Pagi ini, langit mendung menyelimuti Virelia.
Kabut tipis menyelimuti halaman, dan embun masih menempel di kaca jendela kamar Seraphina. Udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Seraphina nyaris tak tidur semalam.
Ia hanya memeluk bantal, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matanya menatap langit-langit, memutar ulang kejadian semalam. Bibirnya masih merasakan jejak ciuman Damien.
“Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan ciuman itu?” Tangannya menyentuh bibirnya sekilas. “Damien… kenapa kau melakukannya?”
Ia menggeleng, lalu bergumam pelan.
"Yang lebih menggangguku justru ekspresinya setelah itu. Seolah tidak terjadi apa-apa."
"Tidak ada penjelasan. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada kehangatan sedikit pun. Wajahnya hanya datar."
Seraphina makin bingung. Apakah itu hanya pelarian? Emosi sesaat? Atau ada sesuatu yang disembunyikan Damien?
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan.
Tok. Tok.
Seraphina terlonjak, lalu duduk di pinggir ranjang.
“Masuk,” ucapnya.
Pintu terbuka. Lauren masuk dengan penampilan rapi seperti biasa.
“Dokter Damien ingin kau ke ruang kerjanya,” katanya singkat.
Seraphina menatapnya sebentar. Ia ingin bertanya apakah Lauren tahu apa yang terjadi semalam, apakah ia melihat atau mendengar sesuatu. Tapi pertanyaan itu tak pernah terucap.
“Sekarang?” tanyanya pelan.
Lauren mengangguk. “Iya. Dia sedang menunggu.”
Tak ada senyum. Tak ada tatapan bersahabat. Hanya tugas yang harus disampaikan.
Begitu Lauren menutup pintu dan pergi, Seraphina menarik napas dalam. Ia berdiri, membasuh wajah di wastafel kecil, lalu menatap bayangannya di cermin.
Wajah itu masih menyimpan kegelisahan semalam.
“Aku harus bersikap biasa,” bisiknya pada diri sendiri.
Tapi saat melangkah ke ruang kerja Damien, jantungnya berdetak cepat. Ia punya firasat, pagi ini tidak akan berjalan seperti biasa.
Apa pun yang menunggunya di balik pintu itu bisa mengubah segalanya.
Mungkin Damien akan bicara. Menjelaskan. Atau setidaknya, ada kecanggungan.
Tapi tidak.
Damien berdiri di balik mejanya dengan setelan hitam dan wajah datar, seolah semalam tidak pernah terjadi.
“Ada dokumen yang perlu kau tanda tangani,” ucapnya datar, sambil mendorong map berisi beberapa lembar kertas ke hadapannya.
Seraphina mengambilnya perlahan. Judulnya mencolok: Pernyataan Persetujuan Medis Tambahan untuk Prosedur Donor.
Bahasanya dipenuhi istilah medis dan hukum. Beberapa bagian terdengar membingungkan, tentang hak atas informasi, tanggung jawab donor, dan penggunaan data kesehatan.
Tapi yang paling membuat Seraphina tidak nyaman adalah satu kalimat: "Proses ini bisa dilanjutkan tanpa pemberitahuan jika kondisi pasien penerima tiba-tiba memburuk."
“Apa ini normal?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
Damien hanya mengangguk. “Prosedur standar. Tim hukum yang menyusunnya.”
Di sudut ruangan, Lauren berdiri diam. Ekspresinya tenang. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan.
“Aku butuh waktu untuk membacanya lebih teliti,” gumam Seraphina akhirnya.
Damien mengangguk kecil. “Silakan.”
Tak ada kecanggungan, tak ada permintaan maaf, tak ada penjelasan. Hanya selembar dokumen dan sikap dingin yang membuat Seraphina merasa tak berarti.
Keluar dari ruangan itu dengan surat di tangan, dadanya terasa sesak.
Bukan hanya karena isi surat yang penuh jebakan, tapi karena satu hal yang tak bisa ia pahami, apakah yang terjadi semalam hanyalah kesalahan? Atau hanya berarti bagi dirinya seorang?
*****
Di ruangannya yang sunyi di lantai tujuh rumah sakit, Dr. Marcus mengunci pintu dengan cepat begitu masuk. Tangannya sedikit gemetar, tapi wajahnya tetap berusaha tenang.
Ia melirik kamera di pojok, memastikan tirai tertutup dan tak ada yang mendengar.
Begitu yakin, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah ia hafal.
“Kalau Damien tahu Celine sadar, kita semua selesai.”
Hening beberapa detik. Lalu, suara di seberang sambungan terdengar.
“Jaga mulutmu, Marcus. Kau bicara terlalu keras.”
Marcus menelan ludah. Ia melirik monitor medis di samping meja, yang menampilkan grafik detak jantung dan tekanan darah. Angkanya terlalu konsisten, dan terlalu sempurna.
