.
Jantungnya menabrak tulang rusuk. Kepalanya kosong. Tapi tubuhnya merespons, dengan cara yang tak bisa ia kendalikan.
Ia tidak membalas, tapi tidak juga menolak.
Tangannya mencengkeram sisi jaket Damien, seolah hanya itu yang bisa ia lakukan agar tidak roboh.
Lalu, secepat ia datang, Damien menarik diri.
Masih dekat. Masih memandangnya.
Matanya gelap. Penuh emosi yang tak terucap.
Bibir Seraphina bergetar. Basah.
Damien menatapnya satu detik lebih lama, berbisik pelan.
“Tetaplah di sini.”
Dan sebelum Seraphina sempat menarik napas kedua, meninggalkan aroma tubuh dan kehangatan yang masih menempel di kulit Seraphina seperti racun.
Dan saat lampu menyala kembali beberapa detik kemudian, kenyataan menghantam mereka berdua.
Seraphina buru-buru berdiri, wajahnya memerah, napasnya tak beraturan. “S-saya… pamit dulu ke kamar.”
Damien tak menjawab. Ia hanya duduk diam, menatap lantai. Wajahnya kembali seperti tadi pagi, tertutup, tapi kali ini ada jejak penyesalan di sana.
Malam itu, dua hati tak bisa tidur.
Keduanya mulai tenggelam dalam pusaran yang tak mereka pahami, dan tak bisa dihentikan lagi.