Pria di telepon kembali bicara, lebih dingin kali ini.
“Tutup rapat. Jangan beri Damien kesempatan bertemu Celine tanpa pengawasan. Jangan ada celah komunikasi. Kita tinggal selangkah lagi, dan kau tahu betapa banyak yang dipertaruhkan.”
Marcus mendekat ke layar, memperhatikan gelombang EEG yang menunjukkan aktivitas otak yang seharusnya tak muncul pada pasien koma. Tapi data itu sudah ia manipulasi. Sesuai instruksi.
Wajahnya mengeras. “Dia mulai curiga. Tadi malam dia memeriksa langsung. Aku lihat dari rekaman CCTV.”
“Kalau dia curiga, alihkan. Gunakan Seraphina. Kau tahu Damien akan lemah di titik itu.”
Marcus terdiam. Ia tahu risikonya. Sejak awal, ia sudah terlibat dalam permainan berbahaya.
Jika satu detail bocor ke Damien, segalanya bisa hancur. Kariernya, hidupnya, bahkan nyawanya.
Ia menutup telepon dan duduk perlahan. Matanya menatap monitor.
Celine Lilith Vale.
Data vitalnya seperti milik orang sehat, bukan pasien koma.
Marcus menutup wajah dengan kedua tangan.
Semua sudah terlalu jauh. Dan Damien bukan orang yang mudah ditipu.
*****
Seraphina mulai merasakan ada yang berbeda sejak tinggal di rumah itu. Apartemen besar bergaya minimalis itu terlalu tenang, terlalu sepi. Setiap sudutnya seperti dibuat untuk meredam suara, dan mungkin juga perasaan.
Lauren, wanita yang mengatur semuanya, selalu bersikap sopan. Tapi ada jarak dalam sikap sopannya. Seolah-olah ia membangun batas yang tak bisa dilewati. Gerak-geriknya rapi dan terkontrol. Bahkan saat mengambil sendok pun, semuanya terasa seperti bagian dari rutinitas yang sudah dihafal.
Para staf rumah tampak patuh. Tapi bukan karena hormat, melainkan karena takut. Seraphina pernah melihat seorang pelayan pria menjatuhkan nampan, hanya karena Lauren menatapnya tanpa sepatah kata pun.
Suatu malam, Seraphina turun ke dapur karena sulit tidur. Ia baru saja mengambil gelas ketika suara pelan terdengar dari sudut ruang makan.
“Jangan biarkan dia sendirian dengan Damien lebih dari sepuluh menit.”
Itu suara Lauren. Ia sedang berbicara di telepon, berdiri menghadap jendela. Tapi begitu menyadari kehadiran Seraphina di ambang pintu, ia segera menutup panggilan.
Lauren berbalik, tersenyum kecil. “Insomnia juga, ya? Aku akan minta teh chamomile untukmu.”
Seraphina berusaha tenang. “Tak perlu repot. Aku hanya haus.”
Lauren menuangkan air ke gelas lain. “Tetap harus jaga kesehatan. Kau harus kuat untuk rutinitas ke depan.”
Seraphina ragu, tapi akhirnya bertanya, “Aku boleh tanya soal Dokter Damien?”
Lauren berhenti menuang air, tapi tidak menoleh. “Tentu.”
“Dia seperti orang yang susah didekati, ya?”
Lauren tersenyum kecil. “Bukan susah. Dia memang tidak ingin didekati.”
Seraphina menatap gelas di tangannya. “Tapi tadi sore, waktu aku agak merasakan pusing di ruang kerjanya, dia membawakan obat. Itu tidak seperti sikapnya yang biasanya.”
Lauren menoleh sekarang, tatapannya tenang tapi datar. “Mungkin karena kau terlihat akan pingsan. Dia tidak suka mengabaikan tanggung jawabnya, terlebih dia seorang Dokter.”
“Tanggung jawab?” Seraphina mengangkat alis.
Lauren hanya tersenyum. “Kau sebaiknya tidak terlalu berharap banyak dari sikap manisnya. Damien punya cara sendiri untuk menjaga jarak.”
Seraphina mengangguk pelan. “Baik.”
“Minum airmu. Lalu istirahat. Jangan biasakan begadang.”
Lauren berjalan keluar lebih dulu, meninggalkan Seraphina yang masih berdiri di sana, menatap kosong ke dinding dapur.
Ada rasa ganjil yang sulit dijelaskan. Bukan hanya karena jawaban Lauren terdengar seperti naskah yang sudah disiapkan, tapi karena semuanya. Cara para staf rumah membungkam suara saat berjalan, lorong-lorong yang sunyi, dan sorot mata Damien yang seolah menyimpan luka dalam